TEHERAN, MINGGU — Pemerintah kota Teheran, Iran, memasang sekitar 600 baliho atau papan reklame di jembatan penyeberangan dan jalan layang. Papan itu berisi kaligrafi kutipan puisi-puisi karya penyair kontemporer Iran.
Puisi 104 penyair itu diharapkan menggugah perasaan. Puisi, antara lain, dari Nima Yooshij, Mehdi Akhavab-Sales, dan Hushang Ebtehaj dengan berbagai topik, termasuk romansa, agama, dan masyarakat dipasang. Masyarakat Iran terkenal karena kecintaan mereka pada puisi yang merupakan komponen penting dalam sastra dan budaya Persia.
Masalahnya, ratusan baliho itu justru berkontribusi pada peningkatan jumlah kecelakaan di jalan raya. Menurut kepolisian Teheran yang dilaporkan lembaga Klub Jurnalis Muda Iran, puisi-puisi itu justru menjadi sumber gangguan bagi para pengemudi di kota dan membuat jalan semakin macet.
Baca juga: Restoran Diam-diam Menagih Orangtua yang Anaknya Bandel
Bahkan, karena teks yang sulit dibaca dan banyak yang berkalimat panjang, banyak pengemudi yang justru mengalami kecelakaan lalu lintas.
”Papan reklame di sekitar kota harus pendek, ringkas, dan mampu menyampaikan pesan hanya dengan pandangan sekilas oleh pengemudi. Teks yang panjang tidak sesuai standar dan menyebabkan kecelakaan,” kata Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas pada Kepolisian Teheran, Ehsan Momeni.
Meski memuji inisiatif puisi itu sebagai sesuatu yang berharga, seorang pejabat Kota Teheran mengakui lebih baik jika puisi-puisinya dipersingkat seperti saran kepolisian. Pejabat lain, Reza Sayyadi, mengatakan sebenarnya tidak ada instruksi khusus tentang apa yang menjadi standar papan reklame perkotaan. Ia membenarkan papan reklame puisi itu sebaiknya tidak membuat para pengguna jalan bertabrakan.
Selain apresiasi, baliho berpuisi ini juga menuai kritik dari kalangan konservatif karena menampilkan potret penyair feminis Forugh Farrokhzad yang dikenal karena karya erotisnya yang eksplisit dan fotonya yang terpasang tidak mengenakan jilbab. Mengenakan jilbab yang menutupi kepala dan leher diwajibkan bagi perempuan di Iran sejak revolusi Islam tahun 1979.
Baca juga: Aksi Samurai Pemulung, Tokyo Ternyata Tidak Sebersih yang Dikenal
Juru bicara pemerintah kota, Alireza Nadali, merespons kritikan itu dengan mengatakan, mustahil menemukan potret Farrokhzad yang berjilbab. Pasalnya, Farrokhzad sudah meninggal tahun 1967—sebelum revolusi Islam 1979—pada usia 32 tahun. Ironisnya, dia meninggal dalam kecelakaan mobil. (AFP)