Ledakan Bom di Masjid Iran Ancam Perluas Eskalasi Konflik di Timur Tengah
Bom dalam koper meledak dalam kompleks masjid yang dipadati peziarah. Ledakan itu dikhawatirkan memicu perang lebih besar di Timur Tengah. Semakin sulit menahan diri dari provokasi berupa pembunuhan di sejumlah negara.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEHERAN, KAMIS — Iran menetapkan Kamis (4/1/2024) sebagai hari berkabung nasional. Penetapan itu menyusul peledakan bom yang melukai dan menewaskan hampir 300 orang di Kerman. Tidak hanya di Iran, ledakan itu dikhawatirkan memperluas perang di Timur Tengah.
Kantor berita IRNA, Tasnim, dan Mehr melaporkan ada dua ledakan pada Rabu (3/1/2024) sore di Kerman. Ledakan pertama, menurut para saksi, terjadi sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Beberapa menit setelah itu menyusul ledakan kedua.
Mayoritas korban merupakan peziarah dalam peringatan setahun tewasnya Mayor Jenderal Qassem Suleimani. Ledakan terjadi pada titik 700 meter dan 1 kilometer dari makam mantan Komandan Brigade Quds pada Garda Revolusi Iran (IRGC) itu. Lokasi ledakan berada di kompleks masjid.
Sejumlah saksi menyebut, pelaku membawa koper. Diduga, bom dalam koper diledakkan dengan pemicu jarak jauh. Hingga Kamis pagi, 103 orang dipastikan tewas dan 188 orang lainnya cedera akibat ledakan tersebut. Selain itu, belasan orang luka-luka karena terinjak massa yang panik selepas ledakan.
Akibat serangan itu, Presiden Iran Ebrahim Raisi membatalkan rencana lawatan ke Turki. Kantor Kepresidenan Iran beralasan, Raisi ingin fokus menuntaskan penyelidikan serangan tersebut.
Penanggung jawab
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyatakan, Iran akan menuntut pertanggungjawaban membalas tindakan tersebut. ”Tidak diragukan lagi akan ada tanggapan yang keras,” kata Khamenei.
Raisi mengecam tindakan itu sebagai sebuah kejahatan yang keji dan tidak manusiawi. Ia dan Khamenei tidak menuding satu pihak tertentu sebagai dalang pengeboman dengan korban terbesar setelah peristiwa Revolusi Iran 1979.
Di media sosial, Wakil Presiden Iran Mohammad Jamshidi menuding Amerika Serikat dan Israel di balik serangan itu. ”Washington mengatakan AS dan Israel tidak berperan dalam serangan teroris di Kerman, Iran. Benarkah? Seekor rubah akan mencium sarangnya sendiri terlebih dahulu,” tulisnya di media sosial.
Menurut dia, AS bertanggung jawab penuh pada kejahatan itu. Sementara Israel dan praktik terorisme hanya alat.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menyangkal keterlibatan Washington. ”AS tidak terlibat dalam hal apa pun. Kami juga tidak punya alasan untuk percaya bahwa Israel terlibat dalam ledakan ini,” ujarnya.
Dosen kajian Timur Tengah pada Universitas Teheran, Hassan Ahmadian, menyebut ada peluang keterlibatan Israel dalam peledakan itu. ”Israel mungkin ingin melakukan tindakan eskalasi melawan Iran untuk memaksanya melakukan sesuatu yang akan menyeret AS (ke dalam konflik) melawan Iran,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Kerja intelijen
Dosen pada American University Beirut, Makram Rabah, menyinggung soal rangkaian beberapa peristiwa. Peristiwa-peristiwa itu identik dengan cara kerja intelijen Israel menghilangkan orang-orang yang berbahaya bagi Israel. Orang-orang yang berkaitan dengan Hamas, IRGC, hingga Hezbollah diburu intel-intel Israel.
Ia merujuk pada kematian Sayed Reza Mousavi di Suriah dan Saleh Mohammed al-Arouri di Lebanon. Mousavi penghubung Iran dengan berbagai kelompok bersenjata di Suriah dan Lebanon. Sementara Arouri penghubung Hamas dengan Hezbollah dan Iran.
Aneka peristiwa itu berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan Iran. Karena itu, para pemimpin sipil dan militer Iran akan kesulitan jika tidak bertindak untuk menanggapi rangkaian serangan tersebut. Warga di sejumlah daerah Iran juga telah meminta IRGC membalas kematian Mousavi.
Rabah menyebut, berbagai perkembangan beberapa waktu terakhir juga tidak lepas dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Menurut Rabah, ada upaya menyatukan intelijen, militer, dan politik Israel.
Sebelum perang Gaza meletus, ada perpecahan serius pada tiga sektor itu. Korupsi Netanyahu jadi pangkal perpecahannya. Sebagian agen intelijen dan prajurit Israel ikut unjuk rasa menuntut Netanyahu mundur.
Kini, ketidakpuasan pada Netanyahu dipicu serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Berbagai pihak menuding, pemerintahan Netanyahu gagal melindungi warga. Bahkan, ada tudingan Netanyahu mengabaikan peringatan intelijen soal serangan itu.
Rabah mengingatkan, aneka serangan di Lebanon, Suriah, dan Iran meningkatkan potensi perluasan konflik di Timur Tengah. Serangan di Lebanon, yang sebagian wilayahnya praktis dikendalikan Hezbollah, merupakan tindakan berisiko tinggi.
Sejak perang Gaza meletus, Hezbollah dan Iran berulang kali mengindikasikan akan terus menahan diri. Kondisi saat ini membuat Hezbollah dan Iran akan semakin kesulitan menahan diri. Pendukung Hezbollah dan warga Iran mengharapkan ada jawaban tegas atas serangkaian serangan itu.
Terseret perang
Penjabat PM Lebanon Najib Makati cemas Lebanon terseret perang selepas pembunuhan Arouri. Kecemasan itu dipicu kekhawatiran Hezbollah dan Iran membalas Israel atas pembunuhan Arouri.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell berpendapat senada dengan Rabah dan Makati. Karena itu, perlu solusi pragmatis dan jangka panjang untuk mencegah perluasan konflik.
Solusi pragmatis berupa penghentian segera perang Gaza. Sebab, perang itu dijadikan alasan berbagai pihak untuk terus baku tembak. Houthi di Yaman, Hezbollah di Lebanon, Kaitaib Hezbollah di Irak memakai alasan itu. ”Jika tragedi ini (perang Gaza) tidak segera berakhir, seluruh Timur Tengah mungkin akan terbakar,” kata Borrell.
Solusi jangka panjang termasuk perdamaian langgeng Israel-Palestina. Seperti perang Gaza, konflik Israel-Palestina juga jadi alasan berbagai pihak mengobarkan perang di berbagai wilayah. (AFP/REUTERS)