Perang Narasi Gaza di Dunia Maya
Konflik Israel dan Hamas tak hanya panas di medan perang, tetapi juga di media sosial. Kedua pihak bertikai sama-sama memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda dan menggalang dukungan.
Pada awal perang Israel dan kelompok Hamas di Jalur Gaza, media massa dan warganet di media sosial ramai membahas kabar dua anak laki-laki dari Palestina dan Israel, yakni Omar Bilal al-Banna dan Omer Simon-Tov. Mereka sama-sama berusia 4 tahun dan sama-sama tewas dalam perang itu.
Akan tetapi, yang dibahas bukan kesedihan atau kemarahan karena mereka menjadi korban perang, melainkan ribut membantah kabar kematian itu. Ada yang menuding kabar itu bohong, ada juga yang yakin mereka bukan anak betulan, melainkan hanya boneka.
Baca juga: Israel Serbu Rumah Sakit Al-Shifa
Banyak warganet meyakini kabar itu hanya upaya propaganda, baik dari Israel maupun Hamas. Setelah diverifikasi berbagai media massa dan lembaga pemeriksa fakta, Simon-Tov benar tewas dalam serangan Hamas di Kibbutz Nir Oz, 7 Oktober 2023. Al-Banna tewas empat hari kemudian dalam serangan udara Israel di kota Gaza.
Penyangkalan kematian kedua bocah itu oleh warganet menggambarkan pertarungan informasi bersamaan dengan pertempuran di lapangan dan sama-sama panas. Foto dan video penyangkalan ”bocah itu hanya boneka” dilihat hingga 3,8 juta kali dalam waktu cepat. Sejak hari pertama perang Israel-Hamas, dunia maya, terutama media sosial seperti Tiktok, Instagram, dan Facebook kebanjiran foto, video, dan informasi, baik fakta, propaganda, maupun hoaks.
Banjir informasi datang dari berbagai pihak, terutama warga Palestina yang terjebak di tengah konflik. Unggahan-unggahan mereka terasa dekat dan nyata karena langsung direkam saat kejadian. Gambar atau video yang diunggah mungkin bagi media massa arus utama terlalu vulgar untuk dipublikasikan. Masalah lain, tak semua informasi bisa dipercaya karena bercampur dengan hoaks, rekayasa, dan foto atau video lawas, bahkan kejadian di tempat lain.
Perang Israel-Hamas melahirkan begitu banyak informasi palsu atau menyesatkan—sebagian besar memang disengaja, meski tidak semuanya—sehingga mengaburkan fakta di lapangan. Pada gilirannya, masyarakat beralih ke sumber-sumber yang mewakili perasaan mereka sehingga memperdalam perpecahan sosial dan politik.
Baca juga: Kehadiran Wartawan Tak Tergantikan Mesin
Ada begitu banyak klaim yang tidak benar sehingga sebagian orang mempertanyakan kebenarannya. Konten-konten yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan menambah hiruk-pikuk di ranah digital.
Dalam perang apa pun, sulit membedakan fakta dari fiksi atau propagada. Hamas dengan cerdik memanfaatkan media sosial untuk mengampanyekan tujuan mereka. Hamas memanfaatkan aplikasi Telegram yang tidak berfilter sebagai saluran untuk menyebarkan foto dan video serangan mereka dari Gaza.
Akses Hamas secara langsung ke media sosial diblokir, tetapi informasi-informasi dari mereka akhirnya bisa menyebar karena disebarkan warganet. Kehidupan digital menjadi medan pertarungan informasi dan setiap pihak yang berkonflik berlomba-lomba menawarkan versinya. Gambar-gambar lama sudah didaur ulang agar terkesan baru. Sementara gambar yang asli dianggap palsu.
Iklan berbayar
Selain Hamas, Israel juga berupaya mengendalikan opini publik dengan membombardir dunia maya dengan berita-berita yang mendiskreditkan Hamas. Situs berita Semafor, 10 November 2023, menyebutkan, ada taipan di AS, Barry Sternlicht, yang sedang menggalang dukungan bagi kampanye media untuk menaikkan citra Israel dan menjelek-jelekkan Hamas. Kampanye media yang disebut Fakta untuk Perdamaian itu sedang mencari sumbangan jutaan dollar AS dari puluhan nama besar dunia di bidang media, keuangan, dan teknologi.
”Opini publik pasti akan berubah karena adegan—nyata atau dibuat-buat oleh Hamas—tentang penderitaan warga sipil Palestina pasti akan mengikis empati terhadap Israel di komunitas dunia. Kita harus mendahului narasi Hamas,” tulis Sternlicht dalam surat elektronik yang dikirim ke 50 nama terkenal, termasuk mantan CEO Google Eric Schmidt, CEO Dell Michael Dell, dan pemodal Michael Milken.
Kampanye media Sternlicht ini yang hendak memenangi kembali dukungan publik terhadap Israel. Salah satu caranya dengan mengunggah video di media sosial yang menyalahkan Hamas atas penderitaan rakyat Palestina dan menyangkal klaim pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel.
Kementerian Luar Negeri Israel bahkan ikut menyebarkan informasi, foto, dan video para korban serangan Hamas, seperti foto bayi tewas yang wajahnya dibuat buram dan sempat viral di X. Pemerintah Israel—melalui iklan daring yang berbayar—membanjiri media sosial dengan informasi spesifik soal kekerasan Hamas di semua platform di antaranya X dan Youtube.
