China Tampaknya Bisa Atasi Militer AS di Asia (Bagian 2)
”Daripada terus-menerus berusaha untuk mengalahkan satu sama lain, AS dan China harus memanfaatkan kekuatan kolektif mereka melalui kerja sama untuk mengatasi tantangan global,” kata Joseph Nye.
Ketika Indonesia membayangkan laut, terbayang misalnya Laut Arafuru. Sementara China, membayangkan Laut China Selatan hingga Samudra Pasifik dan Samudra India. Bayangan China bahkan melambung jauh dan ingin merealisasikan negara berkekuatan blue water Navy. Bukan hanya kapal, melainkan jet tempur juga siap meraung-raung di samudra, salah satunya J-20.
Pesawat tempur siluman China itu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan F-22 milik Amerika Serikat. Meski pesawat buatan Lockheed Martin, F-22 Raptor, disebut sebagai pesawat tempur paling super, J-20 memiliki beberapa hal yang lebih baik. Demikian dituliskan editor senior di situs 19FortyFive, Peter Suciu, yang bermarkas di Michigan, AS, pada 26 Oktober.
J-20 disebut memiliki daya manuver lebih fleksibel dan bisa terbang lebih jauh meski dianggap sebagai tiruan dari F-22. J-20 buatan China dan J-20A mengambil alih kemampuan F-22, sebagaimana disebutkan dalam laporan International Institute for Strategic Studies (IISS), berbasis di London.
Baca juga: China Tampaknya Bisa Atasi Militer AS di Asia (Bagian 1)
John Chipman, Direktur Umum IISS, mengatakan, pasukan udara China memiliki peningkatan kemampuan udara yang dramatis lewat J-20. Disebut dramatis terutama karena jet tempur siluman yang bisa melumpuhkan radar sebelumnya hanya dikuasai AS, tetapi kini juga sudah dikuasai China.
Itu belum cukup. Dalam perkembangan terbaru, roket Long March 2D China meluncurkan satelit penginderaan jauh, Yaogan-39, dari Pusat Peluncuran Satelit Xichang sebagaimana diberitakan stasiun televisi CCTV, 27 Oktober. China juga melengkapi kemampuan perang dengan peralatan informasi, termasuk lewat satelit, tersambung dengan sistem persenjataan.
Hal ini dikerahkan untuk presisi serangan. Sejak lama, menurut Thomas J Christensen, profesor ilmu politik dan anggota Security Studies Program di Massachusetts Institute of Technology (MIT), China menyadari pentingnya peran teknologi informasi, termasuk pemanfaatan satelit.
Dekade ini tidak siap
Semua ini tidak terbayangkan dalam debat tahun 1990-an di AS. ”Argumen umum di antara analis, China tidak mungkin menutupi kesenjangan teknologi persenjataan dengan cepat dan keunggulan teknologi AS kemungkinan terus berkembang dalam beberapa dekade mendatang. Jika akan terjadi revolusi dalam urusan militer di Asia Timur, revolusi tersebut hanya akan terjadi di AS,” demikian Christensen mengenang debat ramai pada dekade itu.
Situasi berbeda sekarang. Walau beberapa pihak di AS optimistis tetap lebih hebat, sudah banyak bermunculan nada berbeda. Daniel Robinson, mantan pilot pesawat tempur serta pendiri dan pimpinan Red 6, mengatakan, AS tidak bisa meremehkan kemajuan China. Ada banyak kelebihan China walau AS juga memiliki kelebihan (Fox News, 27 Oktober 2023).
Opini dari AS juga mulai bernada keprihatinan. ”AS tidak siap menghadapi China jika terjadi konflik di Selat Taiwan pada dekade ini,” kata mantan Kepala Komando Indo-Pasifik AS Laksamana Harry Harris, 23 Oktober 2023.
Kekuatan persenjataan China turut mengubah opini sekutunya. ”China bukan lagi kekuatan status quo,” kata Perdana Menteri Australia Anthony Albanese seperti dikutip Bloomberg, 27 Oktober 2023. Menurut Albanese, China ingin menata kembali tatanan dunia agar lebih lentur terhadap kepentingan China di Asia Pasifik dan dunia.
Opsi ”buck-passing"
Jika itu menyangkut pertarungan AS-China di Asia, China tetap bermain solo. Sebaliknya, AS tidak sendirian dan membentuk Quad (Australia, India, Jepang, dan AS) serta AUKUS (Australia, Inggris, dan AS). Salah satu cara peer competitor menghadapi kekuatan besar musuhnya adalah lewat perang frontal. Ini riskan untuk gagal jika kekuatan tidak seimbang.
