Rusia Ancam Cabut Ratifikasi Larangan Uji Senjata Nuklir
Komentar-komentar dari Putin dan pejabat Kremlin dinilai sebagai indikasi Rusia sedang serius mempertimbangkan pencabutan ratifikasi perjanjian yang melarang ledakan nuklir oleh siapa pun dan di mana pun.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
VIENNA, SABTU – Rusia disinyalir akan mundur dari traktat larangan uji coba nuklir. Niat itu diungkapkan oleh Mikhail Ulyanov, utusan Rusia untuk Organisasi Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBTO), pada Jumat (6/10/2023) di Vienna, Austria. Pernyataan disampaikan Ulyanov melalui platform media sosial X.
”#Rusia berencana untuk mencabut ratifikasi (yang terjadi pada tahun 2000) dari Perjanjian Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif,” tulisnya melalui media sosial yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter itu. ”Tujuannya adalah untuk sejajar dengan #AS yang menandatangani perjanjian tersebut, tetapi tidak meratifikasinya. Pencabutan tidak berarti niat untuk melanjutkan uji coba nuklir.”
Langkah itu dinilai sejumlah pihak, terutama Washington, akan membahayakan ”tatanan global” terkait uji coba nuklir. Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT) telah ditandatangani oleh 187 negara dan diratifikasi oleh 178 negara, tetapi tidak dapat berlaku sampai delapan negara tertentu telah menandatangani dan meratifikasinya. China, Mesir, Iran, dan Israel telah menandatangani, tetapi belum meratifikasinya. Korea Utara, India, dan Pakistan belum menandatangani. Sementara itu, Amerika Serikat telah menandatangani perjanjian tersebut, tetapi tidak meratifikasinya.
AS telah menerapkan moratorium uji coba senjata nuklir sejak tahun 1992 dan AS tidak berencana untuk membatalkannya. ”Kami merasa terganggu dengan pernyataan Duta Besar Ulyanov di Vienna hari ini,” kata Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan. ”Langkah seperti ini yang dilakukan oleh negara pihak mana pun tidak perlu membahayakan norma global yang menentang uji coba bahan peledak nuklir.”
AS menegaskan agar Rusia tidak menggunakan retorika seperti itu termasuk menggunakan isu kontrol senjata untuk menekan negara lain. Washington tampaknya melihat, retorika Moskwa itu merupakan bagian dari upaya Rusia menghentikan negara-negara lain, termasuk AS, mengirim bantuan untuk Ukraina. ”Akan sangat memprihatinkan dan sangat disayangkan jika ada negara penanda tangan yang mempertimbangkan kembali ratifikasi CTBT,” kata Robert Floyd, Direktur Eksekutif CTBTO, yang memantau kepatuhan terhadap pakta tersebut.
Floyd mengatakan, sejak berdirinya CTBTO, Federasi Rusia secara konsisten telah menegaskan dukungan kuatnya. Rusia membantu merundingkan traktat itu dalam Konferensi tentang Perlucutan Senjata, lalu menandatangani pada hari pembukaan 24 September 1996. Rusia meratifikasi CTBT pada Juni 2000.
Pernyataan Ulyanov keluar setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa Moskwa dapat mempertimbangkan mencabut ratifikasi CTBT. Pada Kamis (5/10/2023), Putin membuka kemungkinan uji senjata nuklir. Pernyataan ini diikuti sejumlah pernyataan dari Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov dan legislator terkemuka Rusia, Vyacheslav Volodin, pada Jumat (6/10/2023).
Doktrin nuklir
Putin mengatakan bahwa doktrin nuklir Rusia tidak perlu diperbarui. Doktrin Rusia ini mengacu pada sejumlah aturan dan kondisi yang harus dipenuhi untuk Presiden Rusia menekan tombol nuklir. Namun, Putin tidak menjelaskan apakah Moskwa butuh uji coba senjata nuklir. ”Biasanya, kata para ahli, senjata baru perlu dipastikan bahwa hulu ledak spesial akan berfungsi tanpa kegagalan,” ujarnya.
Terkait hal itu, Kepala Kremlin mengatakan, Rusia dapat mempertimbangkan pencabutan ratifikasi CTBT karena AS juga belum meratifikasi meskipun negara itu sudah menandatangani.
Tujuan pencabutan ratifikasi itu adalah untuk mencapai posisi yang sama antara Rusia dan AS dalam konteks CTBT. ”Bukan berarti merupakan pernyataan niat untuk melakukan uji coba nuklir,” kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov.
Komentar-komentar dari Putin dan Volodin ini dinilai sebagai indikasi Rusia sedang serius mempertimbangkan pencabutan ratifikasi.
Legislator terkemuka Rusia, Vyacheslav Volodin, kemudian mengatakan bahwa Parlemen Rusia (State’s Duma) dapat segera mempertimbangkan jika memang ada kebutuhan mencabut ratifikasi Rusia terhadap traktat tersebut.
Komentar-komentar dari Putin dan Volodin ini dinilai sebagai indikasi Rusia sedang serius mempertimbangkan pencabutan ratifikasi perjanjian yang melarang ledakan nuklir oleh siapa pun dan di mana pun tersebut.
Saat ini, Rusia memiliki 5.889 hulu ledak nuklir, AS 5.244 hulu ledak, China 410 hulu ledak, Perancis 290, dan Inggris 225 hulu ledak.
Sejak berdirinya CTBTO, Federasi Rusia secara konsisten telah menegaskan dukungan kuatnya. Rusia membantu merundingkan traktat, lalu menandatangani pada hari pembukaan 24 September 1996.
Serangan terbaru
Pernyataan-pernyataan soal uji coba senjata nuklir itu dibuat di tengah serangan Rusia ke Ukraina. Pada Kamis (5/10/2023), serangan misil Rusia menghancurkan sebuah kafe yang padat pengunjung sipil di Desa Hroza, di timur laut Ukraina. Sehari kemudian, jumlah korban tewas akibat serangan ini meningkat menjadi 52 orang.
Selanjutnya, Rusia kembali menyerang Kharkiv yang menewaskan setidaknya satu bocah 10 tahun dan neneknya pada Jumat. Kedua korban itu tengah tidur di rumah saat serangan terjadi. Serangan peluru kendali pada hari itu juga merusak fasilitas gudang biji-bijian dan pelabuhan di wilayah Odesa di bagian selatan Ukraina.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam serangan peluru kendali tersebut. Serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil dilarang oleh hukum humaniter internasional.
Dmitry Peskov mengatakan, Rusia menyerang infrastruktur militer, konsentrasi pasukan, dan kepemimpinan militer, tetapi tidak menyerang target sipil. Namun, serangan itu mengenai wilayah hunian serta fasilitas energi, pertahanan, pelabuhan, dan gudang sehingga banyak warga sipil tewas. (REUTERS/AP/AFP)