Oposisi Israel Berupaya Gulingkan Netanyahu
Para pihak bertikai di Israel-Palestina sengaja menyasar warga sipil. Karena itu, gencatan senjata harus diwujudkan.
TEL AVIV, KAMIS — Kubu oposisi Israel meminta Benjamin Netanyahu turun dari kursi Perdana Menteri Israel. Netanyahu dinilai gagal mengurus Israel.
Upaya penggulingan dilakukan Ketua Partai Yesh Atid, Yair Lapid. ”Kita perlu perubahan, Netanyahu tidak bisa tetap menjadi PM,” katanya, Rabu (15/11/2023) malam waktu Tel Aviv atau Kamis dini hari WIB.
Ia mengaku sudah berkomunikasi dengan sejumlah politisi Israel soal pendongkelan Netanyahu. Bahkan, ia siap berkoalisi dengan Partai Likud, partai pengusung Netanyahu, dalam membentuk pemerintahan baru. Syaratnya, tidak ada Netanyahu di pemerintahan itu.
”Kami akan duduk (di pemerintahan) di bawah kandidat lain dari Likud. Ada banyak orang di sana yang memahami bahwa negara ini sedang menuju ke arah yang buruk,” kata Lapid.
Baca juga : PBB Tak Berdaya, Israel Tolak Resolusi Dewan Keamanan
Ia juga tidak mau Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir ada di kabinet. Keberadaan tokoh ultranasionalis itu membuat Lapid menolak mendukung pemerintahan saat ini.
Media Israel, Times of Israel, melaporkan, hampir separuh warga mendukung Benny Gantz menjadi PM Israel. Adapun dukungan untuk Netanyahu hanya separuh dukungan untuk Gantz.
Usulan Lapid membentuk pemerintahan tanpa Netanyahu dikecam Likud. Lapid dituding lebih mengupayakan pembentukan negara Palestina dibandingkan melindungi warga Israel.
”Sangat disayangkan dan memalukan bahwa Lapid bermain politik selama perang. Ketika dia menyarankan untuk menggulingkan perdana menteri yang memimpin perang, menggantinya dengan pemerintahan yang akan mendirikan negara Palestina dan mengizinkan Otoritas Palestina mengendalikan Gaza,” demikian pernyataan Likud.
Lapid pernah menjadi PM Israel pada 2022. Upayanya untuk mempertahankan jabatan itu gagal karena koalisinya hanya meraih 51 kursi di parlemen Israel, Knesset. Sebaliknya, Likud dan koalisinya bisa menggalang 66 kursi.
Penyelidikan kejahatan
Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan HAM Volker Turk bersuara soal Gaza. ”Tuduhan sangat serius mengenai pelanggaran berulang dan mendalam terhadap hukum humaniter internasional, siapa pun yang melakukannya, memerlukan penyelidikan yang cermat dan pertanggungjawaban penuh,” ujarnya, Kamis (16/11/2023), di Geneva, Swiss.
Penyelidikan dapat dilakukan oleh negara. Jika tidak mampu, maka penyelidikan oleh tim independen internasional perlu dilakukan.
Baca juga : Perang Narasi Gaza di Dunia Maya
Menurut dia, para pihak bertikai sengaja menyasar warga sipil. Bahkan, pembunuhan terhadap warga sipil dianggap sebagai alat perang. Karena itu, gencatan senjata harus segera diwujudkan.
Ia menyebut, kekerasan dan diskriminasi terhadap warga sipil Palestina terus meningkat. ”Hal ini menciptakan situasi yang berpotensi menimbulkan ledakan dan saya ingin memperjelas: kita sudah melampaui tingkat peringatan dini. Saya membunyikan bel peringatan sekeras mungkin mengenai pendudukan Tepi Barat,” tuturnya.
Kondisi itu menjadi alasan kuat penjajahan Israel terhadap Palestina harus diakhiri. Seperti Israel, Palestina juga berhak atas kemerdekaan.
