Indonesia Utamakan Kerja Sama Inklusif
Proyek-proyek di Indonesia yang terkait dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan adalah proyek nasional Indonesia yang dikerjasamakan dengan Pemerintah China. Indonesia terbuka untuk bekerja sama dengan siapa pun.
Beijing, Kompas - Indonesia terbuka untuk bekerja sama dengan siapa saja. Siapa pun bisa berinvestasi di Indonesia selama saling menguntungkan. Selama ini Indonesia menekankan inklusivitas dan sinergi dengan pihak mana pun tidak hanya pada urusan ekonomi, tetapi juga sampai ke urusan politik luar negeri.
Proyek-proyek kerja sama yang ada di dalam kerangka kerja sama Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) adalah salah satu bentuk dari kerja sama inklusif. Proyek-proyek itu adalah proyek nasional Indonesia yang disinergikan dengan China melalui BRI. Hal ini ditegaskan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ketika ditemui, Senin (16/10/2023), di Beijing, China.
”Jadi, sinergi kita dengan BRI itu hanya satu dari banyak sekali kerja sama dengan negara lain. Ini semua proyek nasional kita yang dikerjasamakan dengan BRI. Jangan sampai ada persepsi kita hanya mau bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu. Kita selalu inklusif dan ini salah satu karakter Indonesia,” kata Retno jelang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Inisiatif Sabuk dan Jalan di Beijing.
Presiden Joko Widodo dijadwalkan menghadiri perhelatan itu. Dalam keterangannya sebelum bertolak ke Beijing, Presiden mengatakan akan berada di Beijing hingga 18 Oktober. Setidaknya ada dua agenda selama di Beijing, yakni bertemu Presiden China Xi Jinping dan menghadiri KTT Ke-3 Sabuk dan Jalan untuk Kerja Sama Internasional atau Belt and Road Forum for International Cooperation.
Baca juga: Manfaat dan Risiko Indonesia Bergabung di BRICS
Di Beijing, Presiden Jokowi juga akan bertemu dengan PM Li Qiang dan Ketua Parlemen China Zhao Leji. ”Sejumlah isu prioritas akan kita bahas dengan RRT (China), antara lain peningkatan ekspor Indonesia, peningkatan investasi, serta pembangunan ketahanan pangan,” kata Presiden.
Selanjutnya, Presiden akan menggelar lawatan ke Riyadh, Arab Saudi. Di Riyadh, Presiden juga akan memimpin KTT ASEAN-Organisasi Kerja Sama Negara Teluk di Arab Saudi.
Dua koridor
Terkait BRI, lebih lanjut Retno menjelaskan, fokus kerja sama terbagi dalam dua koridor, yakni ekonomi dan non-ekonomi. Dalam koridor ekonomi terdapat empat proyek nasional yang dikerjasamakan dengan BRI, yakni Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara yang masih dalam proses negosiasi, Taman Herbal—nota kesepahaman sudah ditandatangani— lantas proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Kayan dan Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara, Kawasan Pariwisata Likupang di Sulawesi Utara yang tengah dinegosiasikan, serta Pusat Inovasi Asia Tenggara Xinhua di Bali.
Sementara itu, dua koridor non-ekonomi adalah Two Countries Twin Parks (TCTP) yang diarahkan untuk mempromosikan sinergi antara visi pembangunan prioritas kedua negara Poros Maritim Dunia dan BRI. Kedua adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang saat ini sudah beroperasi.
Di luar kerangka kerja sama sinergi BRI, Indonesia juga sudah menjalin banyak kerja sama dengan China dan negara-negara lain. Salah satu kerja sama di luar sinergi BRI yang sedang diupayakan Indonesia untuk disepakati pada pertemuan bisnis, Senin malam, adalah 17 dokumen kerja sama antara Kadin Indonesia China dan Kementerian Perdagangan China. Presiden dijadwalkan hadir dalam pertemuan tersebut.
