Jajaki Gencatan Senjata, Ketua Hamas ke Mesir, Bos Mossad Temui PM Qatar-CIA
Di tengah penderitaan warga Gaza akibat serangan Israel yang membabi buta dan tekanan keluarga sandera warga Israel terhadap Pemerintah Israel, upaya gencatan senjata di Jalur Gaza kembali dijajaki.
TEL AVIV, RABU — Setelah hampir tiga pekan bertempur lagi pascajeda kemanusiaan selama sepekan, Hamas dan Israel masing-masing kembali mencari cara guna mencapai kesepakatan baru gencatan senjata, termasuk pertukaran sandera dan tahanan. Israel menggelar pertemuan segitiga bersama Qatar dan Amerika Serikat. Adapun Hamas membahas hal tersebut dalam rencana lawatan ke Mesir.
Pada Rabu (20/12/2023), Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh memimpin delegasi Hamas ke Mesir. Menurut sumber kantor berita AFP, Selasa, Haniyeh akan menggelar pertemuan dengan Kepala Intelijen Mesir Abbas Kamel.
Sumber Hamas menjelaskan, pembicaraan Hamas dan Mesir akan fokus pada ”penyaluran bantuan kemanusiaan, penarikan tentara Israel dari Jalur Gaza, serta pemulangan warga Gaza yang selama ini menjadi pengungsi ke kota-kota dan desa-desa asal mereka di Gaza utara”.
Kunjungan Haniyeh ke Mesir kali ini merupakan yang kedua kalinya sejak perang Hamas-Israel meletus mulai 7 Oktober 2023. Perang tersebut diawali serangan Hamas ke wilayah Israel selatan, 7 Oktober.
Israel mengatakan, sekitar 1.200 warga—sebagian besar warga sipil—tewas dalam serangan Hamas itu. Sebanyak 240 warga Israel dan warga asing ditangkap dan disandera Hamas dan faksi-faksi lain.
Baca juga : Retorika Dunia Tak Akan Menyelamatkan Gaza
Israel kemudian melancarkan serangan balasan ke wilayah Jalur Gaza. Hingga Selasa (19/12/2023), menurut kementerian ksehatan di Gaza, korban tewas di kalangan warga Palestina di Gaza lebih dari 19.600 orang. Adapun korban luka-luka lebih dari 52.000 orang.
Badan Bantuan Sosial dan Pekerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA), yang mengurusi pengungsi Palestina, menambahkan bahwa lebih dari 60 persen infrastruktur di Gaza hancur dan rusak. Lebih dari 90 persen dari total 2,3 juta warga Gaza hidup terlunta-lunta, mengungsi dari tempat tinggal mereka.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, ribuan warga Palestina terkubur di bawah puing-puing reruntuhan bangunan dan gedung-gedung di Gaza yang luluh lantak digempur Israel. Pada saat yang sama, bantuan kemanusiaan makin menipis dan tidak menjangkau seluruh wilayah Gaza.
Baca juga : Dewan Keamanan Berupaya Keras Hindari Veto AS
Pertempuran berhenti selama sepekan pada pekan terakhir November 2023. Dalam jeda pertempuran yang dimediasi Qatar dengan dukungan Mesir dan AS itu, Hamas melepaskan lebih dari 100 sandera, termasuk 80 sandera warga Israel. Sebagai imbalannya, Israel membebaskan 240 warga Palestina yang ditahan Israel.
Video sandera
Menjelang pertemuan Hamas dengan Mesir dan untuk meningkatkan tekanan kepada Israel, pada Senin (18/12/2023), Hamas merilis video yang menunjukkan warga Israel yang masih disandera dalam keadaan hidup. Video yang dirilis Brigade Ezzedine al-Qassam, sayap militer Hamas, itu diberi judul ”Jangan Biarkan Kami Menua di Sini”. Dalam video ini, terlihat tiga laki-laki Israel dengan muka berewok meminta agar dibebaskan.
Sebagian dari para sandera, yang masih berada di Gaza, dinyatakan meninggal in absentiaoleh otoritas Israel.
Sayap militer kelompok Jihad Islam, Brigade Al-Quds, juga merilis video, Selasa ini. Dalam video itu terlihat dua laki-laki Israel yang meminta supaya ada tekanan kepada Israel untuk membebaskan para sandera. Kedua laki-laki tersebut diidentifikasi bernama Gadi Moses dan Elad Katzir.
Moses berumur 79 tahun dan bekerja sebagai petani. Ia diculik dari sebuah kibbutz pada 7 Oktober lalu. Adapun Katzir berusia 47 tahun dan diculik juga dari kibbutz bersama ibunya. Menurut laporan media, ibu Katzir telah dibebaskan, sedangkan ayahnya terbunuh.
Sebagian dari para sandera, yang masih berada di Gaza, dinyatakan meninggal in absentia oleh otoritas Israel.
