China Meminta Perempuan Menikah dan Punya Anak demi Pembangunan
Negara menginginkan agar perempuan lebih terlibat di dalam pembangunan. Caranya dengan melahirkan anak.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Presiden China sekaligus Sekretaris Partai Komunis China Xi Jinping memerintahkan kaum perempuan China lebih giat terlibat mewujudkan visi China modern. Mereka diminta menikah dan membina keluarga karena jumlah penduduk terus berkurang, sedangkan China memerlukan angkatan kerja yang banyak.
Dilansir oleh kantor berita nasional China, Xinhua, hal itu disampaikan Xi ketika bertemu dengan Federasi Perempuan Seluruh China (ACWF), organisasi yang berada di bawah Partai Komunis China (PKC) di Beijing, Senin (30/10/2023). Menurut dia, sejak tahun 2012, Komisi Tetap PKC telah menguatkan sistem yang melindungi hak dan cita-cita perempuan serta memperbaiki lingkungan tumbuh kembang perempuan.
Xi meminta agar organisasi-organisasi perempuan bisa menerjemahkan segala kebijakan PKC menjadi petunjuk-petunjuk yang spesifik menyasar kaum perempuan sebagai kiat melibatkan kiprah dalam pembangunan. ”Penting bagi kita semua menguatkan pandangan generasi muda mengenai pernikahan dan berkeluarga. Perempuan selain membangun bangsa melalui bekerja, juga dengan membina keluarga yang sejahtera dan harmonis,” ujarnya.
Ia juga menyuruh organisasi-organisasi perempuan melakukan penyelidikan hingga ke akar rumput mengenai aspirasi perempuan dan kebutuhan perempuan atas hal-hal yang mendukung pengembangan mereka. Menurut Xi, tujuannya adalah mencapai kesetaraan dan keadilan jender. Simpul-simpul masalahnya harus diidentifikasi.
Pada Januari 2023, Badan Pusat Statistik China menerbitkan data jumlah penduduk negara tersebut pada akhir tahun 2022 yang mencapai 1,4 miliar jiwa atau berkurang 850.000 jiwa dibandingkan tahun 2021. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan jumlah penduduk China terus berkurang menjadi 1,3 miliar jiwa pada 2050 dan 800 juta jiwa per tahun 2100.
Hal ini karena angka kesuburan penduduk China diperkirakan hanya 0,5. Angka kesuburan tahun 2022 adalah 1,18. Artinya, semakin sedikit penduduk China yang berkeluarga dan memiliki anak. PBB mendata, perempuan China memutuskan untuk memiliki anak pada usia yang lebih matang. Pada tahun 2000 muncul tren perempuan melahirkan pada usia rata-rata 26 tahun. Sekarang, rata-rata perempuan memiliki anak pada usia 29 tahun.
Namun, Pusat Penelitian Kependudukan Yu Wa di Beijing pada Februari 2022 melaporkan, biaya memiliki anak di China setara tujuh kali lipat rata-rata pendapatan per kapita masyarakat. Ini membuat biaya mengasuh anak di China lebih mahal dibandingkan di Amerika Serikat ataupun Jepang. Di kedua negara ini, biaya memiliki anak mencapai empat kali lipat rata-rata pendapatan per kapita nasional.
Biaya rata-rata mengasuh anak di China dari lahir hingga umur 18 tahun adalah 485.000 yuan atau Rp 1,05 miliar. Di kota besar, biayanya lebih mahal. Di Shanghai mencapai 1 juta yuan dan di Beijing 969.000 yuan. Oleh sebab itu, angka kelahiran di Shanghai dan Beijing di bawah rata-rata nasional.
Laporan Yu Wa menjelaskan, China sebagai negara berkembang masih sangat tergantung pada sumber daya manusia untuk menggerakkan perekonomian. Tanpa pergantian generasi, China akan kehilangan kemampuan untuk tumbuh dan berinovasi. Mereka memperkirakan China membutuhkan minimal 5 persen dari pendapatan domestik bruto untuk membuat berbagai insentif antara lain berupa subsidi pendidikan, penurunan bunga hipotek, dan penambahan tempat penitipan anak.
Pada 2022, lembaga kajian daring China, WhatYouNeed, melakukan survei di media sosial QQ dengan responden 20.431 penduduk China berusia 35 tahun ke bawah. Hasilnya, dua pertiga responden, baik laki-laki maupun perempuan, tidak menginginkan punya anak. Dari responden yang sudah menikah bahkan hanya 44 persen yang menginginkan anak.
Terdapat pula persoalan migrasi. PBB mendata pergerakan manusia di Bumi sejak tahun 1950. Pada 2021, sebanyak 200.000 penduduk bermigrasi permanen dari China. Jumlah ini tidak sebanyak periode 1990-an yang mencapai 750.000 orang. Akan tetapi, menurut PBB, hingga tahun 2100, diperkirakan setiap tahun 310.000 orang meninggalkan China untuk pindah ke luar negeri.
Pakar Ilmu Sosial dari Universitas Hong Kong, Stuart Giesel-Baten, kepada media NPR edisi 17 Januari 2023 menjelaskan, turunnya populasi tidak serta merta membuat perekonomian China menurun. Meskipun demikian, era tenaga kerja murah sudah hampir berakhir sehingga berbagai proyek pembangunan fisik juga akan berkurang. Dia memperkirakan, China akan memanfaatkan seluruh sumber daya yang mereka miliki, termasuk warga lansia, agar tetap produktif.
Selama pandemi Covid-19, di media sosial China populer tagar "Last Generation" (Generasi Terakhir). Hal ini dipicu peristiwa ketika seorang pemuda menolak dimasukkan ke karantina. Petugas mengancam jika menolak, keluarga pemuda itu selama tiga keturunan berikutnya juga akan terkena dampak hukum. ”Maaf, ya. Saya generasi terakhir,” jawab pemuda itu.
Media sosial kemudian dipenuhi komentar yang menyebut diri mereka juga generasi terakhir di keluarga masing-masing. Ada yang bahkan mengunggah, di China, jika seseorang sayang anak, ia tidak melahirkannya ke dunia. Kepada surat kabar Inggris, Guardian, edisi 20 Januari 2023, Kongkong (26), seorang perempuan peneliti, mengatakan, dirinya tidak mau memiliki anak.
”Semua sekolah di China isinya propaganda pemerintah. Saya tidak punya uang untuk mengirim dia ke luar negeri. Lebih baik tidak punya anak,” ujarnya. (Reuters)