Kisah Profesor Rusia Terpilih Jadi Wali Kota di Kolombia
Seorang profesor asal Rusia secara mengejutkan terpilih menjadi wali kota di Kolombia.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·3 menit baca
Tunja
Ketika pertama kali tiba di Tunja, kota berpenduduk 170.000 jiwa di dataran tinggi Andes dan berjarak sekitar 140 kilometer timur laut Bogota, ibu kota Kolombia, pada program pertukaran pelajar tahun 2008 Mikhail Krasnov (45), pria asal Rusia, langsung jatuh cinta pada makanan dan budayanya.
Tak ada niatan kala itu untuk tinggal permanen, apalagi jadi orang nomor satu di kota tersebut. Ia belajar bahasa Spanyol, bahasa resmi di Kolombia, dan baru mendaftar sebagai warga negara itu dua tahun lalu.
Namun, siapa sangka dalam pilkada, Oktober 2023, Krasnov—yang kini dijuluki ”profesor asal Rusia” berkat posisinya sebagai profesor di salah satu universitas setempat—terpilih menjadi wali kota Tunja. ”Ibuku berdarah Ukraina, ayahku orang Rusia, dan aku sendiri (sekarang) orang Kolombia,” ujar Krasnov.
Ia lahir di Saratov, Rusia selatan, tahun 1978. Meski lahir dan asal Rusia, Krasnov menentang invasi Rusia ke Ukraina. Bukan hanya ada darah Ukraina pada ibunya. Ia juga mempunyai banyak teman—dan tentu saja, kerabat—di Ukraina. Di Kolombia, Krasnov diyakini menjadi satu-satunya orang Rusia di kota Tunja.
Dalam sepuluh tahun terakhir, ia mengajar mata kuliah ekonomi dan hak asasi manusia di sebuah universitas negeri setempat. Mulai tahun lalu, Krasnov berkecimpung di dunia politik. Saat itu ia semakin frustrasi, tak banyak kemajuan dalam penciptaan lapangan kerja dan pengentasan rakyat dari kemiskinan di Tunja.
”Anda sudah sampai pada umur ketika Anda mulai bertanya pada diri sendiri tentang apa yang bisa Anda sumbangkan,” ujar Krasnov mengenai alasan dirinya terjun ke kancah politik.
Dalam politik, ia melukiskan dirinya berhaluan tengah. Ia kerap bercanda tentang kampanyenya, termasuk saat menghadapi kandidat-kandidat yang didukung dana melimpah dan diusung partai-partai lama penguasa di Tunja selama bertahun-tahun.
”Saya profesor di universitas negeri, yang lahir di Uni Soviet, sehingga mungkin Anda berpikir bahwa saya berhaluan kiri,” kata Krasnov.
Ibuku berdarah Ukraina, ayahku orang Rusia, dan aku sendiri (sekarang) orang Kolombia.
”Tapi, orang-orang kiri itulah yang pertama kali menyerang saya, termasuk bahkan ketika saya masih berusaha mengumpulkan tanda tangan dukungan, (saya diserang) karena saya juga mencari dukungan para pemilih pendukung mereka.”
Tak mampu bayar
Awalnya Krasnov ingin maju sebagai calon wali kota independen dengan mengumpulkan 30.000 tanda tangan dukungan warga. Tanda tangan sebanyak itu berhasil didapat, tetapi ia tak mampu membayar 10.000 dollar AS (Rp 155 juta), syarat pencalonan lainnya. Untunglah, partai Kekuatan untuk Perdamaian—yang baru didirikan tahun lalu—mau mengusungnya sebagai calon wali kota.
Dalam kampanye, Krasnov menjanjikan perang terhadap korupsi dan mendukung meritokrasi. Meritokrasi, menurut dia, diperlukan karena jatah-jatah pekerjaan atau jabatan kerap jatuh ke tangan orang-orang yang punya koneksi atau ”orang dalam”. Ia juga berjanji mengurangi utang Pemerintah Kota Tunja.
Pada hari pemilihan, Krasnov menyisihkan delapan pesaingnya, termasuk calon dukungan partai pengusung Presiden Kolombia Gustavo Petro, dengan meraup dukungan 31 persen suara. ”Ini hasil sangat mengejutkan,” ujar Alejandra Monroy Martínez, ilmuwan politik di Tunja.
Ia menyebut kemenangan Krasnov mencerminkan ketidakpuasan warga Tunja pada kelas elite politik yang selama ini berkuasa. ”Wali kota-wali kota sebelumnya mengecewakan kami karena mereka hanya mengantongi sendiri seluruh dana anggaran,” kata Alba Rodríguez Parra (56), warga setempat.
Parra menuturkan, dirinya percaya Krasnov karena ”orang Rusia” itu profesor di universitas negeri, bisa bertutur dalam enam bahasa, dan punya banyak gelar sarjana. Soal selera dan alasan pilihan, orang memang punya masing-masing alasan. (AP)