Faktor jarak relatif telah menurunkan kemampuan AS dalam menghadapi China jika perang terjadi di Asia. Maka, mungkin cara lain bagi AS untuk menghadapi China adalah lewat strategi buck-passing, yakni menjadikan negara-negara di Asia sebagai sarana atau pion perang. Hal ini antara lain bisa dilakukan dengan memperkuat kerja sama hingga mendorong kolaborasi guna meningkatkan kemampuan militer di beberapa negara Asia, sekutu AS.
Laksamana veteran Philip Davidson, yang digantikan oleh Harris sebagai Kepala Komando Indo-Pasifik Davidson, menyatakan, untuk menghadapi ancaman militer China, AS harus mencari sekutu di negara-negara Asia yang sudah maju. Rencana pengadaan galangan kapal angkatan laut di Jepang dan Korea Selatan termasuk menjadi pemikiran.
Baca juga: China Akan Dominan di Laut China Selatan, AS Kemungkinan Menyerah
AS juga merevitalisasi kerja sama militer AS dengan Filipina, yang disepakati pada 1951. AS mencanangkan penguatan pasukannya di Filipina. Opsi ini bisa memperkuat posisi militer AS karena bisa berada lebih dekat dengan wilayah China.
Filipina telah terusik karena kerja sama ini, termasuk berupa benturan kapal penjaga pantainya di wilayah sengketa di Laut China Selatan dengan dengan kapal penjaga pantai China. Presiden AS Joe Biden, Rabu (23/10/2023), di Gedung Putih, setelah benturan itu mengatakan, militer AS bersedia menghadapi China atas nama Filipina.
”Perjanjian pertahanan AS dengan Filipina sangat ketat. Serangan apa pun terhadap pesawat, kapal, atau angkatan bersenjata Filipina akan mengacu pada perjanjian pertahanan bersama kami dengan Filipina,” kata Biden.
Tentang Taiwan, Harris dan Davidson juga bertekad menolong Taiwan jika China menyerang. Kata Davidson, Taiwan adalah negara inovasi, demokratis, dan kekuatan baik yang layak dibela.
Gertakan balik
China tidak meyakini gertakan AS tersebut. Kepada Fox Business,27 Oktober 2023, Brent Sadler, peneliti senior dari Heritage Foundation, mengatakan, ”Militer AS telah menjadi terlalu lemah untuk dikerahkan.” Sadler, yang juga mantan peneliti kekuatan laut di Pentagon, menambahkan bahwa kelemahan AS selama ini antara lain terletak pada anggaran militer yang berkurang.
Christensen menuliskan bahwa opini yang berkembang di China sejak lama adalah AS takut melawan negara besar apalagi berkekuatan nuklir, hanya berani merundung negara lemah. Kasus serangan di Somalia pada 1999 yang menewaskan 16 tentara AS justru membuat AS menarik diri.
AS meniupkan potensi serangan militer China ke Taiwan. Sebaliknya, China sudah menyatakan Taiwan akan bebas sebagai bagian dari China, punya otonomi penuh dan hanya tabu untuk menyatakan kemerdekaan.
Dengan kekuatan China yang kini lebih besar, sebisa mungkin China memilih menahan diri dan tidak harus berperang nyata di lapangan. ”Dimungkinkan, tetapi serangan tidak terlalu pas. Terhadap Taiwan, China akan lebih memilih sabar,” kata pakar geopolitik dari University of Chicago, John Mearsheimer, dalam diskusi dengan The South China Morning Post, 11 Juli 2023.
Pengerahan rudal hanya akan mengundang persiapan rudal balasan, yang berpotensi menyebabkan konflik yang meluas.
China juga menggertak balik setiap gertakan AS dengan misi agar secara psikologis niat musuh menyerang surut. ”AS bukanlah pihak yang ikut bersengketa di Laut China Selatan dan tidak berhak terlibat atas prahara antara China dan Filipina,” demikian dikatakan juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, Kamis (26/10/2023).
Mao menambahkan, ”Ikrar AS membela Filipina tidak boleh mencederai kedaulatan wilayah China dan kepentingan maritim China di Laut China Selatan, dan AS juga tidak seharusnya mendorong klaim ilegal Filipina atas wilayah sengketa.”
