Ada 75 Juta Bayi Lahir, Populasi Manusia Tetap Berkurang
Populasi Bumi mungkin akan mencapai 10 miliar jiwa pada 2054. Jumlah kelahiran global tidak selaras dengan tingkat kematian.
Penduduk Bumi per Januari 2024 diperkirakan 8 miliar jiwa. Hal ini karena sepanjang tahun 2023, setidaknya ada 75 juta kelahiran. Meski demikian, sebenarnya populasi manusia di Bumi berkurang.
Data itu dikeluarkan Biro Sensus Nasional Amerika Serikat pada Jumat (29/12/2023). Menurut perkiraan mereka, jumlah penduduk Bumi pada bulan pertama tahun 2024 adalah sekitar 8,1 miliar jiwa kurang sedikit.
Data dari Biro Sensus AS berbeda dari data Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut PBB, penduduk Bumi tembus 8 miliar jiwa per September 2022. Perbedaan terjadi karena tidak ada satu lembaga pun yang bisa mengetahui jumlah persis penduduk global.
Baca juga: China Meminta Perempuan Menikah dan Punya Anak demi Pembangunan
Sejumlah negara padat penduduk, misalnya India, Nigeria, dan Bangladesh, tidak mengadakan sensus penduduk rutin. Bahkan, ada yang tidak menyelenggarakannya selama satu dasawarsa.
Selain itu, lebih banyak negara tidak mendata penduduknya. Hal itu terlihat dari ketiadaan kartu tanda identitas penduduk di sejumlah negara. Karena itu, penghitungan penduduk global dilakukan lewat permodelan.
Populasi berkurang
Di laman resmi Biro Sensus AS pada 9 Desember 2023 ada penjelasan dari pakar demografi Anne Morse. Menurutnya, kelahiran 75 juta orang sepanjang 2023 tidak menambah populasi manusia di Bumi. Malah, sebenarnya terjadi penurunan populasi dan hal itu berlangsung sejak 1960.
Sebagai gambaran, butuh 12,5 tahun untuk menambah populasi manusia dari 7 miliar ke 8 miliar jiwa. Sementara untuk mencapai 9 miliar jiwa atau menambah 1 miliar berikutnya, manusia butuh 14,1 tahun.
Jumlah kelahiran di mayoritas dunia tidak bisa menggantikan jumlah mereka yang meninggal.
Waktu untuk menambah 1 miliar berikutnya, atau menjadi 10 miliar, butuh lebih lama lagi. Sejak jumlah penduduk genap 9 miliar jiwa, diperkirakan akan butuh 16,4 tahun sampai akhirnya Bumi 10 miliar manusia. Dengan demikian, populasi Bumi mungkin akan mencapai 10 miliar jiwa pada 2054.
Kini, ada keseimbangan kependudukan adalah 2,1. Angka menunjukkan jumlah kelahiran yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi manusia. Kelahiran lebih rendah dari itu, populasi manusia akan berkurang.
Baca juga: Penduduk AS Terus Menua, Peluang bagi Pekerja Migran
Di banyak negara, angka keseimbangan kependudukan di bawah rata-rata global. Masalahnya, 74 persen warga dunia tinggal di negara-negara itu. ”Artinya, jumlah kelahiran di mayoritas dunia tidak bisa menggantikan jumlah mereka yang meninggal,” kata Morse.
Jika ditelisik lebih dalam, 42 persen warga dunia tinggal di negara dengan tingkat kelahiran paling tinggi 1,8. Sebagian lagi tinggal di keluarga dengan satu anak. Fenomena itu lazim di China, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, Meksiko, dan berbagai negara Eropa.
Selanjutnya, 23 persen penduduk Bumi tinggal di negara-negara dengan kelahiran 2,3 hingga 5. Negaranya antara lain Papua Niugini, Etiopia, Mesir, Filipina, dan Haiti. Indonesia termasuk kelompok negara dengan angka kelahiran 2,1 atau satu keluarga umumnya memiliki dua anak.
Ada juga empat persen penduduk Bumi tinggal di negara dengan tingkat kelahiran di atas lima. Semuanya berada di Benua Afrika, yakni Niger, Chad, Republik Demokratik Kongo, Somalia, Republik frika Tengah, Mali, Angola, dan Nigeria. ”Walaupun begitu, per 2060, kami memperkirakan perempuan di negara padat penduduk sekalipun hanya akan melahirkan maksimal empat anak,” ujar Morse.
