Dari Gereja Indonesia untuk Dunia
Indonesia merupakan negara yang banyak mengirim misionaris ke luar negeri. Para misionaris itu juga menjadi wajah bangsa.
Rancak tetabuhan bernuansa etnik Batak membahana di Balai Kota Lilongwe, Malawi. Seiring itu, siswa sekolah menengah St Francis Assisi, Lilongwe, menari tarian asal Batak. Siswa-siswa itu dilatih oleh Suster Raynelda Marianna Saragih FCJM. Suster asal Saribudolok, Sumatera Utara, itu sejak 23 tahun lalu berkarya di sekolah tersebut.
Sekolah yang berada di ibu kota negara Malawi itu memang sarat prestasi. Tak heran jika mereka mendapat perhatian dan kepercayaan dari pemerintah setempat. Suster Raynelda yang kini menjadi Kepala Sekolah St Francis Assisi meninggalkan Indonesia pada 2000 setelah mendapat penugasan dari tarekatnya. Biarawati itu diutus karena adanya kebutuhan guru di Lilongwe. Saat penugasan itu datang, ia sudah mengajar di Sekolah Assisi di Medan.
Saat sampai di Lilongwe kala itu, sekolah tempatnya bertugas belum mempunyai gedung. Selama setahun pertama, Suster Raynelda harus berpindah dari satu rumah warga ke rumah warga lain, bahkan tak jarang mengajar di tanah lapang. ”Kalau hujan atau ada angin, (buku-buku) terbang semua,” katanya, Selasa (24/10/2023).
Di masa-masa awal itu, ia menyaksikan garangnya HIV/AIDS yang menjangkiti Afrika. Tak sedikit anak-anak yang ia kenal meninggal mendadak karena penyakit itu. Kondisi Lilongwe juga masih memprihatinkan dengan banyaknya warga miskin dan sanitasi yang tak memadai.
Dalam kondisi itu, Suster Raynelda bertahan. Selain mengajar di sekolah, ia juga melayani warga miskin dengan mengirim makanan dari gereja. Bantuan makanan tidak diberikan gratis karena sebagai bentuk pengajaran warga mencari nafkah. “Sebagai gantinya mereka memberi kayu api, kol, tomat, atau ubi. Pokoknya apa saja yang penting mereka tahu bagaimana cara mencari nafkah itu,” katanya.
Baca juga: Paus Fransiskus, dari Lampedusa Melintas Batas-batas
Suster Raynelda merupakan satu-satunya kepala sekolah perempuan di Lilongwe. Di bawah kepimpinan Suster Raynelda, SMP St Francis Asisi mengukir prestasi sebagai sekolah nomor satu di seluruh Malawi. Sekolah itu bahkan menjadi pusat ujian karena kepercayaan pemerintah setempat terhadap prestasi sekolah itu.
Tak jarang sekolah itu juga diundang ke Balai Kota Lilongwe atau lembaga negara Malawi. Saat diundang, anak-anak St Francis mementaskan beragam seni mulai dari drama hingga tarian. Beberapa kali mereka menampilkan tarian dari Indonesia, baik tarian Batak, tarian Jawa atau tarian Sunda. Kini seiring karyanya di SMP St Francis Assisi, pendidikan humaniora dan berkesenian, secara tak langsung, Suster Raynelda turut memperkenalkan Indonesia kepada warga Malawi.
Baca juga : Pastor Amans Laka SVD, Jejak Jasa Putra NTT di Argentina
Prestasinya memimpin sekolah dan membuatnya menjadi institusi pendidikan terbaik di Malawi memang begitu membanggakan. “Semua orang tahu saya dari Indonesia karena pernah lima orang dari Kedutaan Indonesia berkunjung ke sekolah ini. Mereka sangat bangga sekolah ini berprestasi,” katanya dalam bahasa Indonesia yang masih kental dengan logat Batak.
Mematahkan stigma
Di belahan lain dunia, Pater Florianus Jaling, SVD menunaikan tugas sebagai pastor di Paroki Nisa, Portalegre, sekitar 200 kilometer dari Lisbon, Portugal. Menurut dia, tidak mudah mengawali karya di negeri itu karena nama Indonesia masih buruk bagi kalangan mahasiswa di sana. Hal ini karena konflik antara warga Timor Timur dan militer Indonesia sebelum provinsi itu merdeka menjadi Timor Leste.
Banyak warga asing yang ia temui di sana juga heran, Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim itu justru mengirim pastor ke Eropa. ”Saya jelaskan kepada mereka bahwa betul Indonesia negara yang mayoritas Islam, tetapi ada kebebasan beragama di Indonesia. Dan, agama Katolik itu diakui oleh negara. Kita jelaskan dulu sejarahnya memang orang Eropa yang mengirim misionaris ke Indonesia dan sekarang masa panennya, kita gantian mengirim misionaris ke Eropa,” katanya.
