ASEAN Memasuki Tahun Harap-harap Cemas
Di bawah keketuaan Laos, ASEAN diharapkan segera mengimplementasikan kesepakatan, terutama terkait krisis di Myanmar.
Di tengah situasi geopolitik dunia yang tidak baik pada 2022, Indonesia tetap bisa menjalankan presidensi G20. Begitu pula pada 2023 yang tidak lebih baik situasinya, Indonesia berhasil memegang keketuaan ASEAN.
Prosesnya tidak mudah. Ada saja ujian yang datang menggoyang stabilitas dan perdamaian serta memengaruhi seluruh dunia. Mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, konflik Israel dan kelompok Hamas, hingga krisis Myanmar yang seakan tak berujung.
Baca Juga: Penipuan Daring Jadi Perhatian Kemenlu, Ratusan Korban TPPO Dipulangkan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam diskusi Media Center Indonesia Maju, Kamis (4/1/2024), mengingatkan, meski didera berbagai persoalan pelik, tahun 2022 dan 2023 menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menunjukkan peran dan kepemimpinan di tingkat dunia.
Ini terbukti selama keketuaan pada 2023, Indonesia berhasil membawa ASEAN ke jenjang yang lebih tinggi, menjadikan ASEAN tetap penting, dan menjadikan Asia Tenggara sebagai pusat pertumbuhan. Indonesia juga membangun fondasi visi ASEAN 2045 guna meningkatkan ketahanan kawasan.
Ketika menutup Konferensi Tingkat Tinggi Ke-43 ASEAN, September 2023 di Jakarta, Presiden Joko Widodo mengakui, ketika Indonesia memegang keketuaan itu, situasinya tidak baik-baik saja. Meski begitu, Indonesia tetap mampu berkontribusi menjaga stabilitas dan perdamaian serta kemakmuran di kawasan Asia Tenggara.
Sampai saat ini, ASEAN berada di jalur yang benar, bergerak menuju kawasan pusat pertumbuhan. Melalui proses panjang dan sulit, ASEAN berhasil menyepakati Pernyataan Bersama Para Pemimpin KTT Asia Timur mengenai pusat pertumbuhan. ”Ini bukan proses mudah, tarik-menarik geopolitik sangat kental,” ujar Presiden.
Keretakan dalam ASEAN akibat krisis Myanmar menyulitkan ASEAN menjadi organisasi yang kuat, padu, dan berdaya saing di hadapan China.
Proses yang juga selalu tak mudah adalah penyelesaian konflik Myanmar. Terkait dengan itu, Jokowi menegaskan ASEAN tetap berkomitmen mendorong implementasi Konsensus Lima Poin untuk membantu Myanmar, salah satunya melalui pembentukan mekanisme troika di antara keketuaan tahun berjalan, keketuaan tahun sebelum, dan keketuaan tahun selanjutnya.
Ini merupakan kemajuan dalam strategi penyelesaian krisis Myanmar. Hanya, masih harus dilihat perkembangannya apakah akan bisa betul-betul mengatasi kekerasan yang terjadi di Myanmar.
Mekanisme troika mulai diterapkan saat Laos memegang keketuaan ASEAN tahun ini. Laos akan didampingi Indonesia (ketua sebelum Laos), dan Malaysia (ketua setelah Laos) untuk memastikan keberlanjutan penanganan isu Myanmar melalui implementasi Konsensus Lima Poin. Di dalam salah satu poin konsensus disebutkan pemberian bantuan kemanusiaan kepada rakyat Myanmar dan ini sudah dilakukan sejak 2021.
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, di Bandung, menyayangkan saat ini Indonesia justru menjadi korban dari krisis di Myanmar. Ini terbukti dari ratusan pengungsi Rohingya yang mendarat di berbagai wilayah di Sumatera.
Baca Juga: ASEAN Jadi Poros Perdamaian Dunia
Keadaan yang berlarut-larut di Myanmar disertai lemahnya Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) telah menjadikan Indonesia negara yang tersandera krisis Myanmar.
”Jika dikaitkan dengan China yang membantu Myanmar, situasi ASEAN yang seperti ini menguntungkan China. Keretakan dalam ASEAN akibat krisis Myanmar menyulitkan ASEAN menjadi organisasi yang kuat, padu, dan berdaya saing di hadapan China,” ujarnya.
Tidak mengikat
Secara umum, Direktur Eksekutif Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada Dafri Agussalim menilai, Indonesia cukup sukses menjalankan perannya sebagai ketua ASEAN karena berhasil mengegolkan agenda-agenda penting yang menjadi perhatian bersama ASEAN. Agenda itu, antara lain, stabilitas dan keamanan politik di kawasan, khususnya konflik politik di Myanmar dan masalah yang berkaitan dengan keamanan nontradisional seperti tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Tercapai kesepakatan melalui pernyataan bersama, deklarasi, dan rencana aksi terhadap aneka agenda tersebut. Sayangnya, keberhasilan itu berhenti pada tahap yang pada umumnya berupa soft-law atau kesepakatan yang belum mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota.
