China Tampaknya Bisa Atasi Militer AS di Asia (Bagian 1)
AS tidak perlu takut akan kekuatan rudal China sepanjang tidak memprovokasi dan mengintimidasi.
Persaingan geopolitik China versus Amerika Serikat amat berbahaya karena kekuatan militer kedua negara dipersepsikan relatif setara. Karena setara, maka AS dan China disebut sebagai peer competitor. Tidak akan masuk kategori peer competitor jika kekuatan tak setara. Pertarungan dua kekuatan geopolitik akan jauh lebih membahayakan jika posisi kekuatannya setara.
Khusus untuk wilayah Asia, salah satu ajang pertarungan mereka, ada benih kuat untuk optimistis. Perang frontal AS-China kecil kemungkinan terjadi di Asia. Ada beberapa alasan lain untuk itu. Alasan utama adalah asumsi bahwa AS dan China sejatinya bukan lagi peer competitor.
Kekuatan militer AS sekarang ini relatif inferior terhadap China jika menyangkut wilayah Asia semata walau strategi China mulai merangsek ke level dunia. Karena tidak lagi setara, maka jika AS tetap mengganggu wilayah hegemoni China di Asia, aksi militer AS di Asia akan sulit.
Situasi akan beda jika China, walaupun superior, berusaha mengganggu Benua Amerika. Di titik ini AS akan menggasak China jika masuk ke wilayah hegemoni AS. Sebaliknya, China akan relatif aman saja dengan proyeksi hegemoninya di Asia.
Baca juga: AS Gelar Dua Latihan Perang di Sekitar China, Beijing Kerahkan Kapal Induk
Luput dari perdebatan
Sebagai latar belakangnya, pada dekade 1990-an para akademisi dan ahli strategi AS sudah berdebat seru karena pertumbuhan ekonomi China yang tinggi. Sebaliknya, ekonomi AS tumbuh rendah, bahkan sering terjebak resesi. Dipastikan, pertumbuhan ekonomi akan menguatkan kemampuan militer dan menaikkan status geopolitik China.
Pertanyaan lanjutan, sejauh mana kekuatan militer menaikkan status geopolitik China? Apakah China akan sekadar berkembang sebagai kekuatan yang mengungguli negara-negara di Asia dan Rusia?
Fokusnya memang China karena meski ekonomi negara-negara lain tumbuh cepat, dari segi banyaknya jumlah penduduk hanya China yang layak menjadi peer competitor bagi AS. Muncul tema debat bahwa China berpotensi sebagai peer competitor bagi AS. Hanya, potensi ini pada debat di era 1990-an itu disimpulkan tidak akan terjadi mengingat China sangat lemah persenjataannya dan terlalu birokratis.
China yang memodernisasi diri juga akan berbagi manfaat dari hasil pertumbuhan regional. Ini dapat menjadi kekuatan untuk stabilitas dan keamanan di tahun-tahun mendatang.
Perbedaan derajat kekuatan militer, apakah ia sekadar kekuatan regional, peer competitor, atau superior memiliki implikasi berbeda. Hal ini pernah dituliskan Thomas J Christensen, profesor ilmu politik dan anggota Security Studies Program di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada awal 2001 lewat artikel berjudul ”Posing Problems Without Catching Up: China’s Rise and the Challenge for American Security”.
Debat tidak satu arah. Ada pihak yang menyatakan China tidak akan menjadi ancaman meski semakin kaya. ”China yang memodernisasi diri, juga akan berbagi manfaat dari hasil pertumbuhan regional. Ini dapat menjadi kekuatan untuk stabilitas dan keamanan di tahun-tahun mendatang,” demikian dikatakan Paul D Wolfowitz, mantan Duta Besar AS untuk Indonesia, dalam wawancara tentang relasi AS-China, dituangkan dalam Journal of International Affairs tahun 1986.
Hal yang benar-benar luput dari debat dekade 1990-an di AS adalah apakah China akan superior atau melampaui peer competitor bagi AS. Tema ini tidak diperdalam karena dianggap mustahil terjadi. Oleh karena itu, implikasi China yang superior bagi kepentingan AS tidak dibahas lebih jauh.
Jarak melemahkan AS
Hanya, Christensen menuliskan, jangankan ketika China sebagai kekuatan peer competitor, status militer China yang sekadar kuat di level Asia saja sudah cukup bisa mengganggu kepentingan militer AS di Asia. Salah satu penyebabnya, menurut Christensen, adalah jarak AS-China yang dipisahkan samudra.
Jarak ini saja sudah membuat posisi AS menjadi tidak setara dengan China jika itu menyangkut kepentingan AS di Asia. Akan sulit bagi AS mengerahkan pasukan besar-besaran dari kejauhan. Volume senjata AS di Guam dan di basis-basis militer AS di Asia tak akan memadai menghadapi stok amunisi China.
Sepersepuluh saja kekuatan China jika dibandingkan dengan kekuatan AS relatif sudah cukup bagi China untuk menghadapi AS yang ada di kejauhan, menurut Christensen. Mengirimkan pasukan amfibi besar-besaran ke China, misalnya, akan mirip serangan bunuh diri jika dilihat dari perspektif sejarah. Hal ini dituliskan dalam buku The Tragedy of Great Power Politics, 2001, karya John Mearsheimer, pakar geopolitik dari University of Chicago.
