IAEA: Iran Punya Cukup Uranium untuk Senjata Nuklir
Meski ada perselisihan soal inspektor, jejak partikel, dan peralatan pengawasan, Iran tampaknya tidak akan menghadapi konsekuensi serius dari IAEA.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
VIENNA, KAMIS — Iran memiliki cukup uranium yang diperkaya untuk membuat sejumlah bom atom. Kemajuan Iran dalam pengayaan uranium ke level tinggi memberikan tantangan bagi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan negara-negara Barat. Iran membantah tudingan memperkaya uranium untuk pembuatan senjata nuklir.
Laporan IAEA yang diedarkan ke negara-negara anggotanya pada Rabu (15/11/2023) itu menyebutkan, stok uranium Iran yang diperkaya hingga 60 persen kemurnian bertambah 6,7 kilogram (kg) menjadi 128,3 kg sejak laporan terakhir pada 4 September 2023. Jumlah itu lebih dari tiga kali lipat dari jumlah yang didefinisikan IAEA secara teoretis cukup untuk sebuah bom nuklir, yakni 42 kg.
”Jumlah itu cukup, terutama jika tidak digunakan untuk apa pun,” kata seorang diplomat senior, sebagaimana dikutip kantor berita Reuters. Ia merujuk fakta bahwa Iran satu-satunya negara yang memperkaya uranium ke level setinggi itu tanpa memproduksi senjata nuklir. Uranium level senjata diperkaya hingga 90 persen kemurnian.
Secara umum, IAEA menyebut jumlah stok uranium yang diperkaya milik Iran sebanyak 4.486,8 kg, naik 691,3 kg dari laporan pada September 2023.
Dalam laporan rahasia lainnya, IAEA menyatakan tidak ada kemajuan dalam permintaan mereka agar Iran menjelaskan asal dan lokasi partikel uranium buatan yang ditemukan di dua tempat. Teheran dianggap gagal melaporkan situs nuklir potensial, yang disebut sebagai Varamin dan Turquzabad oleh IAEA.
Laporan IAEA juga menyebutkan, tidak ada kemajuan dalam pemasangan kembali peralatan pengawasan, termasuk kamera, yang dicopot oleh Iran pada tahun 2022. Iran merespons kritik oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman soal isu tersebut dengan melarang sejumlah inspektor IAEA paling berpengalaman untuk memonitor program nuklirnya.
Tahun lalu, Dewan Gubernur IAEA yang beranggotakan 35 negara meloloskan resolusi yang memerintahkan Iran untuk mematuhi hasil penyelidikan IAEA atas jejak uranium yang ditemukan di tiga situs yang tidak dilaporkan. Sejak itu, IAEA mengurangi daftarnya menjadi dua tempat. Itu pun, menurut mereka, hanya ada sedikit kemajuan.
Jumlah itu cukup, terutama jika tidak digunakan untuk apa pun.
Direktur IAEA Rafael Grossi menulis kepada Iran dan meminta untuk mempertimbangkan ulang penolakan terhadap inspektor IAEA. Iran, Rabu, menjawab dengan menyatakan ”tengah menjajaki beberapa kemungkinan untuk menjawab permintaan itu”.
Meski ada perselisihan soal inspektor, jejak partikel, dan peralatan pengawasan, Iran tampaknya tidak akan menghadapi konsekuensi serius saat dewan IAEA bertemu, pekan depan. AS dan sekutu-sekutunya di Eropa sebelumnya mengancam akan meloloskan resolusi mengikat lagi terhadap Iran. Namun, para diplomat yang paham masalah ini mengatakan, resolusi semacam itu tidak akan terjadi saat ini. Salah satu alasannya, menghindari ketegangan diplomatik dengan Iran saat perhatian semua pihak kini pada konflik Hamas-Israel di Gaza.
Dalam upaya menjamin Iran tidak mengembangkan senjata nuklir, sejumlah negara sepakat dengan Iran dalam perjanjian tahun 2015. Isinya Iran setuju membatasi pengayaan uranium ke level kekuatan nuklir sebagai imbalan atas pencabutan sanksi-sanksi ekonomi. Para inspektor IAEA ditugasi memonitor program itu.
Namun, mantan Presiden AS Donald Trump menarik diri sepihak dari kesepakatan itu pada 2018. Alasan Trump waktu itu, AS akan bernegosiasi untuk kesepakatan yang lebih besar, tetapi tidak terjadi. Iran pun mulai melanggar kesepakatan itu pada tahun berikutnya, termasuk pasal tentang persetujuan bagi Iran untuk memperkaya uranium hingga level 3,67 persen kemurnian dan menimbun stok uranium sebanyak 300 kg.
Pemerintahan Presiden Joe Biden menyatakan bersedia memulai kembali perjanjian nuklir. Namun, pembicaraan formal untuk membuat peta jalan kesepakatan itu terhenti pada Agustus 2022. Iran telah lama membantah akan membuat senjata nuklir dan menekankan program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan Biden berupaya menahan pintu tetap terbuka melalui diplomasi diam-diam dengan Teheran. Namun, upaya itu hancur saat terjadi serangan mendadak Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 dan dibalas dengan gempuran militer Israel ke Gaza. Ketegangan antara Iran dan AS semakin buruk sejak serangan itu. Keduanya saling lempar tuduhan bahwa pihak lain memperparah situasi. (AP/AFP/REUTERS)