Pada Forum BRI, sekitar 124 kepala negara dan kepala pemerintahan akan hadir. Setelah Xi membuka Forum BRI, akan ada tiga pertemuan paralel mengenai konektivitas, ekonomi digital, dan pembangunan hijau. ”Bapak Presiden diminta berbicara di pertemuan tentang konektivitas. Sedikit kepala negara dan kepala pemerintahan yang diminta berbicara di pembukaan,” kata Retno.
Sampai sejauh ini masih ada beberapa hal yang akan ditindaklanjuti dalam kaitan hubungan kerja sama bilateral karena pasar China yang besar. Masih banyak peluang yang akan Indonesia coba manfaatkan, terutama ekspor produk pertanian dan perikanan.
”Pada pertemuan nanti, akan ditandatangani Protokol Inspeksi Sanitasi dan Karantina untuk Produk Akuatik Indonesia. Ada juga protokol ekspor hewan laut Indonesia. Kita dari dasar fondasinya kerja sama antarpemerintah. Dengan adanya landasan itu, produk kita akan bisa masuk lebih banyak lagi ke China,” kata Retno.
Baca juga: China Janji Inisiatif Sabuk dan Jalan Jadi “Lebih Terbuka”
Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun menambahkan pondasi hubungan antarwarga Indonesia dan China juga melandasi dan bisa mendorong kerja sama pada sektor lainnya. “Kerja sama di bidang budaya dan pendidikan, misalnya. Di China sudah ada 21 pusat pembelajaran Bahasa Indonesia dan di Indonesia juga ada pusat pembelajaran Bahasa Mandarin. Pertukaran budaya seperti ini efektir untuk mendorong kerja sama bidang-bidang lain,” ujarnya.
Industrialisasi
Secara terpisah, Direktur Institute of International Affairs Renmin University of China Wang Yiwei mengatakan, tujuan BRI bukan hanya soal membangun infrastruktur, seperti jalan tol atau rel kereta cepat, melainkan industrialisasi. ”Yang kita tuju sebenarnya industrialisasi. Jalan satu-satunya untuk memajukan negara berkembang adalah memajukan industrinya. Untuk itu perlu infrastruktur kuat dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Inilah mengapa BRI tidak hanya melulu soal pembangunan infrastruktur keras, tetapi juga kerja sama untuk memajukan SDM,” katanya dalam jumpa pers Public Diplomacy Advisory Panel of Foreign Affairs of China di Jakarta.
Ia menolak anggapan yang sering muncul bahwa China menjebak negara-negara berkembang dalam jebakan utang (debt trap) melalui skema BRI. Menurut dia, pinjaman dari China itu dipakai untuk tujuan produktif sehingga negara berkembang lambat laun akan memetik manfaatnya meski butuh waktu cukup panjang.
”Semua proyek BRI melalui negosiasi mendalam antara Pemerintah China dan pemerintah negara berkembang. Tidak ada yang memaksa. Kalau dukungan dari China selalu dianggap sebagai debt trap, ini justru hinaan untuk negara-negara berkembang. Memangnya ratusan negara (penerima BRI) sebodoh itu sehingga mau masuk dalam jebakan China?” kata Menlu China Wang Yi.
Masa depan bersama
Setelah 10 tahun BRI berjalan, China ingin memperkuat kerja sama ekonomi dengan lebih banyak negara. Sampai sejauh ini sudah ada 150 negara, termasuk Indonesia, yang menandatangani perjanjian kerja sama dengan China berdasarkan kerangka kerja sama yang telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di negara-negara yang berpartisipasi. Berbagai proyek sudah berjalan dan jadi mulai dari kereta api, infrastruktur jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, sekolah, dan rumah sakit.
