41 Negara Bagian di AS Lindungi Anak-anak dari Candu Facebook-Instagram
Aparat kejaksaan di 41 negara bagian di AS melawan raksasa teknologi pengelola Facebook dan Instagram lewat gugatan hukum. Mereka berharap gugatan ini dapat melindungi anak-anak di AS dari candu media sosial.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Media sosial adalah candu. Demikian pandangan banyak kalangan. Kecanggihan algoritma media sosial membuat banyak orang tak bisa berhenti menggulirkan tombol untuk melihat unggahan demi unggahan.
Kegiatan itu awalnya mungkin menyenangkan. Tapi, lama-kelamaan bisa menggerogoti produktivitas, menyusupkan kecemasan, hingga membuat orang kehilangan rasa percaya diri. Dalam kondisi terparah, akibat kehilangan kepercayaan diri, pengguna media sosial (medsos) bisa merasa menjadi manusia gagal.
Atas dasar itu, lebih dari 40 negara bagian di Amerika Serikat mengajukan gugatan hukum terhadap raksasa teknologi, Meta Platforms Inc., perusahaan induk dari pengelola medsos Facebook dan Instagram. Mereka berharap, tindakan hukum ini dapat melindungi anak-anak dari candu media sosial yang dinilai ikut menyebabkan gangguan kesehatan mental bagi anak-anak.
Gugatan dari 33 negara bagian diajukan di Pengadilan Federal di California. Sembilan gugatan lainnya diajukan di negara bagian masing-masing. Sehingga total pihak yang mengajukan gugatan adalah 41 negara bagian dan Washington DC.
Gugatan itu menyebutkan bahwa Meta secara rutin mengumpulkan data anak-anak di bawah usia 13 tahun tanpa persetujuan orangtua. Hal ini melanggar hukum federal di Amerika Serikat.
Gugatan itu disertai tuduhan bahwa Meta dengan sengaja mengeksploitasi penderitaan anak-anak untuk meraup keuntungan melalui Facebook dan Instagram. Media sosial itu dinilai merusak kesehatan mental anak-anak dan menyesatkan penggunanya terkait keamanan platformnya.
“Meta telah meraup keuntungan dari penderitaan anak-anak dengan sengaja merancang platformnya dengan fitur-fitur manipulatif yang membuat anak-anak kecanduan platform mereka sambil merendahkan harga diri mereka,” demikian sebagian isi gugatan bersama yang diajukan di Pengadilan Federal California.
Disebutkan dalam gugatan bahwa dalam upaya memaksimalkan keuntungan finansialnya, Meta telah berkali-kali mengecoh publik, berkaitan dengan bahaya utama dari platform media sosialnya. Meta dinilai juga telah memanfaatkan pengguna anak-anak muda dengan menciptakan model bisnis yang dirancang untuk memaksimalkan waktu yang mereka habiskan di platform medsos.
Anak-anak dan remaja menderita akibat buruknya gangguan kesehatan mental (yang ditimbulkan oleh medsos).
Anak-anak dan remaja tak bisa melawan meskipun mereka dirugikan terkait kesehatan mereka. “Anak-anak dan remaja menderita akibat buruknya gangguan kesehatan mental (yang ditimbulkan oleh medsos). Dan perusahaan media sosial, seperti Meta lah, yang bertanggungjawab,” kata Jaksa Agung New York Letitia James melalui pernyataan.
James mengatakan, gugatan tersebut diajukan untuk meminta pengadilan federal agar memerintahkan Meta menghentikan taktik manipulatif dan membayar denda keuangan yang besar beserta restitusi.
Perusahaan media sosial, termasuk Meta, menurut James, telah berkontribusi pada krisis kesehatan mental di kalangan anak-anak muda secara nasional. Untuk itu, perusahaan teknologi raksasa itu harus bertanggung jawab.
Krisis kesehatan mental
Saat ini, beberapa negara bagian di AS telah mengeluarkan undang-undang yang melarang media sosial digunakan anak-anak di bawah umur tanpa izin orangtua. Surgeon General AS, Vivek Murthy, pada awal tahun ini mendesak adanya langkah-langkah untuk memastikan lingkungan media sosial tidak merugikan para pengguna muda.
“Kita sedang berada di tengah krisis kesehatan mental nasional di kalangan pemuda. Saya khawatir bahwa media sosial adalah faktor penting dalam krisis tersebut–yang harus segera kita atasi,” kata Murthy dalam sebuah panduan.
Jaksa Agung California Rob Bonta mengatakan, gugatan hukum tersebut merupakan hasil dari penyelidikan nasional yang diumumkan pada November 2021. “Penyelidikan bipartisan kami telah sampai pada kesimpulan yang serius. Meta telah merugikan anak-anak dan remaja kita, membudidayakan kecanduan demi meningkatkan keuntungan korporat,” kata Bonta.
Penyelidikan ini diluncurkan setelah pengungkap rahasia Facebook, Frances Haugen, membocorkan lebih dari 20.000 halaman dokumen internal kepada media. Dokumen itu memicu kritik bahwa raksasa media sosial tersebut lebih mengutamakan keuntungan daripada keamanan penggunanya.
Selama kesaksiannya di hadapan sidang Kongres AS dan parlemen di Eropa pada tahun 2021, Haugen bersikeras bahwa Facebook gagal dalam membatasi konten toksik, yaitu konten yang dapat memberi pengaruh negatif pada penggunanya. Ia juga menuduh bahwa perusahaan tersebut tidak bisa dipercayai untuk mengubah cara kerjanya.
Facebook mengganti namanya menjadi Meta pada tahun yang sama. Banyak pihak curiga bahwa perubahan ini dimaksudkan untuk menjauhkan perusahaan dari kontroversi jejaring sosialnya.
Mengelak
Menanggapi gugatan hukum tersebut, Meta mengelak. Perusahaan teknologi di Silicon Valley itu mengatakan bahwa mereka kecewa dengan gugatan tersebut.
Meta menilai, negara-negara bagian tidak bekerja sama dengan beragam perusahaan media sosial untuk menciptakan standar yang sesuai dengan usia pengguna. Meta menegaskan, mereka telah mengembangkan lebih dari 30 alat dalam aplikasi mereka untuk melindungi para pengguna remaja dan memudahkan orang tua untuk mengatur aktivitas daring anak-anaknya.
Meta berpendapat, gugatan tersebut membingungkan sebab jaksa agung hanya menarget Meta, bukannya mencari solusi yang mencakup keseluruhan industri pengelola medsos.
Facebook dan Instagram hanyalah segelintir dari beraneka platform medsos. Saat ini popularitas Facebook dan Instagram bersaing dengan platform lain, seperti TikTok, YouTube, dan Snap.
Meta menyebutkan, media sosial justru bisa bisa menjadi tempat bagi generasi muda yang sedang berjuang mengatasi masalah hidup dengan mencari dukungan melalui komunitas di dunia maya.
CEO Meta, Mark Zuckerberg, pernah membela diri. Saat itu, ia mengatakan bahwa argumen bahwa Meta dengan sengaja mendorong konten yang membuat orang emosional demi keuntungan finansial adalah sangat tidak masuk akal.
Kendati terus dihujani kritik, perusahaan-perusahaan media sosial terus berlomba menciptakan algoritma dengan daya pikat yang semakin hari semakin canggih. Seberapa jauh perlawanan ini dapat mengubah langkah mereka? (AFP/AP)