Adapun Menteri Luar Negeri Perancis Anne-Claire Legendre menyebut, Israel tidak berhak menentukan siapa yang mengendalikan Gaza. Penentuan itu sepenuhnya harus diserahkan kepada Palestina.
Ia juga mengatakan, aparat dan pemukim ilegal Israel di Tepi Barat menerapkan kebijakan teror. Mereka, secara ilegal, terus menekan warga Palestina di Tepi Barat.
Bukti lemah
Sementara itu, serangan Israel ke Rumah Sakit Al-Shifa terus dikecam. Sasaran kecaman terbaru adalah bukti-bukti yang diklaim Israel ditemukan dalam RS itu.
Militer Israel, IDF, antara lain, menunjukkan tas berisi senapan dalam ruang pemindai MRI. Warganet mengolok IDF karena tidak ada logam boleh masuk ruang MRI.
Baca juga : Tekanan Tak Mempan bagi Netanyahu dan Israel
IDF dan sejumlah akun media sosial resmi Israel juga membagikan video dan foto yang diklaim sebagai bukti keberadaan Hamas dalam RS itu. Setelah foto dan video itu diperiksa warganet, IDF dan akun media sosial resmi Israel menghapusnya.
Warganet, antara lain, menemukan layar komputer yang ditunjukkan IDF dalam salah satu ruangan RS. IDF menyebut, komputer itu milik Hamas. Ternyata, layar komputer malah menayangkan prajurit IDF dan warga Israel. Unggahan foto soal komputer itu sudah dihapus oleh IDF.
IDF juga gagal menunjukkan keberadaan terowongan dan ruang bawah milik Hamas di bawah rumah sakit itu. Padahal, IDF mengepung rumah sakit itu berhari-hari. Sebab, RS itu dinyatakan didiami ratusan anggota Hamas. ”Apakah ratusan pasukan Hamas, yang menurut intelijen IDF ada di Al-Shifa, menghilang begitu saja?” tulis koresponden isu militer Jerusalem Post, Yonah Jeremy Bob.
Di media Israel itu, Bob menyebut IDF memperlihatkan kelemahan membuktikan keberadaan Hamas di RS Al-Shifa. IDF gagal meyakinkan warga Israel sekalipun. Hal itu buruk bagi upaya Israel mencari dukungan dan pembenaran atas serangan ke Gaza.
Pembebasan sandera
Salah satu alasan Israel menyerbu Gaza adalah pembebasan sandera. Dalam serangan 7 Oktober 2023, Hamas menculik lebih dari 200 warga Israel dan sejumlah negara lain. Keberadaan mereka tidak diketahui.
Upaya pembebasan terutama dilakukan dengan mediasi Qatar. Doha berhubungan dekat dengan para petinggi Hamas. Di Doha ada kantor perwakilan Hamas.
Lewat perantaraan Qatar, Thailand kini sedang berunding untuk membebaskan warganya yang disandera Hamas. Presiden Asosiasi Alumni Iran di Thailand Lepong Syed mengaku menerima tawaran Hamas soal pembebasan sandera asal Thailand. Hamas bisa membebaskan sandera asal Thailand akhir pekan ini.
Baca juga : Israel Serbu Rumah Sakit Al-Shifa
Syaratnya, ada gencatan senjata lima hari di Gaza. Sejauh ini, syarat itu ditolak Israel dan pendukungnya.
Lepong bagian dari tim yang dibentuk politisi Muslim Thailand untuk berkomunikasi dengan Hamas. Tim itu dipimpin Ketua Parlemen Thailand Wan Muhamad Noor Matha.
Hamas menawarkan pembebasan hingga 70 sandera. Mayoritas yang ditawarkan untuk dibebaskan merupakan anak-anak dan perempuan.
Pemerintah Thailand memperkirakan 30.000 warganya bekerja di Israel. Selepas serbuan Hamas, 7.200 warga Thailand di Israel sudah dipulangkan. Sebagian lagi tinggal jauh dari Gaza dan Tepi Barat. (AP/AFP/REUTERS)