Gabriel Attal, PM Perancis yang ”Muda dan Berbahaya”
Gabriel Attal ditunjuk dengan harapan bisa membantu Emmanuel Macron mengatasi masalah yang tidak bisa diatasi seniornya.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Setelah serah terima jabatan dari Perdana Menteri Elisabeth Borne, Gabriel Attal (34), perdana menteri yang baru dan termuda sepanjang sejarah modern Perancis, tidak sempat leha-leha menikmati posisi barunya. Tugas berat menanti Attal yang harus membantu mendongkrak popularitas Presiden Perancis Emmanuel Macron dan kinerja pemerintahannya.
Macron memilih Attal, selain karena populer di kalangan pemilih muda, juga karena menonjol sebagai orator, pemikir cepat, dan pengikut setia Macron. Setelah terpilih menjadi anggota parlemen pada 2017, dia menjadi menteri termuda ketika berusia 29 tahun dengan jabatan menteri yunior. Ia sempat menjadi juru bicara resmi pemerintah, kemudian ditunjuk menjadi menteri anggaran, lalu menteri pendidikan.
”Perancis tidak akan pernah identik dengan kemunduran. Perancis identik dengan transformasi dan keberanian,” kata Attal saat serah terima jabatan dari Borne di Matignon, kediaman perdana menteri di Paris, Perancis, Selasa (9/1/2024). Melepas posisi PM, Borne yang merupakan perempuan kedua yang menjadi PM Perancis itu akan menjadi anggota parlemen.
Macron menunjuk Attal karena berharap dia bisa membantu mengatasi masalah yang tidak bisa diselesaikan Borne (62) yang mengundurkan diri setelah menjabat selama dua tahun. Dan, itu tidak akan mudah. Partai Rassemblement National yang dipimpin Marine Le Pen bangkit kembali dan kemungkinan akan memenangi pemilu pada Juni 2024.
Sementara Majelis Nasional kemungkinan besar juga tidak akan mendukung Macron karena partainya, En Marche, bukan mayoritas di parlemen. Sederhananya, lawan politik Macron tidak menyukai Macron dan popularitas Attal yang terang-terangan mengaku dirinya gay itu belum tentu bisa membuat kubu oposisi luluh.
Perombakan kabinet Macron diperkirakan belum selesai karena ia hendak memperkuat tim untuk tiga tahun terakhir masa kepresidenannya. Menjelang pemilihan presiden 2027, oposisi kian gencar berupaya menggantikan Macron yang mulai menjabat tahun 2017 saat berusia 39 tahun.
Perancis tidak akan pernah identik dengan kemunduran. Perancis identik dengan transformasi dan keberanian.
Perancis pernah memiliki PM berusia muda pada tahun 1984 semasa pemerintahan Presiden François Mitterand, yakni Laurent Fabius yang berusia 37 tahun. Macron ingin Attal mengembalikan semangat perubahan yang berani seperti yang dilakukannya saat pertama kali menjabat presiden di tengah gelombang harapan reformasi radikal pada 2017. Pada waktu itu, Macron mengguncang politik dan menang secara mengejutkan setelah membawa platform probisnis untuk menghidupkan kembali perekonomian Perancis.
Attal bisa membawa perubahan besar dalam gaya jabatan PM. Sikap Borne yang tegas tanpa basa-basi disegani rekan-rekannya, tetapi tidak populer di masyarakat. Adapun Attal sangat populer setelah menjabat sebagai menteri pendidikan yang termasuk posisi menteri yang bergengsi secara politik. Majalah The Economist, 9 Januari 2024, menyebutkan, Attal setidaknya membawa popularitas yang sangat kurang dimiliki tim Macron saat ini.
Sebuah jajak pendapat pada Desember 2023 menjadikan Attal politisi Perancis paling populer, dengan peringkat 40 persen dan 13 poin di atas Macron. Attal juga mengungguli Le Pen (37 persen) dan Presiden Front Nasional Jordan Bardella (36 persen). ”Saya tahu saya bisa mengandalkan energi dan komitmen Anda,” tulis Macron di media sosial X.