Evaluasi dan rencana masa depan kerangka kerja sama ini akan dibahas selama dua hari, 17-18 Oktober 2023, dalam Forum BRI di Bejing, China. Presiden Rusia Vladimir Putin dan perwakilan dari kelompok Taliban di Afghanistan dikabarkan akan hadir. Ini adalah forum ketiga, dua forum sebelumnya diadakan pada tahun 2017 dan 2019. Forum ini akan fokus pada sembilan forum tematik, termasuk tiga forum khusus untuk pejabat tinggi guna membahas interkonektivitas, pembangunan ramah lingkungan, dan ekonomi digital.
Baca juga: Satu Dekade “Sabuk dan Jalan” dalam Kerja Sama China-Indonesia
Ketertarikan komunitas internasional terhadap forum ini tidak sesuai dengan narasi umum Barat yang menyebut perlambatan ekonomi China sebagai alasan skeptisisme terhadap kemauan dan kemampuan negara tersebut untuk mencapai tujuan BRI. Ada juga kontroversi mengenai “perangkap utang” di negara-negara penerima.
Prospek serupa juga sedang diupayakan negara-negara besar lainnya. Contoh terbaru, Koridor Ekonomi India-Timur Tengah-Eropa – yang terdiri dari India, UEA, Arab Saudi, Uni Eropa, Perancis, Italia, Jerman, dan Amerika Serikat. China merilis buku putih, pada pekan lalu, yang memperkuat komitmen terhadap kerja sama internasional. BRI ini merupakan rencana infrastruktur global dan jaringan energi yang diluncurkan Xi pada 2013. Impian dari BRI adalah menghubungkan Asia dengan Afrika dan Eropa melalui jalur darat dan laut.
Editorial harian South China Morning Post, Senin (16/10/2023), menyebutkan Forum BRI akan menjadi kesempatan untuk merefleksikan masa depan dan 10 tahun yang diinvestasikan dalam perusahaan infrastruktur untuk membangun inisiatif perdagangan global yang berpusat pada China. Ratusan miliar dolar AS telah dibelanjakan di kawasan ini sejak 2013.
Presiden Rusia Vladimir Putin melihat BRI sebagai keinginan China untuk bekerja sama di arena global. Bagi Putin, keuntungan utama dari konsep kerja sama yang diusulkan China adalah kerangka kerja sama yang tidak bersifat memaksa apapun kepada siapapun. “Ada sebagian orang yang menganggapnya sebagai upaya China untuk menghancurkan negara lain. Tetapi kami tidak menganggapnya begitu. Kami hanya melihat ini sebagai keinginan untuk bekerja sama,” kata Putin ketika diwawancara dengan China Media Corporation, Minggu.
China hanya menawarkan peluang. Dalam pandangan Putin, ini yang membedakan BRI yang dicanangkan Presiden China Xi Jinping sejak 10 tahun lalu dengan proyek-proyek lain yang dilakukan oleh negara-negara yang bernuansa kolonialisme. Kantor berita Rusia, RIA, yang mengutip Putin mengatakan BRI ini sudah berkembang dengan baik dan tepat waktu. Rencananya, Putin akan menghadiri Forum BRI dan dia pun hadir dalam dua forum yang sama pada 2017 dan 2019.
Baca juga: Serba Mega dan Megah di China
Juru bicara kementerian perdagangan dan industri Taliban, Akhundzada Abdul Salam, mengatakan Menteri Perdagangan dan Industri Taliban Haji Nooruddin Azizi juga dikabarkan akan hadir dalam forum ini dan akan mengundang investor-investor untuk masuk ke Afghanistan karena Afghanistan memiliki kekayaan sumber daya mineral yang besar dan belum dimanfaatkan, mulai dari tembaga hingga emas dan litium yang bernilai antara 1-3 triliun dolar AS.
Pemerintah China sudah berbicara dengan Taliban tentang tambang tembaga besar di daerah Afghanistan timur. “Akan dibahas juga rencana pembangunan jalan melalui koridor Wakhan, jalur tipis pegunungan di Afghanistan utara untuk menyediakan akses langsung ke China,” ujarnya.
