Diplomasi Indonesia di PBB dan Upaya Menutup Celah Pengalihan Senjata Nuklir
Indonesia dan sejumlah negara tengah mendorong pengaturan agar kapal selam nuklir masuk dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir dalam konferensi di PBB. Tujuannya untuk mencegah penyebaran bahan baku senjata nuklir.
Setelah 52 tahun berlaku, Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir masih menyisakan celah. Koalisi Amerika Serikat, Inggris, dan Australia mengingatkan lagi keberadaan celah itu. Indonesia bersama sejumlah negara berusaha menutup celah tersebut.
Dalam pengumuman pada September 2021, Canberra-London-Washington mengungkap rencana penyediaan kapal selam bertenaga nuklir (SSNs) untuk Australia ketika mengumumkan aliansi mereka, AUKUS. Indonesia bereaksi keras selepas pengumuman AUKUS. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyebut kesepakatan itu jelas tidak menguntungkan siapa pun.
Hampir setahun setelah Retno menyatakan hal tersebut, para diplomat Indonesia mengusulkan pengaturan soal kapal selam tenaga nuklir. ”Usulan ini tidak ditujukan kepada negara mana pun,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemenlu RI Tri Tharyat, Jumat (5/8/2022).
Baca juga : Usulkan Pengaturan Kapal Selam Nuklir, Indonesia Bisa Berhadapan dengan AUKUS
Wakil Tetap Indonesia untuk Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Damos Agusman juga mengatakan, usulan Indonesia tidak berkaitan dengan AUKUS. Usulan Indonesia pada Konferensi Kajian Para Pihak Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT RevCon) ke-10 di New York, AS, saat ini untuk mengingatkan ada celah dalam pengaturan senjata nuklir dan teknologinya.
Masalah utama pada SSNs adalah kelaziman perangkat militernya tidak diawasi oleh IAEA. Hal itu terjadi, antara lain, pada SSNs yang dioperasikan oleh AS, Inggris, Perancis, Rusia, hingga China.
Masalahnya menjadi lebih rumit jika SSNs dioperasikan negara bukan pemilik senjata nuklir atau Non-Nuclear Weapon States (NNWS), seperti Australia. Ada kekhawatiran, sebagaimana dicantumkan dalam usulan Indonesia di NPT RevCon ke-10, uranium aras pengayaan tinggi (HEU) untuk bahan bakar SSNs dialihkan menjadi bahan baku senjata nuklir. ”Bagaimana jika Iran, Korea Utara, atau negara lain melakukan itu?” kata Damos.
IAEA dan para negara nuklir menyebut, uranium yang dikayakan di atas 20 persen sudah bisa disebut HEU. Sementara uranium dengan pengayaan di atas 90 persen sudah mendekati status bahan baku senjata nuklir.
Menurut Direktur Program Pengendalian Senjata dan Nonproliferasi pada Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) Tariq Rauf, SSNs AS-Inggris menggunakan uranium dengan aras pengayaan 93 persen hingga 97 persen. HEU pada SSNs AS-Inggris bisa digunakan sampai 33 tahun.
Dosen pada University of Texas, Alan J Kuperman, mengingatkan, SSNs pada AUKUS tidak sesuai semangat pemusnahan senjata nuklir. ”Selama setengah abad, dunia menghapus uranium yang bisa digunakan untuk bom demi mengurangi risiko penyebaran senjata nuklir. Sekarang, AS akan mengekspor itu dalam jumlah besar sebagai bahan bakar kapal selam, menghasilkan contoh bagi negara lain untuk meminta hak sama, dan hal itu bisa mengakhiri upaya penghentian penyebaran senjata nuklir,” ujarnya.
Kotak pandora
Pengajar pada University of Melbourne, Trevor Findlay, mengingatkan, Canberra pernah menyurati Dewan Gubernur IAEA pada April 1978. Dalam surat itu, Canberra menanyakan apakah NNWS perlu mendapatkan klarifikasi dari IAEA soal transfer teknologi nuklir untuk keperluan militer. Pada April 1978, Dewan Gubernur IAEA memang menjawab bahwa belum ada kejelasan soal itu.
Baca juga : AS Akui Kemampuan China Bangun Nuklir Sangat Cepa
Rauf menyebut, sejumlah negara lain juga ingin punya SSNs. Jika Australia jadi mendapatkan SSNs dengan bantuan AS-Inggris, kotak pandora soal penyebaran SSNs sejenis akan terbuka. ”Negara nonsenjata nuklir lain pasti mau juga dan sekarang daftarnya sudah banyak,” kata salah satu anggota tim ahli Kanada dalam kajian rencana pengadaan kapal selam tenaga nuklir pada 1987 itu.
