Bocah di AS Tewas Dibunuh atas Kebencian Rasial akibat Perang Hamas-Israel
Perang Hamas-Israel memicu peningkatan kebencian rasial di AS. AS meningkatkan kewaspadaan setelah seorang bocah terbunuh, sementara ibunya luka parah setelah diserang pemilik rumah yang marah dengan perang Hamas-Israel.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
BRIDGEVIEW, SELASA — Perang antara Israel dan Hamas memicu peningkatan sentimen kebencian dan kekerasan di Amerika Serikat. Di kota kecil Bridgeview, pinggiran barat daya Chicago, Negara Bagian Illinois, seorang anak keturunan Palestina berusia 6 tahun tewas ditikam, sementara ibunya luka serius setelah pemilik rumah tempat mereka mengontrak menyerang keduanya.
Kasus ini menjadi perhatian mulai dari pejabat lokal, aparat hukum federal, hingga Gedung Putih. Presiden AS Joe Biden mengeluarkan pernyataan atas kasus tersebut dengan menyebutnya sebagai ”tindakan kebencian yang mengerikan tidak memiliki tempat di AS”. Politisi dan media di AS diingatkan untuk lebih bertanggung jawab atas retorika dan liputan terkait perang Hamas-Israel.
Perang Hamas-Israel meletus setelah kelompok Hamas menyerang wilayah selatan Israel, 7 Oktober 2023. Serangan itu menyebabkan lebih dari 1.400 orang, kebanyakan adalah warga sipil, tewas. Hamas, menurut keterangan terbaru Israel, juga menyandera sedikitnya 199 orang, termasuk warga sipil.
Militer Israel membalas serangan tersebut dengan menggempur Jalur Gaza, yang dikuasai Hamas, selama berhari-hari dengan serangan udara. Hingga Selasa (17/10/2023) pagi, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sedikitnya 2.700 orang—kebanyakan juga warga sipil—tewas akibat serangan udara Israel. Militer Israel saat ini tengah menyiapkan serangan besar-besaran ke Gaza, termasuk serangan darat.
Mengutip keterangan aparat berwenang, kantor berita Associated Press (AP), Selasa, melansir bahwa pemilik rumah sewa yang bernama Joseph M Czuba kesal atas perang Israel-Hamas. Ia menyerang Wadea Al-Fayoume (6) dan ibunya, Hanaan Shahin (32), setelah Shahin mengajak agar mereka berdoa untuk perdamaian.
Wakil Jaksa Negara Bagian Illinois Michael Fitzgerald dalam surat dakwaan menyebutkan bahwa Shahin menuturkan kepada aparat penyidik bahwa ia menyewa dua kamar di lantai satu sebuah rumah di Plainfield. Di rumah itu, Czuba dan istrinya tinggal di lantai dua.
”Dia (Czuba) marah dengan peristiwa yang terjadi di Jerusalem,” kata Fitzgerald. ”Dia (Shahin) merespons (Czuba) dengan mengatakan, ’Mari kita berdoa saja demi terwujudnya perdamaian’ ... Czuba lalu menyerangnya dengan pisau.”
Shahin tidak meladeni perkelahian dan masuk ke kamar mandi. Ia berada di kamar mandi hingga polisi datang. Naas bagi Fayoume, anak Shahin yang berusia 6 tahun, yang berada di kamarnya sendiri. Ia menjadi korban, ditikam Czuba dengan pisau.
Kantor Sheriff Will County melalui media sosial mengatakan, petugas menemukan perempuan dan anak laki-laki itu pada Sabtu (14/10/2023) pagi di sebuah rumah di area Plainfield, sekitar 65 kilometer barat daya Chicago.
Fayoume, anak laki-laki berusia 6 tahun, meninggal di rumah sakit. Otopsi terhadap anak tersebut menunjukkan bocah tersebut telah ditikam puluhan kali. Adapun Shahin, ibunya, juga mengalami sejumlah luka akibat tusukan dan diperkirakan selamat.
Menurut kantor Sherrif Will County, Shahin melaporkan kejadian tersebut melalui sambungan telepon 911. Czuba, yang diduga melakukan serangan, ditangkap pada Sabtu itu juga. Ia ditemukan duduk tegak di tanah di jalan masuk rumahnya dengan luka di dahinya. Ia sudah ditahan pada hari Minggu (15/10/2023).
