Kesulitan di kamp pengungsian memaksa warga Rohingya melarikan diri. Mereka menjadi mangsa sindikat penyelundup manusia.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Melihat gambaran situasi kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, membuat hati berdesir. Bukan hanya soal minimnya pasokan makanan, pendidikan, dan obat-obatan, ketiadaan harapan pada masa depan membuat mereka hidup dalam ketidakpastian.
Upaya Indonesia, Bangladesh, dan ASEAN untuk memotori repatriasi ke Myanmar masih menemui banyak kendala. Warga Rohingya enggan pulang ke Rakhine karena tidak adanya jaminan pada keamanan mereka. Di sisi lain, Pemerintah Myanmar dan sejumlah kalangan di negeri itu belum beranjak dari sikap mereka pada etnis Rohingya. Komunitas itu belum diakui sebagai warga negara Myanmar.
Sementara itu, Pemerintah Bangladesh telah berkali-kali menegaskan, Rohingya bukan semata-mata tanggung jawab mereka. Bagaimanapun, berat atau ringan, para pengungsi Rohingya akhirnya menjadi beban. Kesulitan di kamp pengungsian berpotensi menjerumuskan sejumlah pengungsi pada kriminalitas hingga terorisme. Yang lain memilih untuk melarikan diri, keluar dari impitan hidup di pengungsian.
Sebagaimana dikutip kantor berita AFP, Direktur Arakan Project Chris Lewa mengatakan, mereka yang memilih melarikan diri menjadi mangsa sindikat penyelundup manusia. Para penyelundup manusia itu menggunakan Indonesia sebagai titik transit sebelum para pengungsi itu diberangkatkan ke Malaysia. Sebagaimana dikutip France24 investigasi yang dilakukan AFP pada tahun 2020 mengungkap bahwa jaringan penyelundupan manusia melibatkan orang di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh hingga sindikat lain di Myanmar, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Mereka yang terlibat dalam sindikat itu di antaranya adalah warga Rohingya sendiri. Selain menggunakan jalur laut, para penyelundup tersebut juga menggunakan jalur darat.
Seorang tokoh masyarakat Aceh Utara, Saiful Afwadi, membenarkan adanya sindikat itu. ”Kami muak dengan kehadiran mereka karena sesampainya di darat, kadang banyak yang kabur. Ada agen yang menjemput mereka. Ini perdagangan manusia,” kata Saiful.
Beberapa tahun lalu, warga Aceh dengan senang hati dan terbuka menerima mereka. Namun, karena sejumlah hal, kini mereka enggan menerima para pengungsi Rohingya. Kebaikan warga Aceh seakan-akan dimanfaatkan oleh jaringan penyelundup manusia tersebut.
Juni lalu, pengadilan di Malaysia mendakwa empat warga Thailand karena menyelundupkan warga Rohingya dari Myanmar. Kasus yang menjerat para terdakwa itu terkait dengan kasus penemuan kuburan massal di perbatasan Thailand-Malaysia pada tahun 2015. Kuburan itu diduga menjadi bagian dari kamp perdagangan manusia lintas negara. Kamp itu diduga dikelola oleh jejaring penyelundup manusia.
Dilema
Di sisi lain, sejumlah warga Aceh sejatinya ingin menolong para pengungsi Rohingya. Namun, keterbatasan fasilitas, sarana, dan sumber daya lain membuat mereka belum mampu menampung warga Rohingya.
Mereka pun lantas ”mendorong” kembali perahu berikut warga Rohingya di dalamnya untuk meneruskan pelayaran mereka. Sejumlah bahan makanan dan bahan bakar mereka sertakan.
Situasi ini menjadi gambaran riil betapa rumitnya persoalan Rohingya di kawasan. Pemerintah Myanmar yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama hingga kini justru abai pada persoalan tersebut. Mereka tidak peduli.
Sementara itu, sejumlah negara di kawasan—termasuk Indonesia—seolah ”mati langkah”. Hingga kini belum ada jalan keluar atau solusi yang relatif permanen untuk pengungsi Rohingya.
Diplomasi dan upaya baik sejumlah negara tampaknya justru membuat Myanmar ”nyaman” dengan persoalan Rohingya. Tidak heran apabila kemudian Bangladesh mendesak negara-negara di kawasan, khususnya negara anggota ASEAN, untuk lebih ”gereget” menyelesaikan persoalan tersebut. Sebagaimana disebutkan di atas, dengan total lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya di Bangladesh, Dhaka mulai kerepotan.
Dalam situasi tanpa solusi itu, penyelundup manusia memanfaatkan nasib buruk warga Rohingya. Nestapa warga Rohingya menjadi "surga" bagi mereka.
Oleh karena itu, untuk menyudahinya, satu-satunya upaya adalah kembali menekan Myanmar untuk merepatriasi warga Rohingya. Selain itu, memberikan jaminan keamanan untuk mereka yang secara sukarela kembali ke Rakhine.
Tentu upaya itu bukan perkara mudah, apalagi saat ini Myanmar berada di bawah junta militer. Namun, apa pun perlu diupayakan agar nasib warga Rohingya bebas dari taring penyelundup manusia. (AFP/Reuters)