Di bawah sistem politik Perancis, PM ditunjuk oleh presiden dan bertanggung jawab kepada parlemen serta bertugas melaksanakan kebijakan dalam negeri, terutama kebijakan ekonomi. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas kebijakan luar negeri dan urusan Eropa serta merupakan panglima tertinggi angkatan bersenjata.
PM bertanggung jawab atas pengelolaan pemerintahan sehari-hari. Ini berarti PM sering kali menanggung akibatnya ketika suatu pemerintahan mengalami gejolak.
Para ahli dan komentator melihat perombakan kabinet ini penting untuk menghidupkan kembali kepresidenan Macron yang berhaluan tengah dan mencegahnya menjadi pemimpin yang ”lumpuh” setelah diterjang serangkaian krisis. Sejak mengalahkan kelompok sayap kanan dalam masa jabatan keduanya tahun lalu, Macron menghadapi gelombang protes atas reformasi pensiun yang tidak populer, hilangnya mayoritas dalam pemilihan parlemen, dan kontroversi undang-undang imigrasi.
Karena Macron tidak bisa mencalonkan diri kembali pada pemilu 2027, dikhawatirkan Le Pen akan memiliki peluang untuk menjadi presiden. Jika Attal yang akan diajukan sebagai presiden, ia akan mendapatkan persaingan ketat dari bintang politik Perancis lainnya yang juga sedang naik daun, yakni Jordan Bardella (28). Bardella kini memimpin partai sayap kanan, Rassemblement National atau Barisan Nasional.
Sedikit berbeda dengan Macron, Attal akan memprioritaskan isu keamanan dan mempromosikan nilai-nilai otoritas dan rasa hormat terhadap orang lain. Dia berjanji memperkuat layanan publik, termasuk sekolah dan sistem kesehatan serta mendorong ”pengendalian imigrasi yang lebih baik”. Dia juga berjanji untuk berani dan bertindak cepat membantu kelas menengah mengatasi kenaikan biaya hidup.
Namun, kritikus dari kelompok kiri dan kanan sama-sama mengkritik Attal karena pengalamannya yang masih terbatas, berjarak dengan rakyat yang hidup di daerah, dan kesetiaannya pada Macron. Attal, mantan anggota Partai Sosialis, bergabung dengan gerakan politik Macron yang baru dibentuk pada 2016 dan menjadi juru bicara dari tahun 2020 hingga 2022. Ini yang kemudian membuatnya terkenal di mata publik.
Menjadi semakin menonjol ketika Attal mengumumkan larangan menggunakan jilbab di ruang kelas. Aturan yang memicu gelombang protes masyarakat, terutama Muslim, itu mulai berlaku pada tahun ajaran baru, September 2023. Kebijakan Attal itu malah membuat popularitasnya meningkat di kalangan sayap kanan meski Attal sendiri berasal dari sayap kiri.
Attal juga meluncurkan rencana untuk bereksperimen dengan seragam di beberapa sekolah negeri sebagai bagian dari upaya mengalihkan fokus dari pakaian dan mengurangi perundungan di sekolah. Attal dikhawatirkan akan menghadapi kendala yang sama dengan pendahulunya, proses negosiasi yang alot terkait RUU imigrasi dan kemampuan mengesahkan undang-undang.
Lahir di pinggiran selatan Clamart pada 1989, Attal dibesarkan di Paris bersama tiga adik perempuannya. Ayahnya, Yves Attal, adalah produser film sukses keturunan Tunisia-Yahudi yang meninggal pada 2015. Ibunya, Marie de Couriss, juga bekerja di industri film dan berasal dari keluarga Kristen Ortodoks dari Odesa.
Attal bersekolah di École Alsacienne, sekolah swasta di jantung kota Paris dan kemudian lulus dari Universitas Science Po yang bergengsi. Pada usia 17 tahun, dia bergabung dengan Partai Sosialis dan mendukung kandidat presidennya, Ségolène Royal, pada pemilihan presiden tahun 2007. (REUTERS/AFP/AP)