Sebagai bangsa yang punya catatan panjang ditindas bangsa lain, Israel seharusnya paling sadar dampak penyiksaan itu. Derita yang dulu dialami bangsa Yahudi seharusnya tidak perlu dialami bangsa lain.
Oleh
IWAN SANTOSA
·3 menit baca
Presiden Amerika Serikat Joe Biden menegaskan, perilaku Hamas tidak bisa dibalaskan kepada seluruh orang Palestina. Biden, seperti para Presiden AS sebelum dia, juga terus berusaha mendamaikan Israel-Palestina.
Di antara warga Israel-Palestina, juga ada upaya-upaya mendorong perdamaian. Para veteran militer Israel, IDF, membuat Breaking The Silence. Mereka mengampanyekan penghentian kekerasan dan pendudukan Israel terhadap Palestina. Sejumlah warga Yahudi dan Arab di Israel membuat Standing Together. Mereka fokus mengampanyekan semua orang bisa hidup berdampingan dengan damai.
Sayangnya, perang yang kembali pecah sejak 7 Oktober 2023 menunjukkan perdamaian Israel-Palestina amat sulit. Selain itu, semakin sedikit warga Palestina-Israel siap berdampingan.
Dalam jajak pendapat yang disiarkan Pew Research pada 2017, 40 persen orang Israel dan 61 persen orang Palestina mau berdampingan secara damai satu sama lain. Sementara dalam jajak pendapat yang disiarkan pada 25 September 2023, Pew Research menemukan hanya 32 persen warga Israel dan 41 persen yang mau berdampingan satu sama lain.
Korban jadi pelaku
Sebagai bangsa yang punya catatan panjang ditindas bangsa lain, Israel seharusnya paling sadar dampak penyiksaan itu. Derita yang dulu dialami bangsa Yahudi, kata Mate Gabor, seharusnya tidak perlu dialami bangsa lain.
Gabor merupakan penyintas pusat penyiksaan Yahudi di Auschwitz. Museum di sana, menyimpan sebagian kenangan upaya genosida terhadap Yahudi. Dunia menyebutnya sebagai holocaust.
Imbauan Gabor sudah lama diabaikan Yahudi yang selamat dari holocaust. Berselang tiga tahun sejak Auschwitz ditutup, orang-orang Yahudi melakukan yang mirip holocaust terhadap orang-orang non-Yahudi di Wilayah Mandat Palestina.
Milisi Israel menyerbu ratusan desa-desa berpenduduk non-Yahudi pada 1948. Harta dan lahan mereka dijarah, orangnya diusir. Persis seperti perilaku Nazi dan pendukungnya terhadap Yahudi di Eropa.
Penjarahan dan pengusiran itu dikenal sebagai Nakba dan diperingati setiap 15 Mei. Di beberapa negara Eropa dan Amerika, peringatan Nakba dilarang.
Pengusiran dan penjarahan tidak berhenti pada Mei 1948. Setiap hari sampai sekarang, lahan milik warga Palestina di Tepi Barat diambil Israel dengan berbagai cara. Meski ditentang AS dan berbagai negara, Israel terus membangun permukiman di Tepi Barat.
Upaya mengampanyekan penolakan atas perampasan lahan dan permukiman ilegal menghadapi tantangan. Gerakan untuk memboikot produk dari permukiman ilegal, dikenal sebagai BDS, dilarang di AS dan sejumlah negara Eropa.
Apartheid
Secara faktual, lebih dari separuh Tepi Barat kini dikuasai Israel. Dalam pidato di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada September 2023, Perdana Menteri Israel menunjukkan peta yang tidak lagi mencantumkan Gaza dan Tepi Barat. Secara tidak langsung, ia mau menyatakan tidak akan ada negara Palestina.
Memang, semakin sedikit Tepi Barat yang dibawahkan Otoritas Palestina. Dengan alasan mengamankan warga di permukiman, Israel membangun tembok di berbagai wilayah Tepi Barat. Tembok-tembok itu memisahkan berbagai permukiman Palestina di Tepi Barat.
Tembok itu hambatan lain perdamaian Israel-Palestina. Padahal, jika benar di sana daerah yang disebut sebagai "Tanah Yang Dijanjikan dan Terberkati", seharusnya kedamaian berada di sana. Perdamaian di sana harus terus diupayakan semua pihak, tanpa lelah, tanpa henti.