Baca juga: China Akan Dominan di Laut China Selatan, AS Kemungkinan Menyerah
Mearsheimer saat itu juga tidak bisa memastikan apakah China pasti akan menjadi peer competitor. Ia hanya bisa mengasumsikan, seandainya ekonomi China terus tumbuh, akan menjadi saingan terberat bagi AS. China akan mengubah status quo, demikian asumsi Mearsheimer.
”Jika ekonomi China terus bertumbuh hingga dua dekade berikutnya seperti tingkat pertumbuhan sejak 1980-an, China kemungkinan akan melewati Jepang sebagai negara terkaya Asia. Dengan populasi besar, China berpotensi lebih kaya dari Jepang, bahkan dari AS,” tulis Mearsheimer.
Siap diuji perang
Dua puluh tahun lebih sejak debat pada awal dekade 2000-an, situasi sudah sangat berbeda. China paham arti si vis pacem para bellum, siaplah berperang jika ingin damai. Jika selama ini China jarang mengatakan bahwa ia lebih hebat, kini mulai muncul istilah-istilah pertanda keberanian dari China seperti, Navy sails away.
Wu Peixin, pengamat militer di Beijing, mengatakan, pertumbuhan kekuatan Angkatan Laut China merupakan sesuatu yang jelas telah terjadi. ”Angkatan Laut China telah menyiagakan senjata-senjata baru dan peralatannya, beberapa bahkan merupakan yang terbaik di dunia,” katanya. Wu menambahkan, China dalam posisi lebih baik untuk melindungi wilayah kelautan (China Daily, 24 Mei 2018).
Dengan kata lain, posisi AS yang berjarak jauh dan otomatis melemahkan posisinya kini dihadapkan lagi dengan kemajuan pesat militer China. Kekuatan ekonomi China telah mengubah status quo. Perseteruan AS dan China semakin sengit.
Dari sudut pandang AS, China kini adalah negara yang terus bertumbuh, kemungkinan akan melampaui, dan menggantikan peran AS.
Dalam dialog penutupan Asia Future Summit 2023 di Singapura, 5 Oktober 2023, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong memberi pandangan. ”Dari sudut pandang AS, China kini adalah negara yang terus bertumbuh, kemungkinan akan melampaui, dan menggantikan peran AS,” kata PM Lee.
Menggantikan peran AS hanya dimungkinkan jika China kuat secara militer. Ada indikasi hal ini sudah mulai terjadi. Kapten Senior Li Dongyou, Komisaris Politik Liaoning, kepada The Global Times, 15 November 2016, mengatakan, ”Sebagai kekuatan militer, kami selalu siap tempur dan kapasitas tempur kami juga perlu diuji melalui perang. Kami meningkatkan kekuatan dan akan menggunakannya untuk mencegah perang. Namun, kami juga siap untuk pertempuran nyata kapan saja,” kata Li saat peluncuran armada kapal perang, Liaoning.
Tak perlu takut
Tentu peralatan senjata China di semua lini juga terus dikembangkan agar lebih siap berperang walau perang an sich bukan tujuan utama. Bagian dari kesiapan itu ditandai dengan munculnya senjata dengan julukan ”Guam killer”, merujuk pada DF-26, rudal balistik berjarak menengah.
DF-26 diperlihatkan pertama kali ke publik pada 2015. Rudal ini bertujuan menyerang target di darat dan laut. China juga telah memiliki rudal balistik hipersonik, DF-17. Rudal terbaru ini menaikkan pesat kemampuan tempur Angkatan Laut China dan disebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Laksamana Samuel Paparo, Komandan Armada Pasifik AS, mengatakan, pihaknya khawatir rudal-rudal China tersebut bisa menenggelamkan armada kapal perang AS dan kapal Angkatan Laut AS lainnya. China Daily, 6 Juli 2023, mengutip ulang pesan yang dituliskan PLA Daily. ”AS tidak perlu takut akan kekuatan rudal China sepanjang tidak memprovokasi dan mengintimidasi,” demikian PLA Daily.
Modernisasi peralatan itu hanya fokus pada kekuatan pertahanan strategis dan bertujuan memastikan kepentingan keamanan nasional China ketimbang mengancam negara lain atau target tertentu. ”Namun, jika ada yang berani menginvasi, pasukan China jelas akan melawan balik dan menaklukkan musuh-musuhnya,” lanjut harian tersebut.
Baca juga: Militer AS Sulit Menaklukkan China
China Daily pada 21 Juli 2023 juga menyajikan jet-jet tempur China yang diperagakan pada pameran udara di Changchun, ibu kota Provinsi Jilin. Kolonel Senior Zhang Shouhai dari Staff Departemen Pasukan Udara (Air Force’s Staff Department) mengatakan, peralatan militer yang dipamerkan antara lain jet tempur siluman J-20, pesawat pengisi bahan bakar udara YY-20, pesawat tempur multifungsi J-16, serta pesawat tempur dua kursi J-10S dan J-11S.
”Bagian terpenting dari pameran kekuatan udara tahun ini adalah taktik manuver YY-20, demikian juga jajaran J-20, yang bisa meliuk-liuk bagaikan ular,” demikian kata Wang Mingzhi, profesor di PLA Air Force Command College di Beijing, China Daily, 1 Agustus 2023. (AFP/AP/REUTERS)
(Bersambung)