Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS Ikut Lemahkan Rupiah
Obligasi pemerintah AS dianggap salah satu sarana investasi paling aman. Jika sarana teraman itu menawarkan imbal hasil tinggi, maka sarana investasi yang dianggap lebih rawan akan ditinggalkan.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
RIYADH, SELASA-Kenaikan imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahun di Amerika Serikat berdampak ke berbagai sektor dan negara. Pelemahan Rupiah salah satu dampak kenaikan imbal hasil itu.
Presiden Bank Dunia Ajay Banga mengatakan, ada banyak risiko sedang dihadapi saat ini. Salah satunya lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah AS. "Obligasi (pemerintah) AS tenor 10 tahun naik 5 persen kemarin, hal yang belum pernah kita lihat," ujarnya, dalam Future Investment Initiative di Riyadh, Arab Saudi pada Selasa (24/10/2023).
Risiko lain adalah ketegangan geopolitik yang meningkat oleh situasi di Timur Tengah. Dampak ketegangan itu bisa amat serius pada perekonomian.
Ia juga mengingatkan, risiko cenderung menyebar ke berbagai tempat. "Saya akan berhati-hati untuk hanya fokus pada satu hal dan mengabaikan hal lain," kata dia.
Tekanan pasar
Imbal hasil obligasi pemerintah AS dengan tenor 10 tahun menjadi 5,02 persen pada Senin (23/10/2023). Aras itu merupakan yang tertinggi sejak 2007 atau sebelum krisis keuangan global 2008.
Pasar lega saat imbal hasil turun ke 4,84 persen pada penutupan perdagangan Senin. Pasar semakin lega saat imbal hasil kembali terkoreksi menjadi 4,82 persen pada Selasa.
Dalam laporan Associated Press disebutkan, kenaikan imbal hasil obligasi AS yang terlalu cepat bisa menekan pasar saham hingga nilai tukar mata uang berbagai negara. Hal itu terjadi karena obligasi pemerintah AS, termasuk dengan tenor panjang seperti 10 tahun dan 30 tahun, sejak lama menjadi acuan penentuan investasi dan transaksi.
Bagi pemerintah AS, kenaikan imbal hasil berarti kenaikan beban bunga. Pada 2022, AS mengeluarkan 213 miliar dollar AS untuk membayar bunga utang pemerintah. Beban 2023 diperkirakan akan lebih besar karena imbal hasil dan jumlah utang pemerintah AS terus naik.
Ada pun pasar menyikapi dengan penurunan harga saham. Sebab, kenaikan imbal hasil obligasi bisa memicu kenaikan aneka biaya pinjaman.
Dalam kondisi itu, konsumen yang mengandalkan kredit untuk pembelian aneka hal akan mengerem konsumsi. Sementara produsen yang mengandalkan kredit untuk modal akan mengerem kegiatan usaha. Penurunan konsumsi dan produksi berarti pemangkasan potensi keuntungan perusahaan dan deviden bagi pemegang saham.
Di sisi lain, pasar akan kurang tertarik pada sarana investasi lain. Sebab, obligasi pemerintah AS dianggap salah satu sarana investasi paling aman. Jika sarana teraman itu menawarkan imbal hasil tinggi, maka sarana investasi yang dianggap lebih rawan akan ditinggalkan.
Pelaku pasar akan berbondong meninggalkan sarana investasi di negara lain dan memilih obligasi pemerintah AS. Akibatnya, nilai tukar mata uang di berbagai merosot.
Di Indonesia, hal itu tecermin pada kenaikan kurs dollar AS dan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG). Dollar AS dikhawatirkan bisa menembus Rp 16.000 (AP/REUTERS)