Desakan Reformasi Arsitektur Keuangan Global Berlanjut
Anggota PBB semakin berani lantang mengungkapkan kritiknya terhadap arsitektur keuangan global. Sistem lama itu tidak adil dan melanggengkan ketertinggalan negara miskin.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA DARI NEW YORK, AS
·4 menit baca
NEW YORK, KOMPAS — Desakan dari berbagai pemimpin dunia untuk mereformasi arsitektur keuangan global tak terbendung. Dalam berbagai sesi Sidang Ke-78 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, isu ini selalu mengemuka dan menguat.
Dalam Dialog Tingkat Tinggi tentang Pembiayaan Pembangunan pada Rabu (20/9/2023), sejumlah pemimpin menyampaikan persoalan struktural dalam pembiayaan pembangunan. Solusi strukturalnya adalah melalui reformasi arsitektur keuangan global.
”Dari semua isu yang akan kita bahas pekan ini, keuangan barangkali paling krusial. Sebab, pembiayaan pembangunan adalah bahan bakar yang mendorong perkembangan Agenda 2030 dan Perjanjian Paris,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pidatonya.
Sekarang, Guterres melanjutkan, dunia kehabisan bahan bakar itu. Akibatnya, mesin pembangunan berkelanjutan menjadi gagap, mandek, dan menjadi bumerang.
”Saat kita mencapai setengah jalan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), kemajuan dalam prioritas kita yang paling mendasar, yakni kemiskinan dan kelaparan, justru mengalami kemunduran untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir,” kata Guterres.
Pandemi Covid-19 dan krisis iklim mempunyai dampak buruk dan berkepanjangan terhadap negara-negara berkembang. Invasi Rusia ke Ukraina memperburuk ketidakstabilan dan menaikkan harga pangan, energi, dan keuangan.
Krisis utang
Krisis biaya hidup global berdampak kepada miliaran orang. Pemerintah tenggelam dalam utang. Melonjaknya suku bunga membuat negara-negara berkembang mengalami kekeringan dana. Sementara komitmen bantuan pembangunan dan pendanaan iklim tidak dipenuhi.
”Terdapat kesenjangan yang sangat besar antara negara-negara yang dapat mengakses pendanaan dengan persyaratan yang wajar dan negara-negara yang tidak dapat mengaksesnya, dan semakin tertinggal,” kata Guterres.
Contohnya, kekurangan pendanaan program SDGs diperkirakan mencapai 3,9 triliun dollar AS per tahun. Negara-negara berkembang menghadapi biaya pinjaman hingga delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Eropa, dan ini merupakan jebakan utang.
Selain itu, satu dari tiga negara di dunia kini berisiko tinggi mengalami krisis fiskal. Lebih dari 40 persen orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem berada di negara-negara dengan tantangan utang yang berat.
Ada sejumlah upaya untuk membantu negara berkembang mengatasi persoalan tersebut. Di antaranya adalah Inisiatif Penundaan Utang G20 dan adanya fasilitas penarikan khusus oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
”Tapi itu tidak cukup. Sudah jelas bahwa persoalan sistemik dalam pembangunan berkelanjutan membutuhkan solusi yang sistemik pula, yakni reformasi arsitektur keuangan global,” katanya.
Arsitektur keuangan yang beroperasi selama ini, Guterres menekankan, diciptakan ketika banyak negara berkembang yang ada saat ini, dulu masih di bawah kolonialisme. Dengan demikian, itu cenderung hanya menguntungkan negara maju.
”Saya ulangi seruan saya untuk momentum Bretton Woods yang baru ketika negara-negara bersama-sama sepakat pada arsitektur keuangan yang merefleksikan realitas ekonomi mutakhir dan relasi kekuatan,” katanya.
”Saya mengharapkan dukungan Anda atas usulan reformasi ini melalui Pertemuan Puncak Masa Depan dan hal terkait berikutnya. Pertemuan sedianya akan digelar 2024,” ujar Guterres.
Sementara Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, pendanaan pembangunan adalah aspek yang tidak terpisahkan dari pencapaian SDGs. Salah satu alasan lambatnya kemajuan pencapaian SDGs adalah lambatnya pendanaan.
”Menurut Sekjen PBB, kesenjangan pendanaan SDGs di tingkat global sebelum pandemi sudah mencapai 2,5 miliar dollar AS per tahun. Angka ini drastis naik sejak pandemi. Sekarang, kesenjangannya meningkat menjadi 4,5 miliar dollar AS per tahun,” kata Retno.
Kegiatan dialog tingkat tinggi tersebut, menurut Retno, bertujuan untuk memperkuat komitmen pendanaan pembangunan global. Dalam kesempatan itu, Retno menyampaikan bahwa pendanaan sangat penting untuk pencapaian SDGs, untuk membuat pencapaian SDGs on-track, terutama di negara-negara Selatan. ”Untuk itu, perlu diciptakan sebuah lingkungan yang kondusif dan juga pendanaan inovatif,” katanya.
Terdapat dua hal yang menurut Retno mendesak untuk ditangani. Pertama, dunia perlu segera mengatasi ketidakadilan ekonomi. ”Karena kita melihat tata kelola ekonomi global ketinggalan zaman dan perlu direformasi. Langkah ini perlu dilakukan agar pas dan memperhatikan kepentingan negara berkembang,” tutur Retno.
Kedua adalah perlunya pendanaan inovatif. Iklim investasi yang kondusif perlu diciptakan agar inisiatif-inisiatif tersebut dapat terlaksana dan membuahkan hasil. ”Saya tekankan kemitraan pemerintah, swasta, dan lembaga internasional penting untuk mendorong pencapaian SDGs,” kata Retno.