Laut Tengah (Tetap) Menjadi Kuburan Pengungsi
Lebih dari 2.500 pengungsi tewas di Laut Tengah saat berusaha menyeberang dari Afrika ke Eropa. Sepanjang tahun ini UNHCR mencatat 192.269 imigran asal Afrika dan Timur Tengah memasuki Eropa.
Laut Tengah masih menjadi momok menakutkan bagi para pengungsi asal Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Data Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi, jumlah pengungsi yang tewas saat menyeberangi Laut Tengah kembali bertambah dalam dua tahun terakhir.
Pada tahun 2022 tercatat ada 159.410 pengungsi dari arah Libya, Suriah, Mesir, dan Tunisia mengalir menyeberangi Laut Tengah. Namun sebanyak 2.439 pengungsi lain gagal mencapai pantai negara-negara Eropa. Mereka tewas di Laut Tengah.
Sepanjang tahun ini, sebanyak 188.940 pengungsi berhasil menyeberangi Laut Tengah dan mendarat di Italia, Malta, dan Yunani. Namun lebih dari 2.500 lainnya tewas saat menyeberangi Laut Tengah. UNHCR mencatat Italia kedatangan pengungsi sebanyak 133.826 jiwa, Yunani 28.679 jiwa, Spanyol 26.213 jiwa, Siprus 3.280 jiwa, dan Malta 271 jiwa.
Baca juga: Musibah Pengungsi di Laut Tengah
Direktur UNHCR Ruven Menikdiwela kepada Dewan Keamanan PBB pekan lalu, Jumat (29/9/2023) mengatakan, 83 persen pengungsi mendarat di wilayah Italia. Menikdiwela mengatakan, jalur laut yang ditempuh pengungsi dari pantai Tunisia dan pantai Libya sama berbahayanya. Lebih dari 102 ribu jiwa mencoba menyeberang Laut Tengah dari Tunisia. Melonjak 260 persen dari angka tahun 2022. Sedangkan dari Libya ada lebih dari 45.000 jiwa menyeberangi laut menuju Eropa.
Pengungsi yang menempuh jalan darat melalui Spanyol dan Yunani dalam data UNHCR mencapai 5.318 jiwa. Wilayah Spanyol yang dimaksud adalah Kota Tangier dan Ceuta yang merupakan enklave di daratan Afrika berbatasan dengan Maroko.
Menurut catatan sejumlah lembaga, termasuk UNHCR dan UNOCHA (Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa), para pengungsi itu terpaksa pergi dari rumah mereka karena konflik bersenjata, kekerasan, kemiskinan, dan kekeringan. Negara-negara yang menjadi sumber pengungsi antara lain Eritrea, Afrika Tengah, Somalia, Sudan, Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, Suriah dan Afghanistan.
Data Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi (UNHCR) memperlihatkan total jumlah orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka, baik karena konflik, kekerasan, kemiskinan, dan kekeringan serta hidup tanpa kewarganegaraan terus meningkat. Pada tahun 2022, tercatat jumlahnya mencapai 108 juta orang lebih, dan hingga Oktober 2023 tercatat jumlah telah bertambah sekitar 9 juta orang menjadi 117,2 juta orang.
Baca juga: Ratusan Imigran Hilang di Selatan Yunani
Ukraina menjadi salah satu negara yang dalam dua tahun terakhir turut menyumbang peningkatan jumlah pengungsi global. Situasi juga semakin buruk dengan membanjirnya pengungsi Etnis Armenia dari enklave Nagorno Karabakh yang mencapai 100.000 jiwa dalam sepekan terakhir. Situasi kemanusiaan global pun terus diliputi awan keprihatinan.
“Banyak yang kelaparan, kelelahan dan membutuhkan bantuan segera,” kata Filippo Grandi, Kepala UNHCR melalui media sosial pada Jumat malam. “Bantuan internasional sangat dibutuhkan.”
Situasi pelik
Terkait upaya mengurangi arus pengungsi, Uni Eropa berusaha menawarkan bantuan keuangan. Bantuan antara lain ditawarkan kepada Tunisia yang sedang mengalami krisis ekonomi, keuangan, dan terancam gagal bayar utang luar negeri. Namun Presiden Tunisia Kais Said pada hari Senin lalu (2/10/2023) menolak bantuan keuangan yang ditawarkan UE. Menurut Said, langkah UE tersebut mengabaikan kesepakatan Juli 2023 untuk melawan penyelundupan manusia, dan penguatan pengawasan perbatasan. Saat ini terjadi peningkatan lalu lintas kapal dari Tunisia ke wilayah Uni Eropa melintasi Laut Tengah.
