Indonesia Segera Ratifikasi Larangan Senjata Nuklir
Kementerian Luar Negeri akan mengajukan ratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir kepada DPR dalam waktu dekat.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus mengupayakan penguatan posisi Indonesia untuk menjadikan negara dan kawasan sebagai zona bebas senjata nuklir. Indikasinya terlihat dari hasil pertemuan para pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, di sela-sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang pekan lalu. Menurut rencana, Kemenlu mengajukan ratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir atau TPNW kepada DPR dalam waktu dekat.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemenlu Tri Tharyat saat pertemuan dengan media di Jakarta, Jumat (29/9/2023). Turut hadir Juru Bicara Kemlu Lalu Muhammad Iqbal dan Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha. ”Ini satu modal tambahan lagi bagi Indonesia untuk meyakinkan dunia bahwa seluruh negara bisa meratifikasi perjanjian terkait nuklir,” kata Tri.
TPNW diadopsi dalam sebuah konferensi yang diikuti negara-negara anggota PBB pada 2017. Dikutip dari kantor UNODA, lembaga PBB yang mengurusi perlucutan senjata, ketika itu 122 negara mendukung TPNW. Satu suara menolak dan satu suara abstain.
Substansi TPNW mencakup larangan bagi negara-negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang melibatkan keberadaan senjata nuklir, mulai dari mengembangkan, menguji, memproduksi, memperoleh, memiliki, menimbun, hingga mengancam penggunaan senjata nuklir. Traktat ini juga melarang penyebaran senjata nuklir di wilayah nasional dan pemberian bantuan kepada negara mana pun dalam melakukan kegiatan yang dilarang. Termasuk di dalamnya adalah larangan kegiatan terkait senjata nuklir yang dilakukan individu atau sekelompok individu di wilayah negara penanda tangan traktat tersebut.
Sampai saat ini, 193 negara anggota PBB menyetujui TPNW. Akan tetapi, hingga September 2023 baru 69 negara yang meratifikasi traktat tersebut.
Di Asia Tenggara, negara yang sudah meratifikasi traktat itu, di antaranya, Filipina, Laos, Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Myanmar belum meratifikasinya.
Tri menjelaskan, dalam pertemuan dengan sejumlah negara di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB, Indonesia terus mendorong negara-negara meratifikasi Perjanjian Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT). Selain itu, Indonesia juga mengupayakan negara-negara pemilik senjata nuklir mengaksesi Zona Bebas Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ).
CTBT adalah perjanjian multilateral yang melarang ledakan uji coba senjata nuklir dan ledakan nuklir lainnya, baik untuk tujuan sipil maupun militer, di semua lingkungan. Perjanjian ini diadopsi Majelis Umum PBB pada 10 September 1996, tetapi belum berlaku karena delapan negara tertentu belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Delapan negara yang belum meratifikasi traktat itu adalah China, Amerika Serikat, Pakistan, India, Israel, Korea Utara, Iran, dan Mesir. Tujuh di antara negara yang belum meratifikasi adalah negara pemilik nuklir.
Kapal selam tenaga nuklir
Terpilihnya Indonesia masuk dalam Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada Konferensi Umum IAEA yang baru saja berlangsung, menurut Tri, adalah salah satu upaya mendorong pembahasan isu kapal selam nuklir. ”Ini (IAEA) pilar penggunaan nuklir untuk tujuan damai,” katanya.
Saat menjadi peserta Konferensi Kajian Para Pihak dalam Traktat Nonproliferasi (NPT) pada Agustus 2022, Indonesia mengusulkan agar kapal selam nuklir diatur dalam Perjanjian Perlucutan Senjata Nuklir Internasional. Usulan itu diajukan Indonesia untuk mengisi kekosongan aturan hukum internasional terkait kapal selam bertenaga nuklir. Usulan itu juga menjadi jalan tengah yang diusulkan Indonesia bagi para pendukung dan penentang pengembangan kapal selam bertenaga nuklir.
Tri mengatakan, berbagai usulan yang muncul akan dibahas dalam pertemuan pada Desember. ”Yang pasti, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat sudah berkoordinasi dengan IAEA. Di sisi lain, China yang juga memiliki perhatian sudah memasukkan pandangannya. Barangkali di sidang selanjutnya baru akan dibahas antarpemerintah,” katanya.
Isu kapal selam bertenaga nuklir sendiri mencuat setelelah Australia bersama Inggris dan AS menandatangani pakta militer mini yang disebut AUKUS. Pakta itu memberi kesempatan bagi Australia menggunakan kapal selam bertenaga nuklir yang dikembangkan oleh AS dengan menggunakan teknologi dari Inggris.