Peringatan China pun sudah disampaikan kepada Jepang bahwa dialog amat berharga ketimbang Jepang berambisi menjadi kekuatan militer. Ini bersambut setidaknya bagi sebagian kalangan di Jepang. ”Berkaca pada keterlibatan Jepang di China dan Semenanjung Korea pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai pion Barat, kita harus mengupayakan dialog dan kepercayaan untuk menyelesaikan perselisihan dengan China, apa pun kondisinya,” kata Kumiko Haba, profesor emeritus di Aoyama Gakuin University (China Daily, 10 Oktober 2023).
”Pengerahan rudal hanya akan mengundang persiapan rudal balasan, yang berpotensi menyebabkan konflik yang meluas,” kata Haba.
Blokade dan pencegatan
China tidak hanya menggertak, tetapi juga memblokade. Langkah-langkah pencegatan bahkan sudah terjadi pada setiap aksi militer AS dan sekutunya di Laut China Selatan. Pencegatan telah dilakukan China terhadap pesawat pengintai Kanada di Laut China Selatan, Senin (17/10/2023).
Pencegatan terbaru dilakukan China terhadap pesawat pengebom AS, B-52, di Laut China Selatan. Pesawat tempur China, J-11, pada 24 Oktober, hampir tabrakan di udara dengan B-52. Berdasarkan informasi dari Komando Indo-Pasifik AS, pencengatan terbaru itu menambah daftar pencegatan yang sudah lebih dari 180 kali dilakukan China sejak 2011. Pencegatan China mengingatkan sikap implisitnya bahwa pasukan dan peralatannya perlu diuji dengan perang nyata. Untungnya AS menahan diri.
Diperkirakan, China akan mampu memblokade kedatangan peralatan senjata musuh dengan rudal-rudal dan pesawat tempurnya. Semua markas militer AS yang ada di Asia berada dalam jangkauan rudal dan pesawat tempur China. China juga sedang memperluas basis militer di seluruh dunia, bagian dari program anti-access, area denial. China ingin menandingi AS, yang memiliki 800 basis militer di lebih 80 negara dan teritori.
Dengan semua itu, senjata dan pasukan AS berpotensi terblokir sejak dini. Sebab, China juga mencanangkan perang di wilayah musuh, bukan di wilayahnya. ”Musuh tidak akan pernah bisa memasuki perbatasan kami dan tidak akan ada senjata yang bisa masuk. Inilah misi dasar kami,” kata Huang Xiaoming, seorang tentara China dikutip CNTV, 13 Maret 2015.
Jauh sebelum itu, militer China sudah merancang kekuatan militer berbasis teknologi informasi. “Taktik seperti itu memungkinkan perang berlangsung di luar zona pertahanan,” demikian dituliskan chinamil.com.cn pada 19 Januari 2012.
Perseteruan yang merugikan
Situasi terbaru ini mengindikasikan China bukan lagi dalam posisi peer competitor bagi AS. China superior dalam beberapa hal, setidaknya di Asia. Pesawat AS dan sekutunya tidak lagi bisa leluasa bermanuver seperti dekade 2000-an di Laut China Selatan.
Di tengah situasi itu, kini berkembang hal positif. Menteri Luar Negeri China Wang Yi berkunjung ke AS sejak 26 Oktober dalam rangka rujuk hubungan AS-China. Seperti pesan Presiden Xi Jinping pada Ketua Senat AS Chuck Schumer, jebakan Thucydides bukan tak bisa dihindari. AS-China bisa menghindari jebakan perang dengan saling waspada dan saling respek.
Baca juga: Militer AS Sulit Menaklukkan China
Joseph Nye, profesor emeritus dan mantan dekan Kennedy School of Government, Harvard University, menyarankan, hubungan AS-China berbeda dengan hubungan AS-Uni Soviet. Meski panas, relasi AS-China juga menyangkut relasi ekonomi yang bermanfaat besar bagi kedua negara. Daripada terus-menerus berusaha untuk mengalahkan satu sama lain, AS dan China harus bertujuan untuk memanfaatkan kekuatan kolektif mereka melalui kerja sama untuk mengatasi tantangan global, kata Nye (China Daily, 25 Oktober).
Ada faktor kuat yang mendorong rujuk. China memiliki sentimen nasionalisme, efek sejarah dipermalukan asing. Menurut Christensen, di tengah China yang makin makmur dan kuat, muncul tuduhan dari rakyat China bahwa pemerintahanya lebih menentingkan urusan ekonomi ketimbang harga diri bangsa. Hal ini jika dibiarkan, akan bisa menyurutkan pamor pemerintahan China. Oleh sebab itu, narasi otoritarianisme yang dikumandangkan Barat tidak berterima di China. Rakyatnya memiliki persepsi kuat tentang kekhasannya sendiri.
