Indonesia Galang Solidaritas Negara-negara Kepulauan Hadapi Persoalan Global
Kenaikan permukaan laut, polusi laut, gangguan ekosistem laut mengancam negara kepulauan seperti Indonesia. Perlu solidaritas dan kerja sama untuk mengatasi masalah itu.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS— Indonesia menggalang solidaritas negara-negara kepulauan dalam menghadapi berbagai persoalan yang tengah dihadapinya. Upaya multilateral untuk mengatasi aneka persoalan negara kepulauan dinilai sangat lamban.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, dunia dalam situasi sulit dan muram. Persaingan, konflik global, dan ketidakpercayaan satu sama lain melengkapi krisis lain yang tengah dihadapi umat manusia.
Krisis itu adalah perubahan iklim, kenaikan permukaan laut, polusi laut, serta musnahnya keanekaragaman hayati laut. ”Ini adalah ancaman riil yang tengah dihadapi masyarakat global,” ujarnya dalam pembukaan pejabat tinggi anggota Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau (AIS Forum), Selasa (10/10/2023), di Badung, Bali.
Retno mengatakan, anggota AIS Forum akan menjadi korban awal krisis itu. Kehilangan sebagian wilayah karena kenaikan permukaan laut hingga kekurangan sumber pangan akibat gangguan ekosistem laut salah satu bentuknya.
Kenaikan permukaan laut terkait, antara lain, dengan kenaikan suhu permukaan Bumi. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Antonio Guterres, dalam KTT ASEAN di Jakarta pada September 2023, membahas soal kenaikan suhu itu. Ia menyebut Bumi sedang mendidih.
Copernicus, program pemantau Bumi oleh Badan Antariksa Eropa, dalam laporan Oktober 2023 menyebut tahun ini akan menjadi yang terpanas. Suhu Januari-September 2023 lebih tinggi 1,4 derajat celsius dari rata-rata suhu periode 1850-1900. Dibandingkan 2022, suhu Bumi tahun ini lebih tinggi 0,2 derajat celsius.
Suhu 2023 juga mengalahkan rekor yang tercatat pada 2016 dan 2020. Kala itu, suhu rata-rata Bumi lebih tinggi 1,25 derajat celsius.
Guterres menyebut, kenaikan permukaan laut sekarang lebih cepat dibandingkan 3.000 tahun lalu. Kenaikan itu mengancam 1 miliar orang di daerah pesisir. Dunia bisa mengalami eksodus massal. Konflik akibat perebutan air tawar bisa semakin sengit. Hal itu sudah terjadi di antara Mesir, Etiopia, dan Sudan.
Solusi kepulauan
Retno mengatakan, anggota AIS Forum dan negara-negara sejenis anggota AIS Forum perlu mencari solusi atas persoalan itu. Perlu dicari cara dan mekanisme kerja sama serta menggalang solidaritas inklusif untuk mengatasi masalah tersebut.
AIS Forum diharapkan menjadi mercusuar pemandu kebijakan masing-masing pemerintahan untuk mengembangkan kerja sama yang akan berdampak positif bagi keberadaan generasi baru penghuni bumi. Dalam forum itu, Indonesia menekankan dua hal, yakni memastikan solidaritas antarnegara AIS dan menjaga sinergi dengan inisiatif lain di level global.
”Kita harus terus memastikan hasil nyata di empat bidang utama, seperti mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ekonomi biru dan ekowisata, sampah plastik laut dan pesisir, serta tata kelola maritim yang baik,” kata Retno.
Retno juga mengingatkan bahwa dalam Sidang Majelis Umum PBB September lalu, dunia telah diingatkan bahwa capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) masih sangat memprihatinkan. Perkembangan capaian rata-rata hanya 12 persen.
Kerja sama sesama AIS diharapkan bisa menuntaskan salah satu target SDGs. Target itu adalah melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudra.
Kerja sama
Pada hari pertama AIS Forum, ditandatangani sejumlah dokumen kerja sama. Dokumen itu antara lain Peta Jalan Dekarbonisasi Sektor Pariwisata, letter of intent Kerja sama Taman Laut Alamiah antara Indonesia dan Timor Leste, kerja sama penelitian antara Institut Pertanian Bogor dan Universitas Padjadjaran dengan Universitas Malta-Universitas Toliara Madagaskar, serta Program Strategis bersama antara AIS Forum dan Melanesian Sparehead Group (MSG).
Rektor IPB Arif Satria mengatakan, yang dilakukan beberapa dosen dan staf pengajarnya adalah memperkenalkan dan meningkatkan kemampuan nelayan, termasuk di dalamnya anggota keluarganya, teknologi perikanan tangkap yang sederhana tetapi bisa bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan.
”Kami memperkenalkan fishing aggregative device (FAD), yaitu rumpon, bagi sejumlah nelayan di Madagaskar. Alat ini tidak merusak sumber daya perikanan sekaligus menjadi praktik perikanan berkelanjutan,”katanya.
Ia menambahkan, negara-negara kepulauan sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada lingkungan tempat tinggal mereka dan tempat mereka mencari penghidupan. Untuk itu, Indonesia, menurut Arif, mendorong penggunaan teknologi kelautan yang ramah lingkungan sekaligus juga memiliki dampak ikutan yang penting, terutama agar kemampuan mereka mengolah laut, tidak ikut surut.
Jodi Mahardi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi mengatakan, selain Blue Economy, dalam pertemuan tersebut sejumlah negara juga menginisiasi isu lain. Peserta rapat antara lain membahas kedaulatan pangan, ketenagakerjaan di laut, logistik, dan keterhubungan antarpulau.