Ke depan, nilai IELTS 7 tidak akan cukup lagi untuk bisa dapat visa belajar di Australia. Canberra mau mengurangi jumlah imigran.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Pemerintah Australia ingin jumlah pendatang ke benua itu berkurang separuh. Salah satu cara yang segera diterapkan dengan memperketat aturan visa bagi pelajar internasional dan pekerja berketerampilan minim.
Pemerintah Australia mengungkap perincian rencana itu pada Senin (11/12/2023). Kuota visa pelajar akan dipangkas menjadi maksimum 250.000 orang per tahun mulai Juni 2025. Sampai sekarang, Australia memberi kuota 510.000 orang per tahun untuk visa jenis itu.
”Kami ingin sektor itu (pendidikan Australia) terus berkembang. Akan tetapi, kami tidak ingin perkembangannya secepat beberapa tahun terakhir,” kata Menteri Dalam Negeri Australia Clare O’Neil.
Jumlah visa yang diberikan bisa saja melebihi kuota itu. Sebab, menurut O’Neil, Canberra belum mematok angka pasti. ”Kami tidak berkomitmen pada angka tertentu. Hanya perkiraan dari kebijakan yang sedang dibuat,” katanya.
Pemerintah akan melakukan sejumlah cara. Salah satunya, pemohon visa pelajar wajib lolos ujian kemampuan bahasa Inggris dengan standar lebih tinggi dari saat ini.
Sekarang, Australia mewajibkan nilai paling rendah tujuh jika memakai IELTS. Sementara jika memakai TOEFL iBT, nilai minimalnya 23 hingga 27. Nilai itu bergantung pada jenis keterampilan.
Australia jika akan memperketat izin tinggal bagi yang tidak sekolah dan tidak punya pekerjaan di Australia. Pekerjaan yang dimaksud adalah jenis profesi yang membutuhkan keahlian atau keterampilan tinggi.
Migrasi berkelanjutan
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengatakan, jumlah migrasi Australia perlu dikembalikan ke tingkat yang berkelanjutan. Kini, sistem migrasi di Australia dinilai rusak dan perlu diperbaiki. Dalam jajak pendapat yang disiarkan Sydney Morning Herald pada Senin diungkap, 62 persen responden menyebut angka migrasi terlalu tinggi.
Diketahui, jumlah pendatang yang masuk ke Australia melonjak dan mencapai rekor hingga 510.000 orang pada periode 2022-2023. Tingginya angka pendatang salah satunya berasal dari tingginya jumlah pelajar internasional yang masuk ke Australia.
Faktor penyebab tingginya migrasi juga datang dari pekerja asing. Tahun lalu Pemerintah Australia meningkatkan kuota migrasi pascapandemi Covid-19. Selama dua tahun pandemi, 2020-2021, Pemerintah Australia menetapkan pembatasan ketat. Pascapandemi, Australia mengalami kekurangan tenaga kerja.
Upaya menambah kuota pendatang ditujukan untuk membantu usaha dan bisnis yang memerlukan staf. Kebijakan itu memunculkan banyaknya gelombang pekerja asing dan pelajar internasional yang masuk ke Australia.
Jumlah pekerja asing yang berlebihan memberi tekanan pada pasar tenaga kerja kontrak. Dampaknya lainnya, angka tunawisma di Australia meningkat.
Pemerintah Australia berharap kebijakan baru migrasi akan menarik lebih banyak tenaga kerja asing yang berketerampilan tinggi masuk ke Australia. Pemerintah Australia menetapkan waktu pemrosesan visa bagi pekerja berketerampilan tinggi itu dalam waktu seminggu.
Pemerintah Australia juga memberikan kemudahan izin tinggal bagi mereka. Langkah ini diharapkan akan membantu dunia usaha Australia untuk bersaing dengan negara maju lainnya.
O’Neil menambahkan, perubahan kebijakan yang dilakukan Australia ditargetkan memberikan tekanan kepada pendatang dari luar negeri. Ke depan, perubahan itu akan mengurangi jumlah pendatang yang masuk ke Australia.
Data resmi pemerintah menunjukkan, pada 2022-2023 terjadi rekor jumlah pendatang hingga 510.000 orang. Dengan pengetatan kebijakan, diprediksi pada 2024-2025 dan pada 2025-2026 jumlah pendatang akan turun hingga seperempat juta orang.
”Masalah migrasi ini bukan hanya tentang angka, juga bukan tentang momen dan pengalaman migrasi yang dialami Australia saat ini, melainkan juga tentang masa depan Australia,” kata O’Neil.
Reaksi universitas
Pengelola sejumlah universitas di Australia menanggapi rencana itu secara beragam. Ketua Kelompok Delapan Vicki Thomson mengaku khawatir dengan rencana ikutan dari pembatasan itu. ”Kami menolak gagasan soal retribusi,” kata pemimpin asosiasi perguruan tinggi tertua di Australia itu.
Ia merujuk pada gagasan pengenaan retribusi tambahan pada universitas atau lembaga pendidikan. Retribusi dipungut jika universitas atau lembaga pendidikan dinilai terlalu banyak mahasiswa asingnya.
Thomson mengatakan, sektor pendidikan bukan bisnis. Karena itu, tidak tepat jika ditarget menghasilkan pendapatan tertentu pada penghasilan negara.
Dosen Australian National University, Andrew Norton, ragu retribusi itu akan bermanfaat pada sektor pendidikan. Sebab, tidak ada tanda pungutan itu akan diinvestasikan lagi ke pendidikan. ”Saya tidak tahu apa manfaatnya untuk pendidikan,” katanya. (AFP/REUTERS)