Mencegah kisah Jepang
China juga tidak akan mudah percaya dengan dialog semata. AS sebaliknya juga bersikap demikian. ”In Deterring China, Dialogue is No Substitute for Budgets, Hard Power”, demikian artikel yang dituliskan oleh Brent Sadler, 16 Juni 2023, di akun LinkedIn miliknya.
AS sebagai kekuatan besar tidak cukup menghadapi China lewat dialog. China juga bersikap serupa. Seperti dikatakan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, ”Dari sudut pandang China, mereka sedang berkembang dan mengalami kemajuan, tetapi melihat AS ingin menghentikan dan mencegat kemajuan China.”
Fakta empiris menunjukkan, sebuah kekuatan hegemoni regional tidak akan tenang. ”Kekuatan-kekuatan hegemoni dengan jarak yang dipisahkan samudra tetap bisa saling mengancam satu sama lain,” demikian dikatakan Mearsheimer.
Dari sudut pandang China, mereka sedang berkembang dan mengalami kemajuan, tetapi melihat AS ingin menghentikan dan mencegat kemajuan China.
”Kekuatan hegemon regional suatu hari nanti mungkin akan menghadapi tantangan lokal dari satu negara, yang memiliki insentif kuat untuk bersekutu dengan hegemon yang jauh untuk melindungi dirinya dari kekuatan hegemon tetangganya,” lanjut Mearsheimer.
Semua pesaing China dipimpin AS tetap berpotensi akan mengepung China untuk mencegah ekspansinya. Sejarah membuktikan pengepungan tersebut. Untuk mencegah Jepang bisa kembali, AS memberikan tekanan pada 1941. Tujuannya bukan hanya untuk mencegah Jepang menyerang Uni Soviet dan negara-negara Asia, melainkan secara umum mencegah ambisi Jepang mendominasi Asia. AS mempunyai posisi yang baik untuk memaksa Jepang.
Sebaliknya China tidak akan bisa menerima potret seperti itu dari AS. Sejarah sedang berpihak pada China karena kekuatan ekonomi dan daya inovasinya. Kedaulatan negara adalah Impian China tanpa didikte asing.
Misi laten
Diduga, China akan berupaya melemahkan AS sebagaimana pernah dilakukan AS terhadap Jepang. Menurut Christensen, China memahami taktik bait bleed, sebutan bagi upaya membuat pesaing sibuk di berbagai belahan dunia.
China mendalami hal itu dengan relasi solid dengan Rusia, yang menginvasi Ukraina dan membuat AS kerepotan. China juga mendekati Afrika dan Timur Tengah yang membuat kawasan tersebut bisa berani menolak kepentingan AS, bahkan mungkin akan menentang AS di kawasan itu.
Apa tujuan China? Misinya, berdasarkan versi China, hanya membuat situasi di dunia win-win solution. ”Sejak berdiri 70 tahun lalu, China tidak pernah memulai perang atau menduduki satu inci pun teritori lain,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional China, Wu Qian, dikutip China Daily, 26 Oktober 2023.
Baca juga: China dan AS, Tak Kenal Maka Tak Sayang
Tentu tidak demikian pandangan Asia, terutama yang bersengketa wilayah dengan China. Namun, Mearsheimer mengatakan, begitulah karakter kekuatan besar geopolitik dunia. ”Kita suka atau tidak suka, sebuah kekuatan global memang berperilaku seperti itu. Kita harus melihat ini sebagai apa adanya guna memahami akar di balik persoalan geopolitik global,” kata Mearsheimer.
Kekuatan geopolitik itu khususnya akan fokus pada kekuasan di wilayahnya sembari membuat pesaing sibuk di banyak kawasan. ”Meskipun menyedihkan menyadari bahwa negara-negara besar mungkin berpikir dan bertindak seperti ini, kita perlu melihat dunia sebagaimana adanya, bukan seperti yang kita inginkan,” demikian dikatakan Mearsheimer.
Hal menarik dari strategi China, negara-negara di dunia dibangun lewat Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Inisiative). Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan, tidak hanya berurusan secara militer. China dan rakyatnya juga menjadi sumber rezeki bagi perekonomian tetangga dan dunia, demikian juga sebaliknya. (AFP/AP/REUTERS)