Dalam 30 tahun mendatang, dikhawatirkan 113 juta anak terpaksa mengungsi akibat bencana yang dipicu perubahan iklim.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·6 menit baca
Setiap hari pada 2016-2021, rata-rata 20.000 anak terpaksa mengungsi karena bencana. Mereka terdampak banjir dan badai yang semakin kerap melanda berbagai negara. Banyak pula harus mengungsi karena kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan yang semakin sering terjadi.
Secara keseluruhan dalam tiga dekade mendatang, 1,2 miliar manusia terpaksa menjadi pengungsi karena terdampak bencana. Indonesia bersama sejumlah negara lain termasuk paling rentan terdampak bencana yang dipicu perubahan iklim. Bumi mendidih, manusia dan aneka makhluk penghuni planet ini semakin merana.
Menurut Unicef, 43 juta anak harus mengungsi akibat bencana pada periode 2016-2021. Mayoritas karena banjir dan badai.
Otoritas Hong Kong memutuskan menutup hampir seluruh sekolah pada Senin (9/10/2023) pagi. Keputusan diambil karena topan Koinu mendatangkan hujan deras, angin kencang, dan banjir di wilayah swatantra China itu. Topan Koinu menerjang sebulan setelah Hong Kong dilanda topan Haikui.
Sebelum Haikui dan Koinu, Hong Kong juga diterjang badai lain. Bencana semakin kerap melanda Hong Kong dan berbagai wilayah lain di Bumi.
Saat bencana terjadi, anak-anak ikut menjadi korban. Saat Koinu melanda, memang anak-anak Hong Kong tidak harus mengungsi. Berbeda dengan 73 persen anak di Dominika dan 31 persen anak di Kuba yang harus mengungsi karena badai pada 2016-2021.
Porsi pengungsi anak akibat bencana diungkap dalam laporan Dana Perserikatan Bangsa-bangsa untuk anak-anak (Unicef) dalam laporan pada 6 Oktober 2023. Menurut Unicef, 43 juta anak harus mengungsi akibat bencana pada periode 2016-2021. Mayoritas karena banjir dan badai. Selain itu ada kebakaran lahan hingga kekeringan parah.
Jadi pengungsi karena banjir antara lain dialami Khalid Abdul Azim, pelajar SMP Wad Al-Shafie di Sudan. Selama berbulan-bulan, ia mengungsi karena desanya kebanjiran. "Kami hanya bisa memakai perahu kalau mau melihat desa. Banyak rumah rusak, termasuk milik kami," ujarnya.
Selain dia, total ada 140.000 pelajar terdampak banjir beberapa bulan lalu itu. Meski air sudah surut, dampaknya masih terus ada. Tahun ajaran baru tertunda. Dari seharusnya Juni menjadi Oktober 2023. "Saya senang bisa sekolah lagi, walau banyak sekali pelajaran tertinggal," kata dia.
Dalam laporan itu, 11 persen anak di Somalia dan 12 persen anak di Sudan Selatan terpaksa mengungsi karena banjir. Sebagian mengungsi sebelum bencana melanda. Sebagian lagi mengungsi saat desa mulai tergenang.
Kekeringan parah
Somalia bukan hanya diterjang banjir. Sebagian wilayah negara itu sudah lama dilanda kekeringan. Akibatnya, kampung halaman Shukri Mohamed Ibrahim (10) berubah dari ladang dan perkebunan menjadi hamparan lahan tandus.
Bersama keluarganya, lima bulan lalu Ibrahim akhirnya mengungsi di Mogadishu, ibu kota Somalia. Di Mogadishu, untuk pertama kalinya ia sekolah.
Di ibu kota, kehidupan Ibrahim dan keluarganya tidak lebih baik. Tempat penampungan pengungsian tidak menyediakan tempat tinggal dan sanitasi layak. Makanan pun langka.
Ia, menurut Unicef, salah satu dari 1,3 juta anak yang terpaksa mengungsi karena kekeringan. Anak-anak itu tersebar di 15 negara, dengan Somalia, Etiopia, dan Afghanistan mencatatkan jumlah terbanyak. Ibrahim salah satu dari 730.000 anak Somalia yang harus mengungsi karena kekeringan parah melanda kampung halamannya.
Ibrahim dan Azim sebagian dari jutaan anak yang terpaksa mengungsi karena bencana yang dipicu perubahan iklim. Bencana di Karibia memaksa mayoritas anak di sebagian negara menjadi pengungsi. Hingga 73 persen anak di Dominika dan 31 persen anak di Kuba harus mengungsi karena badai pada 2016-2021.
