Sekutu Desak Israel Berhenti Mengebom Gaza
Perancis desak Israel segera hentikan pengeboman demi melindungi warga sipil di Gaza. Israel masih saja menyerang titik-titik lokasi dekat tempat warga sipil berlindung. Alasannya, Hamas berlindung di balik warga sipil.
PARIS, SABTU — Tekanan komunitas internasional kepada Israel terus menguat. Para sekutu Israel, termasuk Amerika Serikat dan Perancis, mendesak Israel berhenti mengebom wilayah Gaza. Mereka juga mendesak Israel berhenti menyerang permukiman dan tempat perlindungan warga sipil.
Desakan antara lain disampaikan Presiden Perancis Emmanuel Macron. Dalam wawancara yang disiarkan BBC pada Jumat (10/11/2023), ia mendesak Israel berhenti mengebom dan membunuh warga sipil di Gaza.
Ia menyebut, Israel berhak melindungi diri dan memberantas teror. Serangan Hamas ke Israel tidak bisa diterima. Namun, pengeboman tanpa henti oleh Israel ke Gaza tidak bisa dibenarkan.
Baca juga: Pengamat: Jeda Kemanusiaan Hanya Sekuritisasi HAM, Gaza Butuh Gencatan Senjata
Karena itu, sekali lagi Macron mendesak pemberlakuan jeda kemanusiaan di Gaza. ”Faktanya, saat ini warga sipil dibom. Bayi-bayi, perempuan, dan orang tua ini dibom dan dibunuh. Tidak ada alasan untuk itu dan tidak ada legitimasi yang membenarkan tindakan itu. Kami mendesak Israel menghentikan semuanya,” katanya.
Macron mengingatkan, pengeboman itu akan menguatkan kebencian kepada Israel. Keamanan Israel justru semakin rentan akibat bombardir tanpa henti dan dinilai tidak berperikemanusiaan itu.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, rata-rata satu anak terbunuh setiap 10 menit di Jalur Gaza. ”Tidak ada tempat dan tidak ada seorang pun yang aman,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyambut baik ”jeda kemanusiaan” yang ditetapkan empat jam setiap hari. Namun, tetap saja Israel perlu lebih keras berupaya melindungi warga sipil Gaza. ”Dalam beberapa minggu terakhir, banyak warga Palestina yang terbunuh dan menderita akibat perang ini,” ujarnya.
Reaksi Israel
Menanggapi pernyataan Macron, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan, seharusnya para pemimpin dunia mengecam Hamas, bukan Israel. ”Kejahatan yang dilakukan Hamas di Gaza bisa terjadi di Paris, New York, dan di mana pun di dunia,” ujarnya.
Israel berkilah, Gaza diserang karena Hamas menyandera 240 orang yang diculik sejak 7 Oktober 2023. Bagi Netanyahu dan pejabat Israel, gencatan senjata hanya akan dimanfaatkan Hamas untuk menyusun ulang kekuatan. Karena itu, Israel menolak gagasan gencatan senjata.
Baca juga: Di Bawah Tekanan AS, Israel Akhirnya Setuju Jeda Kemanusiaan
Sampai sekarang, Hamas dan Lebanon sesekali masih menembakkan roket ke Israel. Setidaknya 250.000 warga Israel di perbatasan dengan Gaza dan Lebanon harus diungsikan.
Sementara Wakil Tetap Israel di PBB, Gilad Erdan, menyebut, Israel membentuk satuan tugas khusus untuk mendirikan rumah sakit darurat di Gaza selatan. Sejak 12 Oktober 2023, Israel meminta penduduk Gaza utara pindah ke Gaza selatan.
Pengungsian
Masalahnya, Gaza selatan pun tidak aman dari serangan Israel. Hampir tidak ada hari tanpa serangan udara Israel ke berbagai distrik di Gaza selatan. Tempat penampungan pengungsi pun jadi sasaran serangan.
Gaza utara lebih sengsara lagi. Israel mengebom berbagai rumah sakit di Gaza utara dan tengah. Kawasan sekitar rumah sakit terbesar di Gaza, Al-Shifa, berulang kali dibom Israel.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf Al-Qidra, mengatakan, Israel sudah lima kali mengebom Al-Shifa. Tank-tank Israel juga sudah mengambil posisi di sekitar rumah sakit Nasser Rantissi dan rumah sakit Al-Quds.
Adapun kawasan di sekitar Rumah Sakit Indonesia di Gaza juga nyaris tidak berhenti diserang. Sebagian bangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza rusak akibat serangan itu.
