Forum AIS Perkuat Solidaritas Hadapi Perubahan Iklim
Dihadapkan persoalan bersama, 32 negara anggota Forum Negara Kepulauan dan Pulau (AIS) memperkuat solidaritas serta kerja sama mengatasi dampak perubahan iklim.
BADUNG, KOMPAS — Sebanyak 32 negara menandatangani deklarasi Forum Negara-negara Kepulauan dan Pulau (Archipelagic and Island States/AIS) di Nusa Dua, Bali, Rabu (11/10/2023). Deklarasi berisi, antara lain, tekad meningkatkan solidaritas dan kerja sama menghadapi ancaman perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan air laut.
Mereka sepakat berkolaborasi dalam kerangka Forum AIS sesuai prinsip-prinsip kesetaraan, solidaritas, resolusi damai, serta penghormatan atas kedaulatan dan integritas teritorial.
”Laut adalah sumber kehidupan. Dan, juga bagi Indonesia, laut bukanlah pemisah, melainkan perekat dan penghubung. Melalui Forum AIS, Indonesia mengajak berkolaborasi dan bekerja sama di tengah dunia yang terbelah,” kata Presiden Joko Widodo saat temu media seusai pertemuan Forum AIS di Nusa Dua, Bali.
Presiden mengatakan, ancaman yang dihadapi negara-negara kepulauan dan pulau sangatlah nyata. ”Kenaikan permukaan air laut, pencemaran laut oleh sampah dan limbah, tidak hanya mengancam keberlangsungan yang ada di atas laut dan di darat, tetapi juga bisa mengancam kedaulatan dan kesatuan wilayah,” ujarnya.
Forum AIS dibentuk 1 November 2018 melalui adopsi Deklarasi Bersama Manado pada pertemuan tingkat menteri. Pembentukan forum itu diawali dalam diskusi pada Konferensi Samudra di New York tahun 2017, dilanjutkan Konferensi Forum AIS di Jakarta pada tahun yang sama. Saat ini Forum AIS beranggotakan 51 negara kepulauan dan pulau, termasuk Jepang dan Inggris.
Pada pertemuan dua hari di Bali, perwakilan negara dan pemerintahan yang hadir sadar, wilayah mereka paling rentan terdampak perubahan iklim. Di tengah persaingan negara-negara adidaya, yang mengecilkan dan bahkan meminggirkan kepentingan negara-negara kepulauan dan pulau, kelompok negara ini sepakat untuk menjalin kerja sama dan kolaborasi serta mendorong keadilan bagi rakyat penghuni wilayah tersebut.
Pertemuan Forum AIS, Rabu, menyepakati Deklarasi Solidaritas Negara-negara AIS. Selain menebalkan solidaritas, negara-negara anggota AIS juga menginginkan pembangunan ekonomi tetap berjalan meski menghadapi tantangan yang tidak mudah. ”Negara-negara kepulauan dan pulau, terlepas dari lokasi, ukuran, dan tingkat pembangunan, memiliki tantangan lingkungan dan pembangunan yang sama, tetapi berbeda-beda (tingkatannya), yang harus diselesaikan melalui upaya bersama dan kolaborasi nyata,” demikian antara lain isi deklarasi tersebut.
Baca juga : Hadapi Perubahan Iklim, Negara Kepulauan Berkolaborasi
Kerja sama empat bidang
Untuk itu, negara-negara anggota Forum AIS mendorong kerja sama pada empat bidang, yaitu mitigasi-adaptasi dan manajemen perubahan iklim; kerja sama pengelolaan dan pengembangan konsep ekonomi biru sebagai ekonomi laut yang berkelanjutan; perlindungan keanekaragaman hayati laut dan tata kelola maritim yang baik.
Ancaman kenaikan permukaan dan menghangatnya suhu air laut juga disampaikan oleh Fiji. Wakil Perdana Menteri Fiji Manoa Seru Nakausabaria Kamikamica, ditemui Kompas di sela-sela pertemuan bilateral, mengungkapkan, akibat kenaikan tinggi permukaan air laut, sebanyak 46 desa atau komunitas di Fiji terancam direlokasi. ”Perubahan iklim sangat nyata. Ini mengancam kelangsungan hidup kami,” katanya.
Selain itu, Fiji juga pernah menjadi korban siklon tropis WInston, yang memiliki intensitas kategori 5 pada tahun 2016. Fiji kini berhadapan dengan perubahan iklim yang berdampak luas pada kehidupan warganya.
Baca juga : Bumi Mendidih, Bencana di Mana-mana
Dikutip dari laman Pacific Community, identifikasi awal terhadap banyak desa atau komunitas di Fiji, lebih dari 600 desa atau komunitas di antaranya diidentifikasi sebagai lokasi yang rawan dampak bencana akibat perubahan iklim, termasuk kenaikan permukaan air laut. Dari jumlah tersebut, untuk sementara, 46 desa atau komunitas yang dinilai sebagai yang paling rentan. Sebanyak enam desa atau komunitas telah direlokasi lebih dulu.
