Meski semua kebutuhan perwakilan NUG terpenuhi, hanya satu yang mereka inginkan, yakni kejatuhan junta militer Myanmar.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Di sudut sebuah ruangan, Aye Chan Mon (26) melihat layar komputer. Sesekali dia menengok telepon di sampingnya untuk memastikan ada pesan masuk atau tidak. Semua itu bagian dari tugasnya sebagai pengelola kantor perwakilan Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar di Amerika Serikat.
Kantor itu hanya berjarak beberapa puluh meter dari Gedung Putih, kantor Presiden AS yang terletak di Washington DC. Di kantor itu, Mon melakoni berbagai peran. Kadang kala ia menjadi pengatur janji temu perwakilan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar dengan berbagai pihak. Di kesempatan lain, ia menghadiri rapat dengar pendapat di Kongres AS untuk bercerita tentang apa yang terjadi di negaranya.
Tugasnya tidak mudah. ”Mereka (orang-orang di Washington) bahkan tidak tahu cara mengucapkan Myanmar. Mereka sering mengira itu Yaman. Myanmar bukan Yaman,” kata Mon, sebagaimana dilaporkan The New York Timespada 13 November 2023.
Dia tidak sendirian di ruangan mungil bagian dari ruang kerja bersama (co-working space) itu. Mon bekerja bersama-sama dengan beberapa kolega, termasuk Duta Besar Myanmar untuk PBB U Kyaw Moe Tun dan Wakil Menteri Luar Negeri NUG Moe Zaw Oo.
Mereka bekerja dengan komputer jinjing, dengan sebuah mesin pencetak yang sering kali ngadat. Di dinding belakang terpajang lambang NUG dan akan terlihat jika dia tengah bertemu dengan para koleganya secara daring.
Di dinding lain, terdapat foto para pemimpin politik NUG, di antaranya Aung San Suu Kyi dan Wyin Mint yang tengah dipenjara. Aroma ruangan dipilih dengan wangi bunga tropis, meski tidak ada yang menggantikan bau bunga khas Myanmar, yakni melati malam dan padauk emas.
Setelah Mon bersaksi di depan Kongres AS pada September, dua bulan berselang Presiden AS Joe Biden menandatangani Undang-Undang Burma berisi sanksi terhadap aktor dan lembaga yang melancarkan kudeta di Myanmar. Undang-undang itu juga memberikan bantuan nonmiliter pada kelompok prodemokrasi.
AS sebelumnya telah menjatuhkan sanksi bagi perusahaan minyak dan gas milik junta yang diduga menjadi sumber dana militer. Namun, dampak sanksi-sanksi itu belum terasa karena militer masih berkuasa. ”Setelah undang-undang itu diberlakukan, rakyat Myanmar dan gerakan perlawanan mempunyai ekspektasi yang sangat tinggi,” kata Zaw Oo.
Meski semua kebutuhan perwakilan NUG terpenuhi, hanya satu yang mereka inginkan, yakni kejatuhan junta militer Myanmar. ”Kami bermimpi mereka hancur,” ujarnya.
Di banyak wilayah di Myanmar, pertempuran antara Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) dan militer junta terus berlangsung. Saat ini di wilayah utara yang berbatasan dengan India, pasukan junta bertempur dengan Aliansi Tiga Persaudaraan, yaitu Tentara Arakan, Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang. PDF disebut bekerja sama dengan kelompok ini meski dinilai sangat longgar karena berbeda tujuan.
Dalam konflik itu, NUG menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan, melengkapi berbagai hal yang telah dilakukan milisi etnis bersenjata selama bertahun-tahun. Mereka juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama diaspora Myanmar di sejumlah negara, mulai dari pekerja rumah tangga di Bangkok, sous-chef di New York, hingga pengusaha teknologi di Singapura.
Bantuan tidak hanya dalam bentuk barang yang dikirimkan kepada kelompok perlawanan. Menteri Kesehatan dan Pendidikan NUG Zaw Wai Soe sering kali turut mengobati anggota PDF yang terluka. Dia kerap memberikan instruksi secara daring dalam pengobatan itu.
”Sekarang saya tahu kami harus mencoba sesuatu yang baru, demokrasi federal. Kalau tidak, kami tidak akan hidup bersama,” kata Soe, yang juga mantan Rektor Universitas Kedokteran Yangon 1 dan 2.
Pemerintahan NUG tidak hanya memiliki perwakilan di Washington. Beberapa negara juga menjadi tuan rumah perwakilan NUG, antara lain Ceko dan Jepang. Namun, belum ada kantor perwakilan NUG di Asia Tenggara.
Komposisi para pejabat NUG beragam, mulai dari aktivis gerakan prodemokrasi, mantan anggota kabinet yang digulingkan, hingga warga Rohingya. Masuknya wakil dari Rohingya adalah buah kesadaran dari pengusiran paksa dalam satu dekade terakhir.
Menteri Urusan Kemanusiaan NUG Win Myat Aye mengakui bahwa sebelumnya dia menolak menggunakan terminologi Rohingya karena khawatir akan memberikan legitimasi pada warga minoritas tersebut di Myanmar. Selama ini dirinya mendapatkan informasi yang salah dari kolega-koleganya di kalangan militer.
”Jika saya bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat itu, saya tidak akan menoleransi kejahatan tidak manusiawi terhadap komunitas Rohingya,” katanya. Dengan kesadaran baru, Aye makin bersemangat melakukan hal baik bagi masa depan Myanmar.
Bekerja sama dengan berbagai kelompok, NUG berupaya menyusun konstitusi Myanmar sebagai negara federal yang akan memberi perlindungan pada berbagai etnis, termasuk etnis minoritas. Akan tetapi, perjalanan masih panjang karena ada tarik ulur dalam penyusunan konsitusi itu.
Mon menyebut, butuh tenaga dan biaya ekstra untuk melanjutkan perlawanan tersebut. Dia berandai-andai, jika gerakan NUG mendapat sedikit saja uang yang diperoleh Ukraina dari AS, revolusi mereka di Myanmar bisa memperlihatkan hasil. (Reuters)