Hanya sebagian kecil karyawan Jepang -termasuk Gen Z- yang memanfaatkan seluruh jatah cuti tahunannya. Keengganan mereka mengambil cuti bermula dari etos kerja yang sudah lama ada.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Tak semua orang gegap gempita segera cuti jika sudah lelah bekerja dan butuh menyegarkan diri. Di Jepang, generasi Z malah banyak yang sungkan cuti. Bahkan, ada pekerja Jepang malah tertekan kalau cuti.
Temuan ini merupakan hasil studi terbaru dari Staff Service, perusahaan sumber daya manusia di Tokyo, Jepang. Dikutip South China Morning Post dalam laporan pada Kamis (12/10/2023), riset Staff Service pada Juli 2023 itu menemukan kurang dari 19 persen karyawan dari gen Z mau mengambil cuti dan tunjangan cuti.
Sementara di kalangan pekerja milenial atau berusia 28-42 tahun, hanya 18 persen yang mau cuti dan mengambil tunjangan cuti. Pekerja dengan usia lebih tua lebih enggan lagi cuti. Rata-rata karyawan hanya mengambil separuh dari hak cuti. Sebab, mereka sungkan mengajukan permohonan cuti.
Memang, ada gen Z yang tetap mau cuti. Mahasiswi yang bekerja paruh waktu di kedai kopi di Yokohama, Emi Izawa (21), menceritakan pengalamannya ketika berlibur ke Eropa pada awal 2023. Dia mengaku iri dengan para pekerja Eropa yang mampu menjalani kehidupan sosial yang memuaskan dan hidup seimbang antara bekerja dan menikmati hidup dengan berlibur.
”Saya ingin bisa sering bepergian, ikut klub dansa, dan bertemu teman-teman. Saya tidak mau bekerja di tempat yang menghabiskan waktu hidup saya,” ujarnya.
Ia merasa hal itu mungkin sulit dilakukan di Jepang saat ini. Apalagi, ketika kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja. ”Saya berharap segalanya berubah,” kata Emi.
Tradisi lama
Pelaku UKM di Tokyo, Ken Kato, mengatakan bahwa banyak kebiasaan kerja di Jepang yang mungkin tampak tidak biasa bagi orang luar. Salah satunya, gotong royong di tempat kerja.
Etos itu berakar pada tradisi lama. Dulu, hampir semua orang di Jepang adalah petani. Saat itu, semua orang membantu tetangganya menanam bibit padi di sawah dan mengumpulkan hasil panennya.
”Masyarakat selalu harus bekerja sama. Jika ada anggota masyarakat yang tidak membantu, mereka akan mengecewakan semua orang dan orang itu dianggap malas serta egois,” ucap Ken.
Kebiasaan itu, lanjut Ken, masih berlanjut hingga kini di sebagian besar perusahaan dan organisasi. Banyak orang enggan cuti penuh. Sebab, mereka merasa membebani rekan kerja dengan pekerjaan gara-gara ada yang cuti dan liburan. Selain itu, tidak cuti juga dipandang sebagai bentuk komitmen tinggi terhadap kepentingan masyarakat lebih luas atau perusahaan tempatnya bekerja.
Tambah beban
Tidak hanya enggan cuti, orang Jepang juga kerap menunda pensiun, seperti dilakukan Makoto Hosomura (73). Ia masih menikmati pekerjaan sebagai pedagang anggur impor kelas atas.
Selama ini, ia juga jarang cuti. ”Banyak sekali yang harus saya lakukan sepanjang waktu. Jika saya berlibur selama beberapa hari, akan menjadi tugas besar untuk mengejar ketinggalan lagi. Jika saya mengambil cuti, saya tidak bisa meminta rekan-rekan saya melakukan pekerjaan saya juga,” tuturnya.
Makoto juga susah cuti karena dia butuh waktu bertahun-tahun untuk menjalin hubungan kerja yang baik dengan para pelanggannya. Jika dia mengambil libur, jangan-jangan hubungan baik ini bisa rusak. Jika pun mengambil cuti, dia merasa tidak akan bisa juga bersantai karena pasti akan selalu memikirkan pekerjaan. ”Ini akan lebih membuat saya stres,” ujarnya.
Pemerintah Jepang tentu saja menyadari masalah itu. Salah satunya karena kematian akibat bekerja terlalu keras. Kematian itu dikenal sebagai karoshi.
Pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe mengumumkan rencana pembatasan jam lembur 45 jam per bulan dan batas 100 jam per bulan. Ini dilakukan setelah tercatat ada 2.159 kasus bunuh diri gara-gara kerja berlebihan pada tahun 2017.
Budaya karoshi kembali menjadi sorotan setelah pada Mei lalu ada kasus bunuh diri oleh Shingo Takashima (26), dokter di Kobe. Menurut lembaga penyiaran nasional Jepang, NHK, Shingo diduga bunuh diri karena berhubungan dengan pekerjaannya setelah dia diketahui kerja lembur selama 207 jam dalam waktu sebulan sebelum kematiannya. Dia tidak mengambil cuti selama tiga bulan.