”Implementasi dari kesepakatan itu pada akhirnya tergantung atau diserahkan pada negara-negara anggota ASEAN sendiri. Seperti banyak kesepakatan lainnya, tidak ada jaminan kesepakatan yang sudah dicapai di era keketuaan Indonesia akan terwujud dalam waktu dekat. Terbukti, krisis Myanmar belum selesai juga. Apalagi waktu keketuaan ASEAN itu sangat pendek, hanya 1 tahun,” kata Dafri.
Baca Juga: ASEAN Tutup Pintu untuk Myanmar
Laos, yang memegang keketuaan saat ini, juga pasti memiliki agenda yang berkaitan dengan kepentingan mereka sendiri. Itu artinya, kata Dafri, tidak ada jaminan apa yang sudah disepakati pada masa keketuaan Indonesia akan ditindaklanjuti oleh ketua baru.
Oleh karena itu, untuk tahun 2024 Indonesia harus berusaha memastikan agar agenda-agenda yang sudah disepakati sebelumnya tetap menjadi perhatian ASEAN dan diimplementasikan. Untuk itu, Indonesia harus terus memperkuat diplomasinya di ASEAN, termasuk menemukan strategi dan teknik diplomasi alternatif yang lebih efektif.
Dalam kasus Myanmar, misalnya, Indonesia mungkin bisa melibatkan atau memanfaatkan TNI sebagai pelaku diplomasi. Secara teoretis, apabila pihak yang berdiplomasi terhadap junta militer Myanmar adalah TNI, ada kemungkinan lebih efektif. Apalagi jika diplomasi dilakukan para petinggi TNI, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun dan pernah memiliki hubungan dengan para petinggi junta.
Baca Juga: ASEAN, Lahir di Tengah Perang Vietnam
Cara lain bisa juga memanfaatkan masyarakat sipil atau lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan. Pengalaman diplomasi yang dijalankan Palang Merah Indonesia di Myanmar pascabencana topan Nargis tahun 2008 menunjukkan diplomasi multijalur kadang-kadang cukup efektif menembus hambatan dari junta.
”Dalam satu tahun terakhir, Indonesia cukup berhasil menjadi agenda setter dan inisiator dalam menangani isu-isu penting ASEAN. Sayangnya belum sampai pada tahap implementasi secara maksimal. Ini tantangan diplomasi Indonesia ke depan, bagaimana agar setiap kesepakatan bersama dapat diwujudkan atau diimplementasikan secara nyata,” ujar Dafri.
Selama keketuaan Laos, Rezasyah khawatir ASEAN akan melunak dalam menangani krisis Myanmar dan menyatukan persepsi dalam menghadapi ambisi teritorial China di Laut China Selatan. Karena masih negara berkembang, Laos kemungkinan besar akan lebih fokus ke dalam negeri dengan mengoptimalkan peranannya dalam ASEAN.
Presiden Joko Widodo menyerahkan keketuaan ASEAN 2024 kepada Perdana Menteri Laos Sonexay Siphandone (kanan) saat seremoni penutupan KTT ke-43 ASEAN di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Laos akan cenderung mempercepat target Komunitas ASEAN untuk kepentingan sendiri dan dua tetangganya, Kamboja dan Myanmar. ASEAN harus mendesak Laos lebih tegas untuk isu Myanmar.
Rezasyah menyarankan Indonesia menggunakan jalur perwakilan, yakni masyarakat sipil Indonesia dengan kredibilitas internasional yang terpisah dari ASEAN. Ini akan memungkinkan berdialog dengan seluruh kekuatan yang ada di Myanmar, tanpa mengecilkan peranan pemerintahan Myanmar mengelola negerinya.
”Laos dan Myanmar masuk ke ASEAN pada tahun yang bersamaan sehingga secara psikologis Laos akan sungkan menekan Myanmar guna menyepakati Konsensus Lima Poin,” papar Rezasyah.
Baca Juga : ASEAN Tegaskan Kepemilikan Laut China Selatan
Di sisi lain, mengingat kedekatan Laos dengan China, diharapkan China akan membantu menekan Myanmar agar menyepakati prinsip Konsensus Lima Poin yang sudah disepakati sebelumnya oleh Myanmar. Jika China bisa membantu, kredibilitasnya di hadapan ASEAN akan meningkat.
Dalam hal ini, kata Rezasyah, China akan mau membantu menekan Laos karena punya kepentingan. China berharap agar ASEAN lebih kritis dalam menanggapi perkembangan AUKUS (perjanjian keamanan trilateral antara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) dan Quad (aliansi AS, Jepang, India, dan Australia) yang dikendalikan oleh AS.