Jake Sullivan akan bertemu dengan Mahmoud Abbas. AS berpendapat Pemerintah Palestina harus bisa menaungi Tepi Barat dan Gaza.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan sedang dalam perjalanan menuju Ramallah di Tepi Barat, Palestina, guna bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Pertemuan ini digelar di tengah menurunnya kepopuleran Abbas di kalangan rakyat Palestina.
Sullivan bertolak dari Washington pada Kamis (14/12/2023) dan diperkirakan mendarat di Ramallah, Jumat (15/12/2023). Belum ada keterangan resmi rencana jalannya pertemuan Sullivan dengan Abbas. Akan tetapi, seorang pejabat Amerika Serikat yang menolak diungkap namanya membocorkan kepada kantor berita Reuters bahwa AS ingin mereformasi Pemerintah Palestina.
”Reformasi ini dalam artian meningkatkan kapasitas dan otoritas Pemerintah Palestina karena, menurut AS, solusi dari konflik Israel dengan Palestina ini adalah terciptanya dua negara merdeka,” kata pejabat tersebut.
Menurut pejabat itu, selama kelompok Hamas berada di Gaza, tidak akan tercipta negara Palestina yang bersatu. Pemerintah Palestina yang kuat ialah yang bisa mengelola Tepi Barat dan Gaza di bawah satu payung. Harus ada jaminan bahwa serangan seperti yang dilakukan oleh Hamas ke Israel pada 7 Oktober tidak akan terulang di masa depan.
Abbas adalah kepala negara Palestina yang didukung oleh AS. Di Tepi Barat, pasukan keamanan Palestina juga dilatih oleh AS. Mereka dinilai mampu menjadi embrio untuk mengembangkan tentara nasional Palestina. Adapun Hamas menguasai Gaza sejak tahun 2007. Bangsa Palestina tidak pernah mengalami pemilihan umum sejak tahun 2006 ketika Hamas memenangi mayoritas kursi di DPR.
Sullivan dan Abbas juga akan membicarakan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh warga Israel yang mengokupasi Tepi Barat. Sejauh ini, sudah 275 warga Tepi Barat tewas akibat serangan warga sipil Israel tersebut. Kekerasan itu dipantik oleh serangan Hamas pada 7 Oktober lalu yang membuat sejumlah warga Israel memburu warga Palestina guna membalas dendam.
Stasiun televisi Israel, Channel 12, menyiarkan wawancara dengan Sullivan. Dalam acara itu, Sullivan mengungkapkan bahwa ia sudah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Akan tetapi, ia menolak memberi tahu waktu komunikasi itu dilakukan.
Menurut Sullivan, ia dan Netanyahu berbincang mengenai taktik serangan militer Israel ke Gaza yang harus berubah dari serangan darat dan udara secara masif menjadi lebih terarah dan terinci. AS menginginkan ada perpanjangan jeda kemanusiaan guna memberi kesempatan pembebasan lebih banyak sandera yang ditawan Hamas sekaligus agar warga Gaza bisa mengungsi ke selatan.
AS memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengamanatkan gencatan senjata. Alasannya, gencatan senjata tidak akan menghentikan serangan Hamas dan kemungkinan mereka membuat serangan kejut lagi di masa depan. PBB membawa persoalan itu ke pemungutan suara di Majelis Umum. Hasilnya, 153 negara setuju ada gencatan senjata dan 10 negara menolak.
Sementara itu, di Palestina, pamor Abbas sebagai kepala negara menurun. Pusat Kajian Kebijakan dan Survei Palestina (PSR) melakukan jajak pendapat pada 22 November-2 Desember terhadap 1.231 warga Gaza dan Tepi Barat. Di Gaza, jajak pendapat disertai dengan wawancara para responden yang dilangsungkan selama jeda kemanusiaan satu pekan.
Khalil Shikaki, Direktur PSR, mengatakan, ada marjin kekeliruan sebesar 4 persen karena perang menimbulkan gangguan kehidupan masyarakat. Di Gaza, jumlah korban tewas akibat serangan Israel kini mencapai 18.400 jiwa. Mayoritas korban adalah anak-anak dan kaum perempuan.
Hasil jajak pendapat mencatat, 57 persen responden di Gaza dan 82 persen responden di Tepi Barat mendukung serangan Hamas pada 7 Oktober. Mereka memercayai alasan Hamas menyerang Israel ialah guna melindungi kesucian kota Jerusalem dan demi membebaskan warga Palestina yang dipenjara Israel.
Hanya 10 persen responden berpendapat bahwa Hamas telah melakukan kejahatan perang. Mayoritas responden menilai Hamas tidak melakukan kejahatan kemanusiaan dengan alasan tidak ada bukti foto ataupun visual atas tuduhan tersebut.
Shikaki melihat ini karena fokus media Israel dan Palestina berbeda. Kebanyakan media Israel fokus pada serangan 7 Oktober. Sebaliknya, media Palestina umumnya fokus pada serangan di Gaza sehingga narasi yang mendudukkan perkara tidak muncul ke permukaan.
Sebanyak 88 persen responden menginginkan Abbas mundur dari jabatan presiden. Menurut mereka, pemerintahan yang dipimpin Abbas korup, lamban, dan tidak cakap. Jajak pendapat itu melihat tokoh politik yang naik pamornya adalah pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, dan Marwan Baghouti dari kubu Fatah yang kini mendekam di penjara Israel. (AP/REUTERS)