“Kami menolak bukan karena besaran jumlah (127 juta Euro). Tetapi karena berbeda dengan kesepakatan Bulan Juli dengan Uni Eropa,” kata Said. Kesepakatan Bulan Juli 2023 menyatakan paket bantuan hingga sebesar 1 milyar Euro untuk menguatkan ekonomi Tunisia, menyelamatkan sektor keuangan, dan penanganan kasus imigran.
Pekan lalu Tunisia membatalkan kedatangan delegasi Uni Eropa yang bermaksud membahas persoalan pengungsi dan imigran. Sedangkan bulan lalu, Tunisia juga melarang masuk lima anggota Parlemen Uni Eropa demi mencegah campur tangan dalam urusan domestik Tunisia.
Adapun beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman menolak kesepakatan keuangan tersebut karena tidak menyentuh persoalan Hak Asasi Manusia dan buruknya situasi politik di Tunisia.
Sikap Eropa
Seiring itu, Kelompok Negara Eropa Selatan di seputar Laut Tengah (Med 9) menggelar pertemuan puncak di Malta pada Sabtu (30/9/2023) lalu. Mereka mendesak agar aliran pengungsi ke wilayah mereka dihentikan. Arus pengungsi hendak dihentikan dari negara asal.
Baca juga: Teguran Paus Fransiskus kepada Eropa yang Menolak Pengungsi
Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni yang berasal dari kubu sayap kanan mengatakan, tanpa jalan keluar yang terstruktur, semua negara di selatan Eropa akan kewalahan menghadapi banjir pengungsi. Sementara itu, Presiden Perancis Emanuel Macron mendesak tanggapan bersama dari Uni Eropa dan bersimpati kepada Italia. “Kita harus memberikan solidaritas pada negara-negara yang menjadi pintu masuk ke Eropa,” kata Macron.
Para pemimpin Med 9 bertemu di Malta sehari setelah sesudah menteri-menteri dalam negeri UE di Brussels, Belgia mengeluarkan kebijakan baru tentang cara menangani pencari suaka dan imigran ilegal. Pakta Migrasi dan Pencari Suaka tersebut ditujukan mengurangi beban pada negara Eropa yang menjadi tujuan awal pengungsi. Pakta itu menyebutkan agar mereka segera disalurkan ke negara lain di Uni Eropa. Terkait itu, anggota UE dan Med 9 didesak segera mengadopsi aturan baru tersebut.
Meski demikian Meloni menegaskan, berbagi beban atas kehadiran pengungsi dan imigran tersebut tidak cukup. Setelah bertemu Presiden Emanuel Macron dan Presiden Komisi Uni Eropa Ursula Von der Leyen, PM Meloni mengatakan, setidaknya sudah ada kesepakatan walau di atas kertas. Sepanjang tahun 2023, sudah 133.000 imigran dan pengungsi mengalir masuk ke Italia. Jumlah tersebut sudah dua kali lipat dibandingkan angka tahun 2022.
Penanganan imigran membutuhkan pendekatan menyeluruh dan berkelanjutkan, demikian pernyataan bersama pemimpin Kroasia, Siprus, Prancis, Yunani, Italia, Malta, Portugal, dan Slovenia serta perwakilan Spanyol. “Persoalan ini harus ditangani di sumbernya, negara asal pengungsi dan imigran” kata Perdana Menteri Malta Robert Abela.
Pekan lalu, ribuan pengungsi dan imigran membanjiri Pulau Lampedusa. Pihak Italia kewalahan karena banjir pengungsi di pulau tersebut. Pulau tersebut terletak di barat Malta sekitar 176 kilometer, dan berjarak hanya 113 kilometer dari Tunisia.
Pulau seluas 20 kilometer persegi itu dihuni 6.000 jiwa dan kini kewalahan dibanjiri ribuan pengungsi. Lampedusa terhubung dengan Italia dengan penerbangan dan kapal feri ke Pulau Sisilia.
Demi menanggulangi banjir pengungsi, UE merencanakan membantu pembiayaan Penjaga Pantai Tunisia untuk membantu mencegah penyelundupan manusia ke wilayah Eropa. (AP/AFP/Reuters)