Dulu, Kanada membatalkan rencana pengadaan kapal selam karena harus ada persetujuan Kongres AS. Sebab, meski akan membeli dari Inggris, sebagian teknologinya dari AS. Sejak lama, Washington mewajibkan persetujuan Kongres AS untuk alih teknologi militer tingkat tinggi ke negara lain.
Ottawa juga harus merahasiakan teknologi kapal selam yang akan dibelinya. Keharusan merahasiakan itu membuat kapal selam tenaga nuklir tidak mungkin diawasi IAEA.
AUKUS, menurut Rauf, akan mengikuti pola yang sama. Canberra akan dilarang mengungkap tingkat pengayaan dan jumlah material nuklir dalam kapal selam yang direncanakan dimilikinya itu. ”Keputusan AUKUS memberikan Australia SSNs tidak hanya kesalahan bodoh dan disengaja, tetapi juga mengancam keamanan kawasan dan internasional secara serius,” ujar mantan Koordinator Kebijakan Keamanan dan Verifikasi IAEA itu dalam wawancara tertulis kepada Kompas pada 3 Agustus 2022.
Pengabaian
Mahasiswa asal Fiji yang tengah menyelesaikan program doktoral di Australian National University, Talei Luscia Mangioni, menyebut bangsa-bangsa Pasifik tidak pernah dimintai persetujuan atas uji coba nuklir beberapa dekade lalu di wilayah mereka. Kini, mereka juga tidak pernah diberitahu anggota AUKUS soal rencana penyediaan SSNs untuk Australia.
”Semua bereaksi keras pada pengumuman AUKUS,” tulisnya pada artikel ”Troubled Waters: Nuclear Submarines, Aukus, and the NPT”, yang diterbitkan Koalisi Internasional Anti Nuklir (ICAN) Australia, Juli 2022.
Pengajar Kajian Kebijakan Luar Negeri Australia pada University of Melbourne, Richard Tanter, mengatakan, AUKUS kembali menunjukkan kesombongan dan pengabaian Canberra pada tetangganya. Sejak 2001, sudah berlaku kesepakatan Zona Bebas Nuklir Asia Tenggara (SEANFWZ). Rencana pengadaan SSNs untuk Australia jelas tidak sesuai dengan SEANFWZ.
Baca juga : Patahnya Ambisi Nuklir Indonesia
Tanter sepakat dengan kekhawatiran pengadaan SSNs Australia hanya memicu ketegangan kawasan. SSNs Australia jelas akan mengacu pada yang sudah dimiliki AS atau Inggris. Dengan wujud itu, sulit dipahami SSNs Australia akan beroperasi di sekitar Australia atau pesisir negara-negara Asia Tenggara. ”Tak cocok untuk perairan dangkal di pesisir,” tulisnya dalam laporan ICAN Australia edisi Juli 2022.
Bagi Tanter, calon SSNs Australia jelas dirancang untuk operasi jarak jauh yang akan dipimpin AS. Tujuannya, memburu kapal pengangkut senjata nuklir China.
Pendapat China
China adalah salah satu negara yang bereaksi paling keras atas rencana pengadaan SSNs Australia. Selain dari para pejabatnya, kelompok ilmuwan China juga bersuara. Asosiasi Perlucutan dan Pengendalian Senjata China (CACDA) dan China Institute of Nuclear Industry Strategy (CINIS) mengeluarkan laporan pada Juli 2022. Menurut mereka, seluruh SSNs akan membutuhkan hingga 2 ton HEU. Setiap bom nuklir butuh rata-rata 25 kilogram HEU. Dengan demikian, material nuklir untuk SSNs Australia setara dengan bahan untuk hingga 80 bom nuklir. ”Pengadaan SSNs di AUKUS jelas pelanggaran pada traktat NPT,” sebut laporan itu.
Seperti Tanter, CACDA dan CINIS juga menuding AUKUS tidak sesuai SEANFWZ. ”Melemahkah upaya ASEAN mewujudkan Asia Tenggara sebagai zona bebas nuklir,” lanjut laporan tersebut.
CACDA dan CINIS mengingatkan, dalam traktat NPT ada larangan pemberian senjata nuklir dalam bentuk apa pun dari negara pemilik senjata nuklir (NWS) ke NNWS. NWS juga dilarang membantu, mendorong, dan mengenalkan secara langsung dan tidak langsung teknologi senjata nuklir kepada NNWS. Traktat itu juga meminta NNWS tidak menerima pengalihan senjata, bahan baku senjata nuklir, dan teknologinya dengan cara apa pun.
”Mencegah pemberian senjata nuklir seharusnya tidak hanya dipahami secara sempit sebagai larangan pengalihan senjata nuklir dalam bentuk utuh,” lanjut CACDA-CINIS.