Pemerintah Australia Berusaha Batasi Migran ke Kota-kota Besar
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
SYDNEY, SELASA — Pemerintah Australia berencana membatasi migran baru untuk tinggal di kota-kota terbesar, seperti Sydney, Melbourne, dan Brisbane, untuk beberapa tahun ke depan. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan perkotaan. Alan Tudge, Menteri Urusan Kota, Infrastruktur Perkotaan dan Penduduk Australia menyatakan hal itu dalam pidatonya di Melbourne, Selasa (9/10/2018).
Persoalan imigrasi ini diperkirakan menjadi masalah dalam pemilihan umum berikutnya. Rencana pembatasan migran di kota-kota besar di Australia tersebut bertujuan untuk membantu meringankan masalah infrastruktur di kota-kota besar itu yang kini sedang berjuang melawan tekanan populasi. Namun, para pengkritik mengkhawatirkan soal aturan visa baru yang diusulkan itu justru bisa menyebabkan kekurangan tenaga kerja.
Sebanyak 70 persen dari 186.000 migran yang menetap di Australia tahun lalu tiba di Australia dengan visa pekerja migran yang memiliki keterampilan. Menurut data pemerintah, hampir semua migran itu pindah ke Sydney atau Melbourne. Saat ini tidak ada batasan di mana para migran bisa menetap setelah mereka menerima visa migran yang memiliki keterampilan.
Rencana baru itu tentu akan memengaruhi sekitar 40 persen migran yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan mencari pekerjaan saat kedatangan mereka. Aturan baru ini akan mengklasifikasikan lima kota, yakni Darwin, Perth, Hobart, Adelaide, dan Canberra, sebagai pusat regional bagi para migran untuk menetap di sana.
Beberapa politisi wilayah pinggiran telah melobi selama beberapa tahun agar mendapatkan penduduk yang terampil untuk memastikan agar kota mereka dapat tetap bertahan hidup.
”Kami bertujuan untuk mengurangi tekanan populasi di tiga kota besar dan untuk mempercepat pertumbuhan di negara bagian dan wilayah yang lebih kecil,” kata Alan Tudge. Tudge tidak memberikan rincian tentang bagaimana kebijakan tersebut akan diberlakukan, tetapi dia mengatakan itu bisa termasuk insentif.
”Anda juga bisa memberi syarat visa bagi mereka untuk tinggal di daerah tertentu setidaknya selama beberapa tahun,” kata Tudge.
Seorang pejabat di kantor Tudge, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan bahwa para migran dibatasi agar tidak menetap di kota-kota besar tersebut hingga lima tahun. Tidak jelas apakah rencana itu akan bisa dilaksanakan.
Tony Matthews, peneliti di Cities Research Institute, mengatakan, pembatasan migran ke Sydney dan Melbourne bisa menciptakan tekanan yang signifikan dan ia tidak yakin rencana itu layak secara hukum.
Menjadi masalah
Imigrasi diperkirakan menjadi masalah dalam pemilihan federal berikutnya yang dijadwalkan digelar sebelum Mei 2019. Jajak pendapat ReachTel yang dipublikasikan pada September menemukan bahwa 63 persen penduduk Sydney yang disurvei mengatakan, mereka mendukung pembatasan jumlah migran yang pindah ke kota-kota terbesar di Australia.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison, yang koalisi tengah-kanannya tertinggal dalam jajak pendapat, telah mengadopsi serangkaian kebijakan populis sejak berkuasa Agustus lalu. ”Setiap kebijakan yang terkait migrasi akan beresonansi. Ini akan populer di mata pemilih,” kata Haydon Manning, Profesor Ilmu Politik Universitas Flinders di Negara Bagian Australia Selatan.
James Pearson, CEO Kamar Dagang dan Industri Australia, menyampaikan bahwa ada juga pertanyaan tentang dampak bisnis di kota-kota besar di mana penciptaan pekerjaan melampaui migrasi. ”Kami harus memastikan ada pemahaman menyeluruh tentang faktor-faktor kunci yang mendorong pertumbuhan penduduk sebelum menerapkan kebijakan yang memiliki kemungkinan berdampak negatif terhadap pertumbuhan lapangan kerja dan ekonomi,” kata Pearson.
Gubernur Bank Sentral Australia mengatakan pada Agustus lalu bahwa masuknya penduduk baru telah membantu mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat. ”Kami sudah 27 tahun tanpa resesi. Ada banyak alasan untuk itu, tetapi salah satu alasannya adalah bahwa populasi telah tumbuh, rata-rata 1,5 persen per tahun,” kata Gubernur Reserve Bank of Australia Philip Lowe.(REUTERS)