Upaya menurunkan ketegangan di Gaza, gagal karena veto AS. Dunia menyaksikan upaya penghapusan Palestina dari peta dunia.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Linda Thomas-Greenfield di New York, AS, pertengahan pekan lalu, menggagalkan draf usulan resolusi Dewan Keamanan PBB yang disusun Brasil. Alasannya, selain draf itu tidak memuat kecaman terhadap Hamas yang menyerbu ke Israel, Presiden AS Joe Biden juga tengah membujuk Israel dan Mesir membuka gerbang perbatasan Rafah agar misi kemanusiaan bisa masuk ke Gaza selatan. Dari proses ini tampak AS ingin dipandang sebagai ”penyelamat” bagi warga Palestina. Namun, yang terjadi di lapangan, jauh panggang dari api.
Di saat yang sama, di Gaza, warga sipil terus berjatuhan. Jumlah warga sipil yang tewas telah mendekati 4.000 jiwa (kini bahkan sudah mendekati 5.000 jiwa). Warga Gaza utara yang mengungsi ke selatan pun hidup sengsara. Pintu keluar untuk mengungsi ke negara lain tertutup rapat.
Seiring dengan itu ada kekhawatiran, jika mereka pergi meninggalkan Gaza, kemungkinan besar Israel akan mencaplok wilayah itu dan menghapus Palestina. Kekhawatiran itu merujuk peristiwa saat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berpidato di Sidang Majelis Umum PBB September lalu. Kala itu dia memperlihatkan peta Israel, yang menunjukkan tak ada lagi Gaza dan Tepi Barat di dalamnya.
Daniel Levy, mantan negosiator perdamaian Israel di bawah PM Yitzhak Rabin dan Ehud Barak, mengatakan, para pemimpin AS gagal berempati terhadap penderitaan rakyat Palestina. Dalam pandangannya, ini adalah sebuah kelalaian, sebuah dosa.
Dalam pandangannya, ketiadaan simpati dan empati dari AS dan sejumlah negara Barat terhadap penderitaan warga sipil di Gaza mempercepat kehancuran Palestina. Secara tidak langsung, menurut dia, negara-negara tersebut terlibat dalam upaya membumihanguskan Gaza. ”Saya telah berbicara dengan orang-orang di Israel dan kita sedang mendengar wacana tentang Rwanda dan Balkan Barat di era 1990-an,” katanya.
Akan tetapi, di sisi lain, ada pula banyak anak muda di AS dan di sejumlah negara Barat turun ke jalan menyerukan agar gencatan senjata segera dilakukan, dan jalur kemanusiaan dibuka. Di AS, mereka turun ke jalan, mendesak para pengambil kebijakan, termasuk para politikus di Capitol—DPR AS—segera bertindak. Di London, mengutip BBC, seratusan ribu warga turun ke pusat kota menyuarakan keinginan yang sama, penghentian pembantaian terhadap warga Gaza.
Tak hanya itu, sejumlah kelompok warga Yahudi pun mendukung sikap itu. Mereka tidak mendukung Netanyahu dan militernya membumihanguskan Gaza. Jewish for Peace adalah salah satunya. Saat berunjuk rasa di Capitol, mereka mengenakan kaus hitam yang bertuliskan ”tidak atas nama saya”.
Direktur Eksekutif Jewish Voice for Peace, Stephanie Fox, secara terang-terangan menyebut Israel sedang melakukan pembersihan etnis. ”Hilangnya nyawa orang Israel digunakan pemerintah kita untuk membenarkan genosida, berlindung atas nama moralitas untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral, yang menginginkan lebih banyak senjata dan lebih banyak kematian,” kata Fox.
Refik Hodzic, jurnalis Bosnia, dikutip dari laman Al Jazeera, mengatakan, dirinya melihat beberapa indikasi yang bisa mengarah pada terjadinya genosida, yang pernah dialami Bosnia di era 1990-an. Dengan kekuatan yang tidak setara antara Israel dan Palestina, dia melihat adanya upaya penghilangan nyawa sekelompok warga hingga pengusiran warga dari tanah kelahirannya.
Menurut dia, salah satu hal yang mengindikasikan itu adalah niat. Pernyataan para pemimpin, politikus, anggota parlemen, dan pembuat opini di Israel memiliki niat yang sama. Niat ini terus dikomunikasikan setiap hari.
”Hal itu terbukti di Srebrenica dan kita bisa melihat dengan jelas beberapa hal itu terjadi di Gaza,” katanya.