Perang kota yang kian sengit membuat pasokan obat-obatan dan peralatan medis terhenti di Gaza.
Oleh
LUKI AULIA, LARASWATI ARIADNE ANWAR, CYPRIANUS ANTO SAPTO WALYONO
·5 menit baca
GAZA, SENIN — Dua rumah sakit terbesar di kota Gaza, yakni Al-Shifa dan Al-Quds di Gaza utara, terpaksa berhenti beroperasi. Gempuran Israel ke Gaza membuat pasokan obat-obatan dan peralatan medis terhenti. Stok yang ada kian menipis karena korban serangan Israel terus berjatuhan.
Layanan juga terganggu karena dalam tiga hari terakhir tidak ada lagi aliran listrik dan air bersih. Karena rumah sakit tak berfungsi maksimal, jumlah pasien yang tidak tertolong meningkat. Bahkan, pihak rumah sakit terpaksa menolak korban yang baru datang. Saat ini di Al-Shifa tercatat ada lebih dari 600 pasien, 200-500 petugas kesehatan, dan sekitar 1.500 pengungsi yang masih berlindung di dalam rumah sakit.
”Ini situasi yang mengerikan dan berbahaya. Dunia tidak bisa tinggal diam. Rumah sakit yang seharusnya jadi tempat berlindung yang aman berubah jadi tempat kematian, kehancuran, dan keputusasaan,” kata Sekjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, Senin (13/11/2023).
Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan, rumah sakit terbesar kedua di Gaza, Al-Quds, juga kewalahan. Makanan, air bersih, obat-obatan, dan peralatan untuk operasi menipis. Juru bicara Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Tommaso Della Longa, mengatakan, rumah sakit Al-Quds terputus dari dunia selama 6-7 hari terakhir. ”Rumah sakit dibiarkan mengurus dirinya sendiri di tengah pengeboman Israel. Tidak ada jalan masuk ataupun keluar,” kata Longa.
Perwakilan WHO untuk Palestina mengingatkan, saat ini pasien, staf rumah sakit, dan pengungsi yang berlindung di rumah sakit hidup tanpa air bersih, makanan layak, dan pasokan bahan bakar. WHO mencatat ada 20 dari 36 rumah sakit di Gaza yang sudah dinonaktifkan, sebagian karena rusak atau hancur akibat pengeboman Israel.
”Anak saya terluka. Tidak ada satu pun rumah sakit yang bisa merawat anak saya,” kata warga Gaza, Ahmed al-Kahlout, yang kemudian melarikan diri ke Gaza selatan.
Situasi di mana rumah sakit Al-Shifa berada memang membahayakan. Rumah sakit itu berada di tengah zona perang perkotaan. Sejumlah saksi mengatakan, suara tembakan bergema di seluruh ruang rumah sakit Al-Shifa.
Nidal Abu Hadrous, ahli bedah saraf di Al-Shifa, mengatakan, pengeboman di dekat gedung tempat inkubator para bayi itu memaksa para staf menjajarkan bayi prematur di tempat tidur biasa. ”Ini tidak akan bertahan lama. Perlu ada intervensi segera untuk menyelamatkan pasien dan para staf,” ujarnya.
Wakil Kepala Otoritas Kesehatan Hamas, Youssef Abu Rish, mengatakan, ada enam bayi prematur dan sembilan pasien yang sedang dalam perawatan intensif meninggal di Al-Shifa karena kurangnya pasokan listrik. ”Semua rumah sakit yang ada di utara daerah pertempuran kini tidak berfungsi,” ujarnya.
Di sisi lain, Uni Eropa (UE) justru mengecam Hamas. UE menuduh, Hamas menggunakan rumah sakit dan warga sipil sebagai tameng hidup. Namun, UE juga mendesak Israel untuk menahan diri demi melindungi warga sipil. ”Permusuhan ini sangat berdampak pada rumah sakit dan menimbulkan korban jiwa yang mengerikan pada warga sipil dan staf medis,” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell, Minggu.
Hal senada dinyatakan oleh Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan. Ia membela Israel dengan mengatakan, Hamas menggunakan rumah sakit dan fasilitas sipil lainnya untuk menampung pejuang dan senjata. Menurut Sullivan, ini bentuk pelanggaran hukum perang.
”Amerika Serikat tidak ingin melihat baku tembak di rumah sakit di mana orang-orang yang tidak bersalah, pasien yang menerima perawatan medis, terjebak dalam baku tembak. Kami sudah berkonsultasi aktif dengan militer Israel tentang hal ini,” kata Sullivan kepada CBS News.
Indonesia
Terkait situasi di Gaza, Presiden Joko Widodo akan menyampaikan resolusi KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) kepada Presiden AS Joe Biden. Saat menyampaikan keterangan pers di Washington, DC, Senin, Presiden mengatakan bahwa dunia seolah tidak berdaya menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. ”Karena itu, saya mengajak negara-negara anggota OKI bersatu dan berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan keadilan bagi rakyat Palestina,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Presiden, gencatan senjata harus segera diwujudkan. Bantuan kemanusiaan harus dipercepat dan diperbanyak. Perundingan damai harus segera dimulai. Fasilitas publik dan kegiatan kemanusiaan tidak boleh menjadi sasaran serangan. Israel harus bertanggung jawab atas kekejaman yang telah dilakukan.
”Alhamdulillah, KTT OKI menghasilkan resolusi yang berisi pesan sangat kuat untuk dunia. Pesan inilah yang akan saya sampaikan kepada Presiden Biden,” kata Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi berada di AS untuk menghadiri KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Pertemuan itu digelar di San Francisco.
Namun, sejumlah pihak menilai perlu upaya lebih kuat untuk ”menegaskan” pesan tersebut. Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu termasuk pihak yang pesimistis dengan kemungkinan hasil pertemuan Jokowi-Biden. Menurut dia, kecil kemungkinan desakan untuk gencatan senjata akan didengar.
Lebih lanjut Aleksius menjelaskan, ruang manuver politik Indonesia untuk isu Palestina sangat terbatas. Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan Palestina dan menolak membuka hubungan dengan Israel. Akibatnya, Indonesia tidak leluasa bergerak untuk berbicara dengan Tel Aviv, termasuk kepada para pendukungnya. Di samping itu, Aleksius menilai, Indonesia tidak memiliki hal yang diperlukan oleh AS untuk ditukar dengan desakan gencatan senjata.
Selama ini, hubungan Indonesia-Palestina didominasi aspek kemanusiaan dan bantuan sosial. Bantuan ini membantu warga Palestina, tetapi dari segi tekanan politik internasional tidak berpengaruh terhadap perwujudan kemerdekaan negara Palestina.
Indonesia, menurut Aleksius, sejatinya memiliki modal sosial-politik besar, yaitu sebagai pelopor Gerakan Nonblok, Ketua ASEAN, dan pernah ”menakhodai” G20. Kewibawaan Indonesia, menurut dia, dapat dioptimalkan, termasuk berbicara dengan para pihak terkait.
”Melihat alat diplomasi kita dengan Palestina selama ini tidak membuahkan hasil maksimal, sudah waktunya dikaji ulang. Pertanyaannya, mampukah pemerintah sekarang ataupun di masa depan mengambil langkah yang kreatif dalam berdiplomasi?” kata Aleksius. (AFP/REUTERS)