Pengamat: Jeda Kemanusiaan Hanya Sekuritisasi HAM, Gaza Butuh Gencatan Senjata
Jeda kemanusiaan di Gaza hanya sementara dan setelah waktunya usai, pertempuran yang menewaskan warga sipil kembali terjadi. Penegakan HAM yang hakiki ialah menjalankan gencatan senjata dan perundingan damai.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Perang Hamas-Israel telah berlangsung selama 32 hari dan belum ada gencatan senjata. Kesepakatan terakhir para pihak bertikai yang dimediasi, antara lain, oleh Amerika Serikat dan Mesir ialah jeda kemanusiaan setiap hari selama empat jam. Harus ada pengukuhan narasi kemanusiaan agar warga sipil terpenuhi hak asasinya tanpa kecuali.
”Penekanan narasi ini harus kepada Pemerintah Israel, Hamas, dan sekutu masing-masing karena militer Israel dan Hamas sama-sama mengakibatkan tewasnya warga sipil dari kedua belah pihak,” kata Ani Soetjipto, pengamat hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi Universitas Indonesia dalam diskusi ”Penanganan Krisis Kemanusiaan di Gaza”, di Depok, Jawa Barat, Jumat (10/11/2023).
Ia mengamati, yang disebut penegakan HAM berupa jeda kemanusiaan ini sejatinya bukan penjaminan keamanan fisik dan psikis warga sipil. Ini adalah sekuritisasi HAM, yakni menjadikan mekanisme konflik yang dipakaikan kedok HAM.
Jeda kemanusiaan hanya sementara dan setelah waktunya usai, pertempuran yang menewaskan warga sipil kembali terjadi. Penegakan HAM yang hakiki ialah menjalankan gencatan senjata dan perundingan damai dengan menghormati martabat rakyat sipil.
”Perang ini isu elite yang berlandaskan politik, ekonomi, dan perebutan ruang hidup. Warga sipil tidak mau berperang karena hanya membuat kehancuran,” kata Ani.
Ia mengkritisi sebagian negara, lembaga, dan publik sipil mengaitkan yang mengecam Pemerintah Israel ataupun Hamas dituduh antisemit maupun Islamofobia. Harus ada kejernihan memahami perang tersebut yang merugikan warga sipil Israel dan Palestina sehingga bisa mendorong gencatan senjata.
Prinsip HAM adalah wilayah itu aman dan masyarakatnya merdeka tanpa ada ancaman apa pun. Jaminan ini berlaku, baik bagi masyarakat Israel maupun Palestina, agar mereka bisa hidup tanpa ketakutan ada konflik baru yang akan pecah sewaktu-waktu.
Rahmawati Husein dari Dewan Pakar Lembaga Resiliensi Bencana Muhammadiyah menuturkan pengalamannya mengelola bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Muhammadiyah adalah salah satu lembaga Indonesia yang memiliki program berkelanjutan untuk masyarakat Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat.
”Situasi sejak perang pecah sangat merugikan warga Palestina. Bank-bank tutup, mereka juga tidak bisa menyeberang ke Mesir. Bantuan ada, tetapi aksesnya susah sekali,” ujarnya.
Situasi sejak perang pecah sangat merugikan warga Palestina. Bank-bank tutup, mereka juga tidak bisa menyeberang ke Mesir.
Fokus Muhammadiyah untuk jangka menengah di Gaza ialah memastikan kecukupan sandang, pangan, dan papan darurat; berjalannya proses pendidikan untuk anak-anak Palestina; dan ada layanan kesehatan.
Dari aspek internasional, menurut Rahmawati, tidak cukup mengandalkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hendaknya isu kemanusiaan Israel dan Palestina ini dibawa ke Sidang Majelis Umum PBB secara lebih intensif.
Lebih lanjut, Sri Vira Chandra dari Koalisi Perempuan Indonesia Peduli Aqsa yang juga aktif membantu warga Palestina di Jerusalem mengatakan, harus ada perubahan kebijakan yang signifikan guna mengakhiri pemerintahan apartheid Israel. Pengalaman dia di Jerusalem ialah ada kegiatan terstruktur memisahkan pasangan suami-istri Palestina agar tidak tinggal di satu daerah. Demikian pula dengan pemisahan sebagian anak Palestina dari orangtua.
”Ini yang mengakibatkan impunitas masyarakat sehingga muncul kemarahan,” ujarnya.
Turunkan ketegangan
Per Jumat (10/11/2023), data Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (UN OCHA) melaporkan total korban tewas di Palestina adalah 10.328 jiwa. Dari Israel, jumlah korban tewas 1.400 jiwa dan sekitar 240 orang masih disandera oleh Hamas.
Pakar Timur Tengah UI, Agung Nurwijoyo, membagi skala konflik Israel Palestina dari 1 sampai 5 atau terendah hingga perang. Ia memaparkan, sejak Perang Yom Kippur 1973, keadaan di Palestina relatif lebih tenang. Memang ada pecahan konflik secara sporadis, tetapi skalanya tidak besar menjadi peperangan. Umumnya berkisar skala 2 hingga 3.
Sejak 2008, tepatnya pascablokade Gaza oleh Israel pada tahun 2006, letupan-letupan konflik berskala 5 sering terjadi. ”Penutupan akses ke Gaza membuat resistensi Palestina kian meninggi. Apalagi, Hamas sangat sensitif terhadap hal-hal seperti pencaplokan properti warga Palestina oleh Israel dan desakralisasi Masjid Al-Aqsa. Serangan 7 Oktober lalu adalah reaksi dari penumpukan hal-hal yang tidak bisa diterima oleh Hamas,” ucapnya.
Persoalan di konflik ini adalah ketiadaan mediator yang menyuarakan gencatan senjata, hanya jeda kemanusiaan. Tanpa gencatan senjata, kemungkinan perundingan sukar dicapai. Gaza akan menghadapi status quo baru. Terdapat pula masalah pecahnya fraksi-fraksi Palestina, antara lain, Hamas, Fatah, dan Al-Quds sehingga sukar dikatakan kelompok yang benar-benar bisa mewakili aspirasi Palestina.
”Tanpa injeksi gencatan senjata, situasi akan terus tegang. Berisiko muncul kelompok-kelompok perlawanan baru yang membuat suasana kian pelik,” kata Agung.