Demokrasi Terberangus di Rumah Magna Charta
Pemerintahan Inggris menelurkan aturan yang dinilai mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Buah dari Brexit.
LONDON, RABU — Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di muka umum sejak lama menjadi tulang punggung demokrasi. Di Inggris, salah satu pelopor dan pengampanye utama demokrasi, tulang punggung itu terancam.
Dilaporkan Associated Press pada Selasa (26/12/2023), semakin banyak orang ditangkap karena unjuk rasa di Inggris. Dasar penangkapannya adalah Undang-undang Ketertiban Umum (POA) 2023.
Disahkan pada Mei 2023, POA menguatkan Undang-undang Kepolisian, Penghukuman, dan Pengadilan (PSCA) 2022. PCA PSCA melebarkan makna soal protes ”yang tidak bisa diterima”, kejahatan terhadap anak, serta pembatasan hukuman. Dalam PSCA, unjuk rasa dapat dilarang.
Baca juga: DPR AS ”Bungkam” Kebebasan Berpendapat
Sementara di POA, ada sanksi kurungan hingga 11,5 bulan bagi pengunjuk rasa. Hukuman diberikan kepada orang yang dianggap mengganggu operasional obyek vital nasional, proyek prioritas nasional, dan sarana transportasi penting.
POA memberi aparat hak menggeledah orang dan mencegah unjuk rasa. Kebebasan dapat dicabut dengan alasan mencegah unjuk rasa yang dinilai berpotensi mengganggu ketertiban umum, proyek dan obyek vital nasional, serta sarana transportasi vital.
Dikutip dari laman Amnesty Internasional Inggris, aturan ini memberikan kekuasaan tak terbatas pada aparat keamanan dan pemerintah untuk membatasi hak berpendapat dan melakukan protes secara damai. UU ini, menurut Amnesty, memberi kewenangan pada polisi untuk memberangus protes, walau dilakukan hanya oleh satu orang.
Para terdakwa
Aturan-aturan baru itu antara lain dipakai menjerat Morgan Trowland. Bersama temannya, ia divonis 3 tahun penjara. Hukuman itu sanksi karena mereka memanjat jembatan Sungai Thames pada Oktober 2022. Setelah dipenjara 14 bulan, ia dibebaskan.
Kala itu, mereka menggantung spanduk Just Stop Oil. Aksi mereka menyebabkan jalan raya yang terhubung dengan jembatan itu ditutup hampir dua hari.
Polisi juga menangkapi banyak pengampanye isu lingkungan. Sebab, mereka dinilai mengganggu lalu lintas karena sengaja melangkah pelan di jalan raya.
Aturan sejenis dipakai menjerat Trudi Warner. Pada Maret lalu, ia duduk di depan kantor pengadilan London dan membawa poster soal tugas juri. Kini, ia sedang disidang karena dinilai mengganggu ketertiban umum. Sebagian orang membuat tiruan poster Warner dan membawanya ke depan kantor pengadilan London.
Baca juga: Risiko Besar Pendukung Palestina di Amerika dan Eropa
Sasaran lain aturan itu adalah para pengunjuk rasa yang menyampaikan dukungan untuk Palestina. Sebelum dipecat sebagai Menteri Dalam Negeri Inggris, Suvella Braverman secara terbuka mengusulkan unjuk rasa mendukung Palestina harus dilarang karena dianggap mengancam keamanan.
Aneka aturan
Inggris punya banyak aturan yang dianggap memberangus hak menyatakan pendapat di muka umum. Aturan itu dipakai menindak orang-orang yang, menurut pemerintah dan parlemen Inggris, mengganggu ketertiban, keamanan, dan perekonomian Inggris.
Sepanjang 2023, selain POA, parlemen mengesahkan UU Keamanan Internet dan UU Pendidikan Tinggi. UU Pendidikan Tinggi antara lain mengatur hak berpendapat di kampus.
Para kritikus tidak sependapat dengan pemerintah dan parlemen Inggris. ”Pemerintah berniat, dengan sangat jelas, untuk menekan dan menghalangi demonstrasi, protes, yang dilakukan secara sah,” kata Jonathon Porrit, pakar lingkungan dan mantan direktur sebuah lembaga swadaya masyarakat, Friends of The Earth.
UU Keamanan Internet awalnya ditujukan mengatur materi yang dinilai membahayakan pengguna, terutama anak-anak dan remaja. UU mewajibkan pelantar distribusi materi internet membatasi akses pada materi yang masuk kategori itu. Rasisme, menyakiti diri sendiri, pembatasan makan, hingga anti-Semit dimasukkan dalam kategori itu.