Kamikamica juga mengonfirmasi data Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyebut 75 persen dari total sekitar 924.000 jiwa populasi Fiji terancam kehidupannya oleh situasi bumi yang berubah. ”Kami negara kepulauan. Warga sebagian besar tinggal di tepi pantai. Sangat mudah bagi rakyat Fiji terdampak oleh kenaikan permukaan air laut,” katanya.
Copernicus, program pengamatan Bumi oleh Program Luar Angkasa Uni Eropa, pekan lalu, merilis pernyataan bahwa tahun 2023 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat. Disebutkan, suhu global Januari-September lebih tinggi 1,4 derajat celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pra-industri (periode tahun 1850-1900).
Kenaikan suhu tahun ini sebesar 0,2 derajat celsius dibandingkan dengan tahun lalu. Rekor sebelumnya terjadi pada tahun 2016 dan 2020 ketika suhu rata-rata lebih tinggi 1,25 derajat celsius. Kenaikan suhu Bumi telah berpengaruh pada kenaikan permukaan air laut.
Baca juga : ASEAN-Pasifik- IORA Jalin Kerja Sama Kawasan
Mengacu laman Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) milik Pemerintah AS, pada 1900-1990, kenaikan permukaan laut global antara 4 inci dan 5 inci atau berkisar 10-12 sentimeter. Mulai kurun waktu 1990-2015, kenaikan permukaan air laut 3 inci atau 7,62 cm. Pada 2100, permukaan air laut diperkirakan akan naik satu kaki hingga delapan kaki atau berkisar 30,48-240 cm.
Menurut Administrator NOAA Rick Spinrad, peningkatan tinggi permukaan air laut tetap akan terjadi meski emisi karbon dikurangi secara drastis.
”Dunia terlalu lambat untuk bergerak. Sebagai negara kepulauan kecil, kami meminta kekuatan global untuk melakukan hal yang benar untuk bumi kita karena bumi ini juga untuk generasi yang akan datang,” kata Kamikamica.
Presiden Joko Widodo berjanji akan mendorong suara- suara negara kepulauan ke tingkat lebih tinggi. Dia menekankan kerja sama konkret dibutuhkan oleh negara-negara kepulauan dan pulau untuk tumbuh dan berkembang. ”Indonesia sebagai negara maritim berada di barisan terdepan mendukung negara kepulauan dan pulau,” janji Presiden.
Baca juga : Kaum Muda, Menggugatlah untuk Masa Depan Bumi
Ekonomi Biru
Dalam konferensi pers, Presiden juga menyebut konsep ekonomi biru yang didorong oleh Indonesia untuk diterapkan di negara-negara pulau dan kepulauan. Presiden meyakini potensi ekonomi biru sangat besar dan belum tergarap optimal.
”Potensi ekonomi biru sangat besar. Potensi ini perlu digali dan dimanfaatkan agar bisa menjadi pilar pertumbuhan dan pilar kesejahteraan rakyat. Laut adalah sumber kehidupan, berkelanjutan dan berkeadilan,” kata Presiden.
Baca juga : Sindrom ”Blue Economy”
Seperti dijelaskan PBB, Bank Dunia dan Komisi Eropa, ekonomi biru pada dasarnya adalah pemanfaatan sumber daya yang ada di laut dan samudra secara berkelanjutan (sustainable) untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas kehidupan sambil tetap menjaga kelestarian ekosistem dan habitat yang ada di bawahnya.
Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria sebelumnya mengatakan, potensi ekonomi dari lautan dan samudera yang sangat luas nantinya digabungkan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dia mencontohkan rumpon portable, yang sudah dikenal para nelayan budidaya ikan laut, yang kini mulai diperkenalkan pada para nelayan di Madagaskar. ”Mudah, murah dan bisa dibawa ke mana-mana,” katanya.
Di sela-sela KTT, Presiden mengadakan pertemuan bilateral dengan sejumlah pemimpin negara peserta. Ia, antara lain, menggelar pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Niue Dalton Emani Makamau Tagelagi, PM Tuvalu Kausea Natano, dan Presiden Federasi Mikronesia Wesley Simina.
Baca juga : Penguatan Kerja Sama Warnai Pertemuan Bilateral Jokowi di Sela-sela KTT AIS
Dalam pertemuan dengan PM Natano, Presiden Jokowi mendorong penguatan kerja sama sebagai satu keluarga Pasifik. ”Penguatan kerja sama merupakan hal yang penting sebagai satu keluarga Pasifik dalam menghadapi tantangan bersama,” ujar Presiden.