Reformis Iran, Narges Mohammadi, Raih Penghargaan Nobel Perdamaian 2023
Negara melindungi perempuan bukan berarti menghalangi kiprah perempuan dan mengatur ketubuhannya, melainkan memastikan terpenuhinya segala akses dan kesetaraan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
OSLO, JUMAT Perempuan pegiat hak asasi manusia dari Iran, Narges Safie Mohammadi (51), menjadi penerima anugerah Nobel Perdamaian 2023. Mohammadi yang saat ini masih dikurung di Penjara Evin di Teheran, Iran memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan kaum perempuan. Perjuangan ini juga melebar ke pemenuhan hak asasi manusia untuk masyarakat Iran secara keseluruhan.
Pengumuman Nobel Perdamaian, yang ditayangkan secara langsung melalui kanal resmi - Youtube - Penghargaan Nobel disampaikan oleh Ketua Komite Nobel Norwegia, Berit Reiss-Andersen di Oslo, Jumat (6/10/2023) pagi waktu setempat atau sore waktu Indonesia. ”Mohamamdi telah 13 kali ditangkap dan lima kali divonis. Ia masih menjalani hukuman penjara selama 31 tahun dan hukuman cambuk 144 kali,” paparnya.
Reiss-Andersen menjelaskan alasan Mohammadi menjadi pemenang tahun ini ialah perjuangannya untuk kesetaraan kaum permepuan Iran sejatinya merupakan perjuangan penegakan hak-hak asasi manusia untuk masyarakat negara tersebut secara keseluruhan. Moto “Perempuan, Hidup. Kemerdekaan.” adalah jeritan nurani rakyat yang menginginkan kehidupan yang menghormati hak-hak mereka.
Sebelum menerima Hadiah Nobel, merujuk media Amerika Serikat, PBS edisi 10 Mei 2012, Mohammadi juga pernah menerima penghargaan Alexander Langer di tahun 2009 dan Penghargaan Per Anger di tahun 2011. Ia memulai kariernya sebagai pegiat kesetaraan hak di majalah Payaam-e Haajar yang didirikan oleh Azam Alaei Taleghani, putri dari Ayatollah Seyyed Mahmoud Alei Taleghani (1911-1979), mantan pemimpin Iran yang progresif.
Majalah yang kritis memperjuangkan pemberdayaan perempuan itu dibredel oleh pemerintah Iran pada tahun 2000. Sejak itu, Mohammadi masuk ke organisasi Pusat Pembela Hak Asasi Manusia Iran (DRHC) yang didirikan oleh Pemenang Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi.
Mahsa Amini
Pemberian penghargaan terhadap Mohammadi ini tidak lepas dari peringatan satu tahun tragedi kematian Mahsa Amini, seorang perempuan beretnis Kurdi yang meninggal pada tahun September 2022. Dugaan paling kuat adalah Amini yang ditangkap oleh polisi moral karena tidak berjilbab sesuai aturan ini meninggal akibat terluka parah. Ia diduga dianiaya selama masa penahanan. Pemerintah Iran terus menyangkal tuduhan tersebut.
Kematian Amini mengakibatkan unjuk rasa terbesar yang dialami Iran sejak Revolusi 1979. Tercatat, 500 orang tewas dan 20.000 orang ditangkap. Menurut Reiss-Andersen, banyak jatuh korban luka yang mengalami kebutaan akibat serangan peluru karet dan gas air mata aparat penegak hukum Iran.
“Dari dalam penjara, Mohammadi yang ditahan sejak tahun 2015 ini mengoordinasi aksi solidaritas mendukung unjuk rasa tersebut. Ia mengumandangkan perlawanan terhadap diskriminasi tersistem,” tutur Reiss-Andersen.
Mohammadi mendukung agar perempuan bisa merdeka dan bermartabat. Ia mendukung agar setiap warga Iran memiliki hak untuk mengemukakan pendapat dan berkarya dengan merdeka.
Gara-gara aksi tersebut, Mohammadi dihukum tidak boleh berkontak langsung maupun menerima telepon dari luar. Akan tetapi, ia berhasil menyelundupkan artikel yang diterbitkan oleh surat kabar New York Times edisi 2 Juni 2023 dengan judul She Lost Her Career, Family and Freedom. She’s Still Fighting to Change Iran (Dia Kehilangan Karier, Keluarga, dan Kebebasan. Dia Masih Berjuang Mengubah Iran).
Perjuangan ini, lanjut Reiss-Andersen, berisiko diganjar hukuman penjara, penganiayaan, bahkan kematian.
Pasangan reformis
Mohammadi menikah dengan Taghi Rahmani (63), seorang wartawan dan intelektual reformis. Mereka dikaruniai sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan, yaitu Ali dan Kiana. Rahmani sendiri secara keseluruhan mengalami hukuman penjara selama 14 tahun. Pada 2012, ia terpaksa melarikan diri ke Perancis dengan kedua anaknya guna menghindari persekusi. Akan tetapi, Mohamamdi menolak ikut dengan suaminya. Ia memilih tinggal di tanah air dan berjuang.
“Tentu saja saya dan anak-anak mengkhawatirkan Narges. Apalagi, ia punya masalah kesehatan. Seluruh keluarga di Iran terus memantau kondisinya di penjara. Di pengasingan, saya juga terus mengusahakan pembebasannya,” kata Rahmani kepada Guardian edisi 26 April 2012 setelah Mohammadi ditangkap oleh polisi Iran pada 2011.
Mohammadi dibebaskan bersyarat pada 2013. Setelah keluar, semangatnya tidak surut. Perjuangannya ditambah dengan menyerukan reformasi hukum, terutama penghapusan hukuman mati. Ini karena sejumlah tahanan yang dieksekusi oleh Iran masih ada yang berusia remaja. Akibatnya, pada 2015, Mohammadi kembali dipenjara hingga kini.
Muhammad Sahimi, Guru Besar Teknik Kimia dan Ilmu Material Universitas California Selatan menulis profil Mohammadi yang terbit di media Amerika Serikat, PBS edisi 10 Mei 2012. Ia berargumen bahwa walaupun perjuangan Mohammadi menyasar kesetaraan jender, sesungguhnya ini demi kemajuan Iran sendiri.
“Negara mana yang bisa maju dan makmur dengan mumpuni jika perempuan dipersekusi karena tidak berjilbab? Perempuan Iran sejak 150 tahun sebelum Revolusi 1979 telah berjuang dan berkiprah aktif di masyarakat dalam pemberdayaan publik. Revolusi yang katanya memajukan rakyat ternyata malah mengesampingkan perempuan,” tulis Sahimi.