Dampak konflik Timur Tengah
Senin (16/10/2023), Czuba hadir di pengadilan untuk pertama kali atas tuduhan pembunuhan, percobaan pembunuhan, dan kejahatan rasial. Dalam rincian dakwaan, kantor Sheriff Will County menetapkan kedua korban serangan brutal itu menjadi sasaran tersangka karena mereka beragama Islam dan konflik Timur Tengah yang sedang berlangsung antara Hamas dan Israel.
Czuba mengatakan, ”Ya, Pak,” saat ditanya apakah dia memahami dakwaan itu dan dikembalikan ke penjara di Jolliet, 80,4 kilometer barat daya Chicago.
Fayoume sudah dimakamkan pada Senin di wilayah komunitas Palestina Kecil. Disebut "Palestina Kecil" lantaran banyak warga Amerika keturunan Palestina yang tinggal di wilayah komunitas itu. Shalat jenazah Fayoume dilangsungkan di Masjid Foundation di Bridgeview, Illinois, barat daya Chicago. Kerumunan warga Amerika keturunan Palestina memadati masjid dan mengantarkan Wadea menuju pemakamannya.
Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relations (CAIR) Ahmed Rehab menyatakan, ”Ini adalah hari berat yang tidak pernah kami harapkan. Seperti yang mereka katakan, peti mati terkecil adalah yang terberat.”
Di luar masjid dilakukan konferensi pers yang juga dihadiri ayah Fayoume. Ia berbicara singkat kepada wartawan dalam bahasa Arab. Ia mengatakan, dia mencoba memahami apa yang terjadi pada putra dan istrinya. Ia berharap ini bisa menjadi ”peluru untuk menyelesaikan masalah” di tanah airnya.
Ayah Fayoume berharap kejadian ini bisa menjadi ’peluru untuk menyelesaikan masalah’ di tanah airnya (di Palestina).
”Saya di sini sebagai ayah dari anak tersebut, bukan sebagai politisi atau ulama. Saya di sini sebagai ayah dari seorang anak laki-laki yang haknya dilanggar,” katanya.
Sementara itu, para pembicara menyerukan agar para politisi dan media untuk bertanggung jawab atas retorika dan liputan mereka mengenai perang Hamas-Israel. Peserta yang hadir mendengarkan dengan ekspresi muram.
Retorika kebencian meningkat
Gubernur Illinois JB Pritzker melalui siaran pers menegaskan, ”Menghilangkan nyawa seorang anak berusia enam tahun atas nama kefanatikan adalah suatu kejahatan. Wadea harus berangkat sekolah pada Senin pagi. Sebaliknya, orangtuanya justru terbangun tanpa putra mereka. Ini bukan hanya pembunuhan, ini kejahatan rasial.”
”Setiap warga Illinois, termasuk mereka yang Muslim, Yahudi, dan Palestina, berhak hidup bebas dari ancaman kejahatan semacam itu,” tegas Pritzker.
Menyusul meletusnya perang Israel-Hamas di Jalur Gaza dan perbatasan Israel selatan, kelompok Yahudi dan Muslim melaporkan terjadi peningkatan retorika kebencian dalam beberapa hari terakhir. Kepolisian Negara Bagian Illinois berkomunikasi dengan penegak hukum federal dan menjangkau komunitas Muslim dan pemimpin agama untuk merespons meningkatnya ancaman.
Presiden Biden menegaskan, ”Tindakan kebencian yang mengerikan tidak memiliki tempat di AS. Tindakan ini bertentangan dengan nilai-nilai fundamental kita, bebas dari rasa takut atas cara kita berdoa, apa yang kita yakini, dan siapa kita.”
Jaksa Agung Merrick Garland menyatakan, Departemen Kehakiman AS akan membuka penyelidikan federal atas kejahatan kebencian dari serangan itu. ”Insiden ini meningkatkan ketakutan komunitas Muslim, Arab, dan Palestina di AS sehubungan dengan kekerasan yang dipicu kebencian,” ujar Garland dalam pernyataannya.
”Tak seorang pun di AS harus hidup dalam ketakutan akan kekerasan karena cara mereka beribadah atau dari dari mana mereka atau keluarganya berasal,” kata Garland.
Direktur FBI Chris Wray melalui telepon mengatakan, FBI bergerak cepat untuk mengurangi ancaman tersebut. Menurut FBI, para agen didorong untuk agresif dan proaktif berkomunikasi dengan para pemimpin berbasis agama. Tujuannya bukan untuk membuat siapa pun menjadi sasaran, melainkan untuk meminta para pemimpin agama dan pihak lain melaporkan kepada penegak hukum apa pun yang terlihat mencurigakan. (AP/REUTERS)