Dari sisi Israel, upaya perundingan kembali terkait gencatan senjata didorong sejumlah faktor. Dunia internasional, termasuk para sekutu terdekat Israel, menekan Pemerintah Israel untuk melakukan gencatan senjata. Serangkaian penembakan oleh tentara Israel, yang keliru menewaskan tiga sandera warga Israel yang tengah mencari pertolongan, menambah tekanan tersebut.
Baca juga : Gaza yang Kian Merana
Menteri Luar Negeri Perancis Catherine Colonna menyerukan pentingnya ”jeda pertempuran segera” dengan sejumlah sasaran. Di antaranya adalah supaya bisa membebaskan lebih banyak sandera, meningkatkan jumlah bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan mengawali solusi politik dalam konflik Hamas-Israel.
Gencatan senjata versi Barat
Pada Minggu (17/12/2023), Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron dan Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menulis artikel bersama di media Inggris, Sunday Times. Dalam artikel itu, keduanya menyerukan gencatan senjata berkelanjutan di Gaza. Keduanya berargumen, sudah terlalu banyak warga sipil tewas.
Menurut Cameron dan Baerbock, segala upaya harus dilakukan untuk mencapai gencatan senjata yang berkelanjutan (sustainable ceasefire) dan selanjutnya terwujud perdamaian. Ketika ditanya tentang apa yang dia maksud dengan ”gencatan senjata berkelanjutan” dalam artikel itu, Cameron dalam kunjungan ke Roma, Italia, Selasa (19/12/2023), menjelaskan bahwa penghentian pertempuran ”tidak disebut berkelanjutan jika Anda menghentikan (pertempuran) secara permanen, sedangkan Hamas dibiarkan tetap mengontrol meski atas satu bagian wilayah di Gaza”.
Menurut Cameron, gencatan senjata dan solusi dua negara ”tidak bisa dijalankan bersamaan”. ”Anda tidak bisa mengharapkan Israel mengikuti solusi dua negara, sementara Hamas menguasai satu bagian wilayah yang akan menjadi wilayah Palestina,” kata Cameron.
”Solusi berkelanjutan berarti Hamas tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel, tidak mampu lagi melakukan seperti yang mereka lakukan pada 7 Oktober,” lanjutnya.
Pemerintah Israel juga mendapat tekanan dari dalam negeri. Keluarga para sandera mendesak Pemerintah Israel bersepakat lagi dengan Hamas demi membebaskan semua warga Israel yang masih disandera.
Desakan itu juga disertai kemarahan, terutama setelah tentara Israel secara keliru membunuh tiga sandera warga Israel yang berhasil melarikan diri dan meminta pertolongan dengan melambaikan bendera putih, Jumat (15/12/2023). Otoritas Israel memperkirakan, dari 240 warga Israel yang disandera, ada 129 warga Israel yang masih disandera Hamas.
Baca juga : Sebelum Ditembak Tentara Israel, Tiga Sandera Itu Lambaikan "Bendera Putih"
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pertemuan dengan para keluarga korban sandera, Selasa (19/12/2023), menyatakan, ia tidak akan menyia-nyiakan segala upaya. Ia menyatakan, ”Tugas kami adalah membawa mereka kembali.”
Pertemuan Mossad-Qatar-CIA
Kepada para keluarga sandera, Netanyahu mengatakan, ia sudah dua kali mengirim Direktur Intelijen Mossad David Barnea ke Eropa untuk berunding. Media AS, Axios, Senin lalu, melaporkan bahwa Barnea telah bertemu dengan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani dan Direktur Badan Pusat Intelijen AS (CIA) William Burns di Eropa guna membahas kemungkinan kesepakatan baru untuk pembebasan para sandera.
Axios juga melaporkan, Selasa, bahwa Israel menawarkan jeda pertempuran di Gaza selama paling tidak satu pekan sebagai imbalan pembebasan lebih dari 36 sandera yang ditahan Hamas.
Sumber-sumber di kalangan diplomat, yang dikutip Reuters, Selasa, menyebutkan, pertemuan segitiga antara Barnea, Sheikh Mohammed, dan Burns berlangsung di Warsawa, Polandia. ”Pembicaraan mereka positif dengan negosiasi untuk menjajaki dan membahas tawaran-tawaran yang beragam dalam upaya mendorong kemajuan dalam perundingan,” kata sumber kepada Reuters.
”(Meski demikian) Bukan berarti kesepakatan akan terjadi dalam waktu dekat,” lanjut sumber tersebut. Situs berita Israel, Ynet (edisi bahasa Inggris dari Yedioth Ahronot), mengutip sumber yang terlibat dalam pertemuan tersebut, melaporkan bahwa negosiasi akan berlangsung ”panjang, rumit, dan lebih sulit dibandingkan sebelumnya”. (AFP/AP/REUTERS/SAM)