Ia juga menyoroti fakta lain. Peningkatan jumlah anak di suatu negara bukan langsung berarti angka kelahiran naik. Akan tetapi, juga ada faktor berkurangnya tingkat kematian bayi dan anak balita.
Baca juga: Tren Populasi yang Menyusut dan Kecemasan Dunia
Ini fenomena positif yang semakin stabil di Afrika dan Asia. Artinya, kesehatan ibu selama kehamilan dan pascasalin membaik. Demikian pula layanan kesehatan dan vaksinasi guna mencegah penyakit pada anak.
Penuaan populasi
Peningkatan layanan kesehatan antara lain menyebabkan umur manusia lebih panjang. Kanada mencatat dalam satu dasawarsa ini umur penduduknya bertambah empat tahun. Hal itu berarti lansia mereka terhitung sehat.
Masalahnya, di negara-negara dengan penduduk berusia panjang ada kecenderungan kelahiran berkurang. Jumlah penduduk tua makin banyak, jumlah orang muda semakin sedikit. Kondisi itu disebut populasi yang menua.
Kondisi itu terjadi di banyak negara. Surat kabar Italia, La Stampa, Juni 2023, melaporkan hasil sensus nasional di negara Eropa Selatan itu. Perbandingan anak balita dengan lansia di negara bermayoritas penduduk Katolik itu adalah 1 : 5. Satu pensiunan disokong tiga pekerja.
Kondisi itu buruk bagi negara-negara yang punya sistem jaminan sosial. Dengan tren sekarang, sistem kesejahteraan sosial Italia bisa ambruk pada 2050.
Sejumlah negara mencoba menyiasatinya dengan program lansia produktif. Program ini mendapat tantangan, seperti di Perancis, karena menaikkan batas usia pensiun.
”Kita selalu memandang isu demografi dari soal politik dan kebijakan pemerintah, misalnya memberi berbagai tunjangan kepada warga yang memiliki anak dengan harapan makin banyak orang mau beranak. Akan tetapi kita sering melupakan isu sosial dan antropologisnya,” tulis Fraser Nelson, kolumnis surat kabar Inggris, Telegraph, Jumat (22/12/2023).
Baca juga: Antisipasi ”Ledakan” Generasi ”Sandwich” Pascabonus Demografi
Ada kelompok yang tidak diajak kala membahas soal kependudukan. Orang-orang itu adalah yang bahagia dan tidak punya anak. Pilihan hidup seperti itu sulit diubah dengan kebijakan pemerintah. ”Faktor mengenai makna pernikahan dan berkeluarga yang sehat dan produktif terhadap masyarakat tidak lagi berkisar mengenai menghasilkan keturunan,” tulis Fraser.
Negara bisa meminta masyarakat berkeluarga. Akan tetapi, arti hidup berkeluarga tergantung dari setiap pasangan. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah harus lebih peka terhadap pandangan masyarakat mengenai definisi mutu hidup dan keluarga, bukan sekadar menjanjikan bantuan keuangan.
Pemuda menganggur
Sementara itu, di Afrika, tantangan ada pada sumber daya manusia. Hal itu dikemukakan Duta Besar Kenya untuk Belgia sekaligus pengajar Ilmu Kewirausahaan Universitas Nairobi, Bitange Ndemo, di surat kabar BusinessDaily (22/12/2023). Sebanyak 25 persen pemuda global, atau 512 juta orang ada di Afrika.
Berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO) Oktober 2023, setengah dari 512 juta pemuda Afrika itu bekerja. Akan tetapi, cuma seperenam dari jumlah itu yang menerima upah reguler. Artinya, mayoritas pemuda itu bekerja serabutan.
Baru seperempat pemuda Afrika yang menempuh pendidikan tinggi dan seperempat sisanya menganggur. Mayoritas adalah perempuan. Di negara-negara Afrika Timur, tingkat pengangguran penduduk berumur 20-24 tahun saja 40 persen.
”Kita harus punya skema pendidikan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Pengembangan potensi e-dagang dan kemampuan wiraswasta serta wirausaha yang tertata,” kata Ndemo. (AP)