Komunikasi ke Gaza Terputus, PBB Capai Resolusi untuk Jeda Kemanusiaan
Situasi di Gaza kian memilukan. Dunia internasional bergerak. Majelis Umum PBB berhasil capai resolusi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
GAZA CITY, SABTU — Warga Palestina semakin sengsara. Setelah tiga minggu terkurung dan mengalami krisis pangan, bahan bakar, air, dan listrik akibat blokade Israel, kini mereka terputus total dari dunia luar setelah Israel memutus internet dan jalur komunikasi bersamaan dengan serangan udara yang terus meningkat. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar dilakukan gencatan senjata.
Seperti dilaporkan Associated Press, Sabtu (28/10/2023), penghentian layanan internet di Gaza membuat sekitar 2,3 juta jiwa Gaza tidak bisa berkomunikasi.
Penyedia telekomunikasi Palestina, Paltel, dalam keterangannya menjelaskan, pengeboman Israel menyebabkan gangguan total terhadap layanan internet, telepon seluler, dan telepon rumah. Namun, beberapa telepon satelit tetap berfungsi. Selain Paltel, layanan internet utama di Jalur Gaza, NetStream, sejak Jumat malam telah menghentikan layanan mereka.
Terputusnya jalur komunikasi ini membuat korban akibat serangan dan rincian serangan darat tidak dapat segera diketahui. Keluarga-keluarga di Gaza panik setelah jalur komunikasi terputus.
”Saya sangat takut hal ini akan terjadi,” ujar Wafaa Abdul Rahman, Direktur Organisasi Feminis yang berbasis di kota Ramallah di Tepi Barat. Abdul Rahman menuturkan, ia sudah berjam-jam tidak mendengar kabar dari keluarganya di Gaza Tengah.
Human Rights Watch (HRW), Jumat (27/10/2023), mengatakan, pemutusan jalur telekomunikasi di tengah pengeboman yang terus dilakukan Israel ke Gaza berisiko menutupi kekejaman perang. Dalam pernyataan HRW, peneliti senior bidang teknologi dan hak asasi manusia, Deborah Brown, menyatakan, ”Penutupan informasi ini berisiko menutupi kekejaman massal dan berkontribusi terhadap impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia.”
Sejumlah lembaga internasional dan LSM juga menyatakan, mereka kehilangan kontak dengan staf mereka di Gaza, di antaranya Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UN OCHA). Koordinator UN OCHA, Lynn Hastings, mengatakan, rumah sakit dan operasi kemanusiaan PBB tidak dapat berlanjut tanpa komunikasi, energi, makanan, air, dan obat-obatan.
”Pemutusan komunikasi ini berarti akan semakin sulit untuk memperoleh informasi dan bukti penting tentang pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang yang dilakukan terhadap warga sipil Palestina di Jalur Gaza,” ujarnya.
Resolusi PBB
Meningkatnya angka kematian dan kehancuran di Gaza memicu keprihatinan internasional. Melalui PBB, dunia mendesak pemberlakuan jeda kemanusiaan. Jalur aman itu diperlukan untuk mengalirkan bantuan makanan, obat-obatan, air minum, dan bahan bakar.
Majelis Umum PBB pada Jumat telah menyetujui resolusi yang menyerukan jeda kemanusiaan di Gaza. Langkah itu merupakan bagian dari upaya PBB menghentikan perang antara Hamas dan Israel. Resolusi itu tercapai melalui pemungutan suara dengan 120 negara setuju dan 14 negara menolak. Selain itu, 45 negara abstain setelah menolak amendemen Kanada yang didukung Amerika Serikat.
Selain menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera, jangka panjang, dan berkelanjutan yang mengarah pada penghentian permusuhan, resolusi itu juga menuntut semua pihak segera mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum kemanusiaan internasional dan hak asasi manusia yang mewajibkan perlindungan warga sipil, sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur penting lainnya.
Resolusi tersebut menuntut agar pasokan barang-barang penting diizinkan masuk ke Jalur Gaza dan pekerja kemanusiaan memiliki akses berkesinambungan. Resolusi juga dengan tegas menolak pemindahan paksa penduduk sipil Palestina dan menekankan perlunya segera membentuk mekanisme yang menjamin perlindungan penduduk sipil Palestina.
Riyad Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB, mengapresiasi PBB. Ia mengatakan, Majelis Umum PBB lebih berani, lebih berprinsip dibandingkan Dewan Keamanan PBB yang terpecah. DK PBB gagal dalam empat upaya mereka dalam dua minggu terakhir. Dua resolusi, termasuk draf resolusi yang diajukan Brasil—presiden bergilir DK PBB—diveto. Selain itu, dua resolusi lain gagal mendapatkan minimal sembilan suara ”ya” untuk persetujuan.
Duta Besar Uni Emirat Arab Lana Nusseibeh, selaku perwakilan Arab di DK PBB, menyatakan kegembiraannya atas hasil tersebut. ”Sebanyak 120 suara dalam lingkungan geopolitik seperti ini merupakan sinyal yang sangat tinggi untuk mendukung hukum internasional, untuk penggunaan kekuatan yang proporsional, dan sebagai penolakan atas status quo yang saat ini terjadi di lapangan,” katanya.
Pencapaian Majelis Umum PBB mencapai resolusi tidak disambut baik Israel. Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan menyebutnya sebagai ”hari yang akan menjadi hari yang buruk”. ”Israel tidak akan menghentikan operasi sampai kemampuan Hamas dihancurkan dan sandera dipulangkan. Satu-satunya cara untuk menghancurkan Hamas adalah mengusir mereka dari terowongan dan kota bawah tanah mereka,” kata Gilad setelah pemungutan suara.
Selain Israel, negara lain yang menolak resolusi di antaranya AS, 5 negara Kepulauan Pasifik, serta 4 negara Eropa yaitu Austria, Kroasia, Ceko, dan Hongaria. Delapan anggota Uni Eropa memberikan suara mendukung.
Duta Besar Perancis untuk PBB Nicolas De Riviera mengatakan, negaranya mendukung resolusi tersebut karena tidak ada yang bisa membenarkan penderitaan warga sipil. Dia mengatakan, pemungutan suara di Eropa menunjukkan mereka bisa sangat membantu dalam mencapai resolusi DK PBB atau dalam memaksimalkan tekanan di Israel untuk menghentikan perang.
Berbeda dengan resolusi DK PBB, resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum. Namun, Nusseibeh mengatakan, resolusi tersebut memiliki bobot dan otoritas moral yang luar biasa. Duta Besar Jordania untuk PBB Mahmoud Hmoud atas nama kelompok negara Arab yang terdiri atas 22 negara di PBB menyerukan tindakan segera untuk mewujudkan resolusi tersebut karena mendesaknya situasi yang meningkat di lapangan.
Sebelum pemungutan suara, Hmoud mendesak agar amendemen Kanada dibatalkan dengan mengatakan, Israel bertanggung jawab atas kekejaman yang dilakukan saat ini dan akan dilakukan dalam invasi darat ke Gaza. (AP/REUTERS)