Jajak pendapat yang dilakukan Universitas Maryland dan Ipsos menemukan bahwa gelombang besar dukungan terhadap Israel sejak serangan 7 Oktober tidak dirasakan oleh generasi muda AS yang liberal. Fokus awal publik hampir seluruhnya tentang korban sipil Israel, tetapi pengeboman Israel di Gaza dan korban sipil yang menjadi korban mulai mengubah sikap publik.
Menurut Politico, 17 Oktober 2023, upaya Israel memenangi perang informasi secara daring adalah bagian dari tren yang berkembang. Pemerintah di seluruh dunia bergerak secara agresif melalui media daring untuk membentuk citra mereka, terutama pada saat krisis.
Ini realitas baru dari kampanye humas yang dibangun di sekitar perang. Taktik ini hampir setua perang. Mendorong kemarahan moral untuk membangun dukungan terhadap perang adalah praktik yang sudah lama dilakukan. Namun, tidak pernah terjadi sebelumnya dengan media sosial seperti ini.
Berdasarkan data Politico, hanya dalam waktu seminggu, Kemlu Israel menjalankan 30 iklan yang sudah dilihat 4 juta kali di X. Video dan foto berbayar yang mulai muncul pada 12 Oktober ditujukan untuk orang dewasa berusia di atas 25 tahun di Brussels, Paris, Munich, dan Den Haag. Iklan itu menggambarkan Hamas sebagai kelompok teroris yang kejam, mirip ISIS, serta menunjukkan skala dan jenis pelanggarannya.
Di Youtube, Israel merilis 75 iklan berbeda yang ditujukan spesifik pada negara-negara Barat, termasuk Perancis, Jerman, AS, dan Inggris. Targetnya mayoritas ke Eropa karena hampir 50 iklan video berbahasa Inggris ditujukan ke negara-negara Uni Eropa.
Google menyatakan sudah menghapus sekitar 30 iklan berisi gambar-gambar kekerasan karena mereka tidak mengizinkan iklan yang berisi bahasa kekerasan, gambar yang mengerikan, gambar grafis, atau kisah trauma fisik. Sampai sejauh ini tidak ada iklan serupa di Instagram dan Facebook, LinkedIn, serta Tiktok.
”Ini realitas baru dari kampanye humas yang dibangun di sekitar perang. Taktik ini hampir setua perang. Mendorong kemarahan moral untuk membangun dukungan terhadap perang adalah praktik yang sudah lama dilakukan. Namun, tidak pernah terjadi sebelumnya dengan media sosial seperti ini,” kata peneliti senior di Dewan Atlantik, Emerson Brooking.
Brooking memperkirakan, kelompok pro-Palestina tidak akan bisa membalas Israel dengan cara yang sama, memakai media periklanan yang sama. ”Ini salah satu bagian dari medan perang media sosial di mana Israel mempunyai keuntungan seperti kekuatan modal dan jaringan,” ujarnya.
Menurut Guru Besar Jurnalisme dan Diplomasi Publik di University of Southern California, Philip Seib, Hamas berupaya mengejar Israel di medan perang media sosial. Jumlah pengikut di media sosial yang terkait dengan Hamas dan di Telegram meroket sejak konflik. Banyak orang di Israel dan Gaza yang mengikuti perkembangan dari unggahan Hamas di Telegram.
Baik Israel maupun Hamas memahami kekuatan gambar, penyampaian cerita, dan teknologi. ”Orang Israel bisa menyebarkan apa saja di media sosial. Begitu pula dengan Hamas dan pendukungnya. Kualitas produksi di media sosial dari kedua pihak juga semakin maju,” ujarnya.
Baca juga: Kompak Meredam Suara Palestina
Tepercaya
Publik masih berharap informasi yang tepercaya datang lewat wartawan dari media arus utama setempat yang bertugas di lapangan. Akan tetapi, pergerakan mereka juga terbatas karena situasi di daerah perang yang berisiko tinggi. Tak banyak wartawan asing yang berada di Gaza mengingat Israel dan Mesir mengontrol akses masuk ke Gaza dan tidak mengizinkan wartawan asing masuk.
Padahal, menurut Guru Besar Studi Timur Tengah di Universitas Hamad Bin Khalifa Qatar, Marc Owen Jones, informasi dari wartawan tepercaya menjadi andalan di tengah media sosial yang kacau dan beracun. ”Informasi yang disebarkan wartawan melalui media sosial Instagram, misalnya, menjadi satu-satunya jendela yang bisa diandalkan karena akun mereka tepercaya,” kata Jones kepada NBC News, 3 November.
Baca juga: Jurnalis Veteran Al Jazeera Tewas dalam Serbuan Tentara Israel
Di Instagram, banyak wartawan Palestina yang terverifikasi atau identitasnya asli. Jones mengakui menurunnya kepercayaan publik terhadap media arus utama mendorong masyarakat untuk mencari informasi langsung dari sumber pertama, seperti jurnalis warga.
”Mereka juga menceritakan secara langsung tanpa filter dan kualitasnya mentah, otentik. Ketidakpercayaan terhadap media arus utama saat ini tidak terbantu juga oleh konten yang lebih akurat. Saya tidak tahu kenapa begitu,” kata Jones.
Harian The New York Times, 13 Oktober 2023, menyebutkan, media arus utama dan organisasi berita kerap dituduh membiaskan kepentingan negara, perusahaan, atau politik. Ini yang mendorong banyaknya situs alternatif secara daring. Dalam survei Pew Research Center tahun 2022 ditemukan, orang-orang di bawah usia 30 tahun memercayai media sosial hampir sama seperti media massa tradisional.
Berbeda dengan media sosial, media arus utama dianggap berjarak dan masyarakat merasa terlibat dan dekat. Media sosial dianggap lebih ampuh menjadi alat untuk mendemokratisasi berita dan informasi.