Ternyata, penerapan aturan itu membahayakan kebebasan berpendapat. Para aktivis menilai aturan ini membuat perusahaan teknologi secara serampangan menghapus konten atau menggantung status seseorang. Penghapusan dengan alasan melanggar aturan.
Baca juga: Ketika Universitas Harvard Tersandung Isu Konflik Palestina-Israel
Pada 2022, klausul pelanggaran hukum mengganggu ketertiban umum dibuat, dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara. ”Padahal, kita tahu dari sejarah bahwa tanpa protes, tidak ada kemajuan sosial,” demikian pernyataan Amnesty International.
Demokrasi yang suram
Situasi kebebasan berpendapat, salah satu hak asasi paling asasi manusia, kini memasuki masa gelap. Analis dan kritikus menyebut landasan demokrasi Inggris telah retak.
Inggris negara monarki tua yang menerapkan demokrasi. Negara itu rumah bagi Magna Charta, pembatas monarki absolut, sehingga monarki hidup berdampingan dengan demokrasi.
Sistem demokrasi berkembang subur dengan sistem peradilan yang juga berevolusi. Semua itu didukung dengan legislasi atau peraturan perundang-undangan, konvensi, keputusan pengadilan, hingga yurisprudensi yang menjadi landasan kehidupan bernegara. ”Hasilnya, kita mengandalkan pemerintah yang bisa mengendalikan diri,” kata Andrew Blick, penulis buku Democratic Turbulence in The UK dan pakar politik di King’s College, London.
Dengan berbagai norma yang melingkupi, dia menyebut, masyarakat berharap para penguasa bisa berperilaku baik. Namun, kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan.
Boris Johnson mendorong kekuasaan yang berada di tangannya hingga ke batas. Rishi Sunak, yang baru menjabat sekitar setahun, berlaku senada. Sunak berupaya mengintervensi Mahkamah Agung dengan menggunakan kekuatan parlemen.
Baca juga: Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia Semakin Sempit
Sunak memandang unjuk rasa sebagai bentuk fanatisme ideologi. Sementara para penggiat demokrasi menyebutnya bentuk protes dan pembangkangan sipil yang lazim terjadi di negara demokrasi.
Pelapor Khusus Isu HAM dan Perubahan Lingkungan pada Perserikatan Bangsa-bangsa, Ian Fry, menyatakan, sebagian aturan Inggris merupakan serangan langsung pada hak kebebasan berpendapat dan berkumpul. Sunak menyanggah itu. ”Mereka yang melanggar hukum harus merasakan konsekuensinya secara penuh,” kata Sunak.
Di pengadilan, para hakim melarang pengampanye lingkungan menyatakan perubahan iklim sebagai landasan protes. Jika tetap menyatakan itu, mereka bisa didakwa dengan tuduhan penghinaan pengadilan.
Mantan jaksa yang kini jadi pengampanye isu lingkungan, Tim Crosland, risau dengan keadaan itu. Ia menilai, pembungkaman di ruang pengadilan Inggris mengingatkannya seperti situasi yang terjadi di Rusia atau China.
Analis, pakar hukum dan konstitusi menilai, kebijakan Pemerintah Inggris saat ini yang mengekang kebebasan berpendapat merupakan ekses dari Brexit, yang diinisiasi Johnson. Referendum yang diinisiasi Johnson dan membawanya ke tampuk kekuasaan membuatnya bertindak sembrono, serampangan, dan menguji konstitusi yang telah mengatur jalannya sistem pemerintahan. Ia membekukan parlemen yang menghalangi upaya pemerintahannya menerapkan Brexit tanpa persetujuan parlemen.
Baca juga: Mendung Menggelayut bagi Para Pengirim Pesan
Sejumlah usulan untuk memperbaiki buruknya situasi demokrasi di Inggris bermunculan. Bentuknya antara lain pembuatan lembaga pemantau yang disebut Majelis Warga. Lembaga baru ini diharapkan bisa membantu mengawasi jalannya konstitusi dan aturan perundang-undangan lain. Namun, hal itu disambut pesimistis oleh banyak orang.
Meski banyak pengekangan, warga tidak jera. Seorang pendeta, Sue Parfitt (81), berulang kali ditangkap karena ikut unjuk rasa soal perubahan iklim. ”Hal ini layak dilakukan untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak untuk berdemonstrasi, terlepas dari perubahan iklim. Akan sulit bagi saya untuk masuk penjara pada usia 81 tahun. Namun, saya jalan terus,” tuturnya. (AP/REUTERS)