Jika menghitung jumlah total, maka India, China, dan Filipina menjadi lokasi pengungsi anak paling banyak. Total 23 juta anak mengungsi karena bencana di tiga negara itu pada 2016-2021. Dengan jumlah penduduk yang besar, negara-negara itu memiliki sistem evakuasi yang bagus. Itu memudahkan negara-negara itu merekam data.
Sementara menurut berbagai kajian lain, kondisi geografisnya membuat Indonesia termasuk negara rawan. Penduduk di pesisir terancam kehilangan tempat tinggal dan tempat kerja karena permukaan air laut naik. Sementara warga yang jauh dari pesisir terancam oleh banjir dan kebakaran lahan.
Banjir, menurut Unicef, adalah penyebab utama jutaan anak mengungsi. Sementara kebakaran lahan memaksa anak-anak di Asia, Australia, Eropa, dan Amerika mengungsi. Di Uni Eropa dan Amerika Serikat, kebakaran lahan berulang kali terjadi. Akibatnya, anak-anak bersama orangtua mereka terpaksa mengungsi.
Semakin banyak
Unicef khawatir, jumlah pengungsi anak akan semakin bertambah. Dalam 30 tahun mendatang, dikhawatirkan 113 juta anak terpaksa mengungsi akibat bencana yang dipicu perubahan iklim.
Tahun ini saja, perubahan iklim memicu terjadinya hujan lebat di wilayah Sikkim, India pada Kamis (5/10/2023). Kombinasi curah hujan lebat dan meluapnya danau glasial Lhonak yang ada di pegunungan Himalaya menyebabkan banjir bandang terjadi. Data awal menyebutkan ratusan orang hilang dan puluhan orang tewas.
Lalu pada Juli 2023, curah hujan tinggi di India Selatan membuat sungai Yamuna meluap. Jalanan di kota New Delhi terendam air dan belasan ribu orang mengungsi.
Selanjutnya dalam laporan pada 18 Mei 2023, The Hindu Time mengutip Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC), lembaga non-profit yang berbasis di Geneva. Bencana alam, utamanya banjir bandang dan badai siklon, memaksa 2,5 juta orang mengungsi di sepanjang 2022 di seluruh India. Total di wilayah Asia Selatan, yaitu di India, Pakistan, dan Bangladesh sebanyak 12,5 juta orang mengungsi di 2022.
Tidak membedakan
Spesialis migran di Unicef, Laura Healy, mengatakan, seringnya data penelusuran pengungsi karena iklim yang ekstrem tidak membedakan pengungsi anak-anak dan orang dewasa. Padahal dari semua peristiwa bencana alam yang makin intensif yang dipicu perubahan iklim, anak-anak adalah pihak yang paling rentan karena pengungsian itu.
Banyak dari anak-anak itu yang mengalami “krisis yang tumpang tindih” yang diakibatkan oleh iklim yang ekstrem dan diperburuk dengan adanya konflik, institusi yang lemah, juga kemiskinan. Bahkan meninggalkan rumah untuk mengungsi, juga membuat anak menghadapi risiko ekstra. “Kenyataannya akan semakin banyak anak-anak yang terdampak di masa depan, seiring semakin intensifnya dampak perubahan iklim,” jelas Healy.
Seperti yang dialami Garima Kumar. Gubuk keluarga gadis cilik berusia 10 tahun yang terletak di pinggiran kota New Delhi itu tersapu luapan air sungai Yamuna pada Juli lalu. Banjir menghanyutkan rumah dan semua isinya termasuk seragam sekolah dan buku-buku pelajaran Kumar. Ia tidak bisa ke sekolah sebulan.
“Teman-teman di sekolah mengolok-olok saya karena rumah hanyut saat banjir, karena saya tidak punya rumah permanen,” kata Kumar.
Unicef, lanjut Healy, bekerja sama dengan IDMC untuk memetakan di wilayah mana anak-anak yang paling terdampak. Hal itu karena semakin parahnya bencana, ternyata dunia belum mencermati pengungsi iklim dan menemukan cara untuk melindungi mereka.
Di masa depan, menurut laporan Unicef, Vietnam bersama dengan India dan Bangladesh akan menjadi negara dengan banyak anak yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Untuk menghadapi bencana dengan lebih baik, Unicef meminta para pembuat kebijakan dan sektor swasta untuk memastikan perencanaan energi dan iklim juga memperhitungkan risiko terhadap anak-anak dengan adanya iklim ekstrem. (AP/REUTERS)