Komunitas Internasional Terus Tersandera soal Gaza
AS kini sama terkucilnya dengan Rusia. AS tidak diacuhkan karena terus menolak upaya gencatan senjata di Gaza. Tujuan Israel di Gaza semakin tidak jelas.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menilai komunitas internasional tersandera dan tidak berdaya menghentikan kekejaman di Gaza. Sebagai pendukung utama Israel, Amerika Serikat ikut bertanggung jawab atas tragedi di Gaza.
Dalam sidang pada Jumat (8/12/2023) siang waktu New York, AS, atau Sabtu dini hari WIB, Dewan Keamanan PBB kembali gagal menyetujui gencatan senjata di Gaza. Seperti sebelumnya, veto AS jadi alasan kegagalan pengadopsian resolusi yang disokong 102 negara itu.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan sangat menyesali kegagalan itu. ”Komunitas global tidak bisa terus bergantung pada belas kasihan beberapa negara saja dan tanpa daya menyaksikan kekejaman dan pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak di Gaza,” ujarnya.
Deputi Wakil Tetap AS di PBB Robert Wood berkilah, gencatan senjata hanya akan membuat Hamas terus berkuasa di Gaza. AS tidak percaya bahwa gencatan senjata akan membawa perdamaian di Gaza.
Anak-anak akan dibunuh, menjadi yatim piatu, terluka, cacat seumur hidup, bukan karena kesalahan, tapi karena disengaja, karena para pembunuh tidak menghargai kehidupan orang Palestina.
Presiden Eurasia Group Ian Bremmer menyebut, veto Washington membuat AS kini sama terkucilnya dengan Rusia. Dulu, Rusia tidak diacuhkan banyak negara karena menyerang Ukraina. Kini, AS tidak diacuhkan karena terus menolak upaya gencatan senjata di Gaza.
Analis politik AS yang juga pendiri lembaga konsultansi risiko geopolitik itu menyebut, tujuan Israel di Gaza juga semakin tidak jelas. Manuver terbarunya, seperti disiarkan oleh berbagai akun media sosial berbagai pihak Israel, menancapkan bendera Israel di pusat Gaza.
Di berbagai pertempuran, penancapan bendera menyimbolkan penguasaan wilayah oleh pihak pemilik bendera. Manuver Israel di pusat Gaza akan semakin menguatkan dugaan Israel mau mencaplok Gaza.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan, AS bertanggung jawab penuh atas tragedi Gaza. Sebab, AS menyokong penuh Israel. Praktis, hanya AS yang bisa membuat Israel menghentikan perang dan memenuhi kewajibannya. ”Sayangnya, (AS) tidak melakukan itu. AS komplotan Israel,” ujarnya.
Ia mengingatkan, Otoritas Palestina mematuhi semua kesepakatan perdamaian dengan Israel. Sebaliknya, Israel berulang kali mengingkari berbagai kesepakatan dan terus menduduki Palestina.
”AS mengatakan ke kami soal dukungan Solusi Dua Negara, Israel tidak boleh menduduki Gaza, (Israel) tidak boleh mengontrol keamanan Gaza atau menjarah lahan Gaza. Namun, AS tidak memaksa Israel melakukan itu,” ujarnya.
Abbas mengatakan, Israel tidak hanya menyerang Gaza. Aparat Israel juga meningkatkan serbuan ke Tepi Barat.
Terpisah, Wakil Tetap Palestina di PBB Riyad Mansour mengatakan, kegagalan DK PBB bertindak soal Gaza merupakan bencana. ”Nyawa jutaan warga Palestina dalam bahaya. Mereka penting dan layak diselamatkan,” katanya.
Kegagalan DK PBB bertindak berarti memberi waktu lebih banyak untuk menambah korban di Palestina. ”Ratusan orang akan terbunuh pada saat ini besok. Lalu ratusan lagi, dan kemudian ribuan. Anak-anak akan dibunuh, menjadi yatim piatu, terluka, cacat seumur hidup, bukan karena kesalahan, tapi karena disengaja, karena para pembunuh tidak menghargai kehidupan orang Palestina,” tuturnya.
Larangan bicara
Sementara itu, Menlu Palestina Riyad al-Maliki diduga dilarang berbicara kepada media massa selama berada di AS. Dugaan itu mencuat saat ia menghadiri konperensi pers di Washington DC, AS. Saat itu, ada Menlu Arab Saudi Farhan bin Faisal dan Menlu Turki Hakan Figan.
Salah seorang jurnalis bertanya ke Maliki soal Hamas dan Fatah bergabung di pemerintahan nasional Palestina. Sebelum Maliki menjawab, Faisal mencegahnya. Menurut Faisal, ada syarat visa dari AS untuk Maliki dalam lawatan kali ini.
Maliki bisa masuk AS, antara lain, jika tidak memberi keterangan kepada jurnalis. Faisal menyebut, baru kali itu ada larangan tersebut untuk pejabat Palestina. Jika melanggar, akan ada konsekuensi hukum.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengatakan, peraturan imigrasi AS tidak punya ketentuan yang melarang pihak tertentu berbicara kepada pers. ”Kami tidak menerapkan batasan yang melarang individu berbicara kepada pers,” ujarnya kepada media AS, CBS.
Abbas juga mengatakan, Palestina selalu siap menggelar pemilu dan menerima apa pun hasilnya. Pada April 2021, Otoritas Palestina telah siap menggelar pemilu.
Namun, Kantor Utusan Khusus Uni Eropa untuk Palestina menyampaikan keberatan Israel soal rencana pemilu itu. Sebab, sebagian daerah pemilihan berada di Jerusalem Timur.
Abbas menolak menggelar pemilu jika tidak ada pemungutan suara di Jerusalem Timur. ”Ada tiga pemungutan suara di Jerusalem Timur sebelumnya sebelum Israel melarang,” ujarnya. (AFP/REUTERS)