Pada Mei lalu, para pejabat dari China, Taliban, dan negara tetangganya, Pakistan, mengatakan mereka ingin BRI mencakup Afghanistan dan Koridor Ekonomi China-Pakistan diperluas hingga melintasi perbatasan ke Afghanistan. Taliban belum diakui secara resmi oleh pemerintah manapun sejak mengambil alih Afghanistan dua tahun lalu ketika Amerika Serikat dan pasukan asing lainnya mundur dari Afghanistan. China sudah meningkatkan hubungannya dengan Taliban dengan menjadi negara pertama yang menunjuk duta besar untuk Kabul sejak Taliban mengambil alih kekuasaan dan berinvestasi dalam proyek pertambangan.
Pinjaman
Studi dari Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston, AS, menyebutkan BRI telah menyalurkan pinjaman lebih dari 330 miliar dolar AS kepada pemerintah negara-negara berkembang hingga 2021. Ini jumlah pinjaman yang lebih besar dibandingkan Bank Dunia dalam beberapa tahun. “Pada tingkat tertentu, China telah menambahkan Bank Dunia ke negara berkembang, dan ini bukan prestasi kecil dan sangat dihargai negara-negara berkembang,” kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Pembangunan Global Kevin Gallagher.
Namun studi yang sama mencatat banyak penerima pinjaman China kini kesulitan melunasi utang mereka secara keseluruhan. Selain itu, pembangkit listrik yang didanai China mengeluarkan sekitar 245 juta ton karbon dioksida per tahun. Ini menambah emisi gas rumah kaca yang mengubah iklim. Laporan pemerintah China menyoroti proyek-proyek kereta api termasuk rute sepanjang 590 kilometer dari Nairobi ke pelabuhan Mombasa di Kenya dan pembukaan jalur kereta api sepanjang 1.035 kilometer pada 2021 dari kota Kunming ke ibukota Laos.
China mengisi kesenjangan ketika Bank Dunia dan pemberi pinjaman lain menarik diri dari proyek infrastruktur karena kritik terhadap dampaknya terhadap lingkungan dan menggusur komunitas lokal.
Baca juga: Dubes Lu Kang: Visi Pembangunan China 2035 untuk Kerja Sama Tanpa Syarat dan Inklusif
Karena kritik ini, China kini mengalihkan inisiatifnya ke fokus baru yang mencakup proyek-proyek yang kecil dan energi terbarukan. Ini termasuk pembangkit listrik tenaga surya dan angin, pabrik untuk membuat suku cadang dan baterai kendaraan listrik, dan tambang litium serta mineral lain yang diperlukan untuk kendaraan listrik.
“Tidak ada lagi proyek infrastruktur besar-besaran bernilai jutaan dolar. Yang ada, proyek-proyek lebih kecil,” kata Direktur Institut Asia di Griffith University di Australia, Christoph Nedopil.
Pinjaman pembangunan China telah merosot dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena China telah belajar dari krisis utang di banyak negara dan juga karena China memiliki lebih sedikit uang untuk dipinjamkan seiring dengan perlambatan perekonomiannya. Pejabat senior badan perencanaan utama China, Cong Liang, mengatakan China mematuhi prinsip utang berkelanjutan dan bekerja sama dengan negara-negara yang berutang menuju sistem investasi dan pembiayaan yang berkelanjutan dan terkendali risiko.
Dalam Buku Putih BRI disebutkan BRI melampaui perbedaan ideologi dan sistem sosial, menawarkan alternatif terhadap jalur globalisasi yang menurut China memperlebar kesenjangan antara negara kaya dan miskin. “Tidak dapat lagi diterima bahwa hanya sedikit negara yang mendominasi pembangunan ekonomi dunia, mengendalikan peraturan ekonomi, dan menikmati hasil pembangunan,” sebut Buku Putih BRI. (REUTERS/AP)