Suster Angela Juni Darliah Siallagan, FCJM (38) juga menemui stigma yang kurang mengenakkan saat dikirim ke Wheaton, Amerika Serikat (AS) pada 2017 lalu. Bagi beberapa warga asing, Indonesia identik dengan negara ketiga yang miskin dan tidak kreatif. Nama Indonesia juga identik dengan bencana banjir dan gempa. “Ya saya tunjukkan dengan karya bahwa kami tidak semiskin dan sebodoh yang dipikir beberapa orang asing di sana ,” katanya.
Baca juga: Teguran Paus Fransiskus kepada Eropa yang Menolak Pengungsi
Setelah menyelesaikan kuliah jurnalistiknya di Indonesia, Suster kelahiran Toba, Sumatera Utara, itu kembali dikirim ke Roma, Italia, untuk menjalani posisi baru sebagai Ketua Tim Komunikasi Internasional FCJM. Dari Roma, ia memimpin tim komunikasi Tarekat FCJM yang tersebar di berbagai negara.
Menurut data Church’s Statistic Book yang dirilis oleh media Vatikan Agenzia Fides, Indonesia berada di posisi ketiga penyumbang biarawan dan biarawati Katolik terbanyak di Asia setelah India dan Filipina. Berdasarkan data kekonsuleran KBRI Vatikan 2022, Indonesia memiliki 1.024 biarawan dan biarawati yang berada di Italia saja. Sejumlah lain tersebar di berbagai negara.
Misi gereja Indonesia pada umumnya berpangkal dari surat misi Paus, bahkan sebelum Konsili Vatikan II, dimana para Paus melihat itu yaitu pentingnya kerja sama gereja-gereja (negara-negara). “Dalam konteks waktu itu bahwa gereja-gereja saling membantu,” kata Hasto Rosariyanto SJ, seorang sejarawan gereja.
Baca juga: Paus: Agama Bukan Alat Kekuasaan
Selanjutnya, di era Paus Yohanes Paulus II melalui Ensiklik Redemptoris Missio, kian ditegaskan pentingnya kerja sama tersebut. Di sisi lain, memang ada perubahan demografis kekatolikan di mana Gereja di Asia dan Afrika kian bertumbuh. Seiring itu, semakin banyak imam, biarawan dan biarawati lahir dari Asia dan Afrika. Sebagian dari mereka lantas diutus ke sejumlah negara untuk berkarya. Keterlibatan itu kian menandai universalitas Gereja.
Wajah inklusif
Dari pengalaman para misionaris Indonesia itu, lewat berbagai karya, mereka tidak berperan sebagai rohaniwan semata. Lewat perutusannya, mereka turut menjadi duta bangsa. Memperkenalkan wajah Indonesia yang beragam, toleran, dan inklusif.
Paulus Suparmono CM, misionaris asal Kulon Progo, DIY, yang kini bertugas di Honiara, Kepulauan Solomon, mengatakan, salah satu sumbangan yang menonjol dari keindahan keindonesiaan adalah jiwa Bhinneka Tunggal Ika. ”Ini yang secara nyata menempa misionaris dari Indonesia untuk mudah masuk, menerima, dan diterima oleh orang-orang tempat kita bermisi. Secara teologis, saya berani mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu jejak kaki Roh Kudus dalam budaya Nusantara,” kata Pramono.
Hal senada diungkapkan Hasto. Merujuk pengalaman para Yesuit yang dikirim ke sejumlah negara, mereka juga mudah diterima. ”Pengalaman binekanya itu dialami sejak kecil, jadi berjumpa dengan budaya lain, termasuk perbedaan agama, kok, jadi lebih gampang masuk, gampang diterima, seolah ada kodrat kedua dalam diri kita bahwa perbedaan adalah hal yang wajar yang harus dimasuki,” kata Hasto.
Kehadiran yang inklusif itu, menurut Hasto, turut memberi warna pada universalitas gereja Katolik.
Duta Besar Indonesia untuk Kenya Mohamad Hery Saripudin mengatakan, para misionaris adalah duta bangsa sesungguhnya. Dengan kesehariannya berkarya langsung di masyarakat, di antaranya bekerja melayani pasien HIV/AIDS mereka justru lebih dikenal daripada para diplomat. ”Waktu saya berkunjung, jemaat mereka justru tidak akan mengenali saya sebagai duta besar Indonesia, kan, tetapi warga kalau memanggil mereka Sister Indonesia, Sister Indonesia,” kata Hery yang sudah mengunjungi seluruh para biarawan dan biarawati di Kenya itu.
Dengan peran itu, para misionaris itu merupakan mitra strategis dalam misi diplomasi Indonesia. Oleh karena itu, KBRI Kenya juga selalu melibatkan para biarawan dan biarawati itu dalam berbagai kegiatan di KBRI. Mereka tidak hanya berkhidmat secara agama, tetapi juga secara tidak langsung berkarya untuk bangsa. KBRI Kenya mencatat saat ini ada 24 biarawati dan 5 biarawan Katolik. Beberapa dari mereka telah bertugas di sana lebih dari 20 tahun.
Merujuk pada ensiklik ketiga Paus Fransiskus, yaitu Fratelli Tutti, Hasto mengatakan, kehadiran misionaris adalah bagian dari misi membangun ”bumi sebagai rumah kita bersama”, di mana setiap manusia menjadi saudara satu sama lain.