Siswa Jepang Bolos Sekolah karena Lesu dan Cemas Dirundung
Semakin banyak anak sekolah di Jepang yang membolos sekolah. Mereka tertekan akibat banyaknya kegiatan sekolah dan khawatir soal perundungan.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Jumlah siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Jepang yang membolos selama 30 hari atau lebih mencapai rekor tertinggi, yakni 299.048 siswa, pada tahun ajaran 2022. Jumlah ini bertambah 54.108 siswa atau 22,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penyebabnya, mereka merasa lesu dan lelah karena tekanan akademis serta cemas akan mengalami perundungan.
Ada 681.948 kasus perundungan yang terjadi di tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah berkebutuhan khusus. Jumlahnya meningkat 10,8 persen pada tahun ini. Namun, jumlah kasus perundungan yang sebenarnya dikhawatirkan lebih tinggi karena biasanya tidak dilaporkan.
Hasil studi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Jepang tersebut dirilis pada Selasa (3/10/2023) serta dipublikasikan harian Mainichi dan NHK, Rabu (4/10/2023). Studi ini tentang perilaku bermasalah dan pembolosan di sekolah negeri dan swasta di seluruh Jepang mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga sekolah berkebutuhan khusus. Data diambil dari awal tahun hingga 1 April 2023.
Jumlah siswa yang membolos naik terus selama 10 tahun berturut-turut. Beberapa tahun terakhir bahkan jumlahnya melonjak dengan peningkatan lebih dari 100.000 selama dua tahun sejak 2020. Jumlah ini naik lebih dari 22 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan mewakili 3,2 persen dari total jumlah siswa pada kelompok usia itu.
Dari siswa SD dan SMP yang dianggap membolos, sebanyak 114.217 orang atau 38,2 persen tidak mendapatkan penyuluhan atau bimbingan di dalam atau di luar sekolah.
Dengan menggunakan perangkat digital atau cara lain, sebanyak 10.409 siswa bersekolah di rumah dan dicatat sebagai kehadiran. Ini menjadi dasar pembuatan rapor dan laporan sekolah. Selain siswa SD dan SMP, di SMA juga ada 60.575 siswa yang membolos, naik 18,8 persen dari tahun ajaran sebelumnya.
Pemerintah meyakini pandemi Covid-19 telah mengubah lingkungan sekolah dan mengganggu ritme proses pembelajaran harian. Hampir 52 persen siswa yang menjawab kuesioner menyatakan tidak ingin pergi ke sekolah karena merasa cemas dan lesu. Alasan utama lainnya mencakup terganggunya ritme harian siswa, hilangnya persahabatan, dan keinginan untuk lebih bebas bermain.
Laporan itu juga mengidentifikasi peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kasus-kasus intimidasi, termasuk di SMA di seluruh Jepang. Ada 681.948 kasus penindasan atau perundungan yang terkonfirmasi. Jumlah ini naik 10,8 persen dibandingkan dengan tahun lalu, tetapi angka itu bukan angka akurat karena diyakini banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Guru Besar Sosiologi Budaya di Universitas Chuo dan anggota Kelompok Studi Pemuda Jepang, Izumi Tsuji, merasa terkejut dengan banyaknya kasus bolos sekolah dan perundungan ini. Dia mengakui dampak pandemi yang berkepanjangan pada proses pembelajaran anak.
Akan tetapi, jauh sebelum pandemi sebenarnya sekolah-sekolah di Jepang sudah menghadapi masalah besar, yakni sekolah tidak lagi menjadi lingkungan yang baik bagi anak-anak. Contohnya, siswa SMP dituntut untuk melakukan banyak hal. Mereka harus mengikuti semua kelas dan ada kegiatan ekstrakurikuler sepulang sekolah, lalu masih ada lagi kegiatan klub.
Melihat anak-anak seusia ini sudah berada di bawah tekanan dan menunjukkan tanda-tanda stres sungguh mengkhawatirkan.
Di luar itu, mereka harus menjalani ujian rutin dan masih harus mengikuti kegiatan sukarela. Namanya saja sukarela, tetapi menjadi setengah wajib karena jika ikut dalam kegiatan seperti itu, peluangnya besar untuk masuk SMA yang bagus.
”Anak-anak hanya bosan bersekolah karena sibuk terus. Melihat anak-anak seusia ini sudah berada di bawah tekanan dan menunjukkan tanda-tanda stres sungguh mengkhawatirkan. Stres itu sering kali diwujudkan dalam bentuk penindasan atau perundungan,” kata Tsuji.
Kasus perundungan kerap kali bermula dari siswa yang merasakan tekanan terlalu tinggi, lalu melampiaskannya pada siswa lain. Kasus perundungan yang serius menyebabkan siswa menderita kerusakan fisik atau mental yang parah dan kemudian absen dalam waktu lama. Kasus serius ini mencapai 923 kasus, naik 30,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Bentuk perundungan yang paling sering terjadi adalah ejekan, fitnah, ancaman, dan menjadi korban kata-kata kasar (57,4 persen); ditabrak, dipukul, atau ditendang ringan sambil berpura-pura bercanda (23,4 persen); dikucilkan atau disingkirkan (23,4 persen); serta diabaikan dalam kelompok-kelompok besar (11,7 persen).
Bagian yang mengkhawatirkan adalah sekolah bahkan tidak menyadari terjadi perundungan. Mereka baru sadar ketika terjadi perundungan yang serius. Kementerian menyatakan ada masalah pada pengakuan sekolah terhadap perundungan dan respons sekolah.
Jika berbagai persoalan anak dan sekolah ini tidak segera ditangani, dikhawatirkan kasus bunuh diri di antara anak dan siswa bertambah. Dari catatan pemerintah, sebanyak 21.881 orang bunuh diri pada 2022, naik 874 kasus dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, 14.746 di antaranya laki-laki, 7.135 perempuan, dan 1.063 siswa.