Baca juga: Desakan Gencatan Senjata Meningkat, Sekutu dan Warga Israel Tekan Netanyahu
Juru bicara Pemerintah Israel, Eylon Levy, mengatakan, markas besar Hamas berada di ruang bawah tanah di bawah Al-Shifa. Militer Israel, IDF, mengaku punya bukti video soal ruangan itu. Namun, sampai sekarang, tidak ada verifikasi independen atas klaim tersebut.
IDF berulang kali menuding sejumlah rumah sakit dijadikan tempat penyimpanan persenjataan Hamas. Karena itu, berbagai rumah sakit kehilangan status bangunan dilindungi menurut hukum perang dan hukum humaniter internasional.
Pengelola sejumlah sakit, dan tentu saja Hamas, menyangkal tudingan itu. Pengelola sejumlah rumah sakit balik menunjukkan kondisi ruang bawah. Dalam rekaman itu, terlihat ruang bawah tanah dijadikan penyimpanan air, bahan bakar, dan aneka kebutuhan rumah sakit.
Israel juga berulang kali menuding, roket Hamas yang merusak berbagai rumah sakit dan bangunan di Gaza. Roket-roket itu disebut malah jatuh di Gaza. Verifikasi oleh berbagai pihak telah membuktikan, proyektil yang meledakkan berbagai sasaran di Gaza datang dari arah pasukan Israel.
Juru bicara IDF, Richard Hecht, menyangkal Israel menyerang rumah sakit. ”Jika kami melihat ada Hamas yang menembak dari arah rumah sakit, kami akan melakukan apa yang perlu dilakukan. Kami menyadari itu rumah sakit. Namun, sekali lagi, jika kami melihat ada Hamas, kami akan membunuh mereka,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres Guterres menyebut, Hamas menjadikan warga sipil sebagai perisai. Walakin, tetap saja hal ini tidak memberikan kebebasan kepada Israel menyerang bangunan tempat Hamas bersembunyi di antara warga sipil.
Baca juga: Wajah Kontras Bank Darah di Gaza dan Israel, Penolong Vital di Tengah Perang
Kemarin, IDF mengumumkan warga Gaza utara punya enam jam untuk mengungsi lewat Jalan Raya Salahuddin. Jalan itu merupakan rute utama di Gaza sekaligus jadi koridor utama pengungsian dalam perang saat ini.
IDF juga mengumumkan, pesisir Gaza bisa dijadikan rute alternatif pengungsian. Dari 1,1 juta penduduk Gaza, setidaknya 250.000 orang masih berada di Gaza utara. Mereka tidak bisa mengungsi antara lain karena perang berlangsung di sekitar tempat tinggal dan rute pengungsian.
Sebagian warga Gaza utara awalnya berlindung di sejumlah rumah sakit. Ternyata, rumah sakit pun tidak aman dari serangan Israel. Bahkan, Israel berulang kali meminta berbagai rumah sakit dikosongkan.
Direktur RS Al-Shifa Mohammed Abu Selmia, membenarkan Israel meminta rumah sakit itu dikosongkan. Namun, dia menolak karena hal itu tidak mungkin dilakukan. Selain prosesnya yang sulit, tidak akan ada tempat evakuasi lain yang memadai untuk para korban.
Rumah Sakit Nasser, satu-satunya rumah sakit khusus anak yang tersisa di Gaza utara, terpaksa ditutup karena diserang Israel. ”Kami belum tahu apa yang terjadi pada pasien di sana, termasuk anak-anak. Tidak mungkin mereka bisa dievakuasi dengan aman,” kata juru bicara WHO, Margaret Harris.
Pengungsi yang melewati Jalan Raya Salahuddin perlu berjam-jam berjalan kaki untuk mencapai Distrik Deir al-Balah. Banyak pengungsi merupakan anak-anak, perempuan, dan manula. Kendaraan terbanyak berupa gerobak yang ditarik keledai. Tidak ada mobil karena bahan bakar amat langka.
Mereka tiba di Deir al-Balah dalam kondisi lapar, kelelahan, marah, dan putus asa. ”Banyak anak dan perempuan terbunuh setiap hari. Di mana hak asasi manusia? Di mana PBB? Di mana Amerika Serikat? Di mana Pengadilan Kejahatan Internasional? Di mana dunia?” kata salah satu pengungsi, Reem Asant (50). (AFP/REUTERS)