Islam Moderat, Modal Berharga Indonesia Berkiprah di Dunia
Sejumlah warga Muslim Australia berkunjung ke Indonesia dalam program pertukaran Muslim antarkedua negara. Mereka ingin memperdalam berbagai hal soal Islam dan komunitas di Indonesia untuk bisa diterapkan di Australia.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Sebuah pertanyaan tajam terlontar dari seorang peserta Program Pertukaran Muslim Australia-Indonesia (AIMEP) tahun 2023 saat bertemu dengan sejumlah dosen dan pimpinan Universitas Islam Internasional Indonesia, di Cisalak, Depok, Jawa Barat, Kamis (21/9/2023). Pertanyaannya, bagaimana mendudukkan persoalan hukum Islam yang tampak tidak selalu sejalan dengan era modern.
Zezen Zaenal Mutaqin, Ketua Program MA dan dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), yang mendalami ilmu hadits, hukum Islam, dan ilmu hukum kontemporer, menyebut bahwa ada beberapa hal yang harus dipahami. Misalnya, asal usul atau riwayat hadits—salah satu sumber utama hukum Islam—dalam bahasa Arab, pemahaman kultur tempat ajaran itu berkembang dan paradigma para penyusun ilmu hukum kontemporer.
Di atas semua itu, kata Zezen, yang terpenting adalah dialog terbuka antarpemikiran agar tercipta atmosfer saling memahami.
Muncul juga sejumlah pertanyaan lain mengenai Islam dan sikap antikorupsi hingga bagaimana sistem pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas. Semuanya dijawab dengan cukup fasih oleh para narasumber yang hadir di ruangan pertemuan tersebut.
Sebanyak 14 warga Muslim Australia tiba di Indonesia, Selasa (19/9/2023), untuk memperdalam pemahaman tentang Islam dan komunitas Muslim di Indonesia. Selain bertemu dengan para pemuka agama di Jakarta, mereka juga akan terbang ke Yogyakarta dengan tujuan sama.
Mereka berlatar belakang budaya dan pekerjaan beragam. Ada yang berdarah campuran karena perkawinan dengan warga Australia, ada keturunan imigran, ada juga warga kelahiran Australia.
Abrar Ahmad, misalnya. Laki-laki berdarah Bangladesh ini sejak usia 12 tahun tinggal di Australia. Meski memiliki aksen Australia dan sudah dua dekade menetap di Negeri Ka- nguru itu, tetap saja saat ia bertemu dengan warga Australia dari kota atau provinsi lain, identitasnya dipertanyakan. “Karena saya kulit berwarna,” ujarnya sambil tersenyum.
Sebagai warga minoritas di Australia, Ahmad dan keluarganya sering terkena dampak oleh peristiwa-peristiwa kekerasan yang dikaitkan dengan Islam. Peristiwa 9/11, yang baru saja diperingati, dan penembakan massal di sebuah mesjid di Selandia Baru tahun 2019, juga berdampak negatif pada komunitas Muslim di Australia.
Pelaku penembakan massal di Selandia Baru itu adalah warga Australia. Ahmad mengaku, salah satu kerabat dekatnya menjadi korban dalam insiden itu.
Syukurlah, tutur Ahmad, pandangan terhadap warga Muslim di Australia—setidaknya di tempat tinggalnya saat ini—sudah jauh lebih baik. Ia pun semakin berani memperlihat- kan identitas keislamannya, seperti berjenggot, mengenakan peci atau kopiah dan sebagainya.
Meski begitu, dia masih ingin belajar mengenai keislaman, seperti yang diperlihatkan di Indonesia. Ia mendapat kabar, penganut kepercayaan dan umat beragama di Indonesia dapat hidup berdampingan. “Ini indah,” kata Ahmad.
Saat pertama kali mendarat di Jakarta, kami mendapat sambutan yang sangat hangat dari teman-teman kami di Indonesia. Subhanallah.
Soumaya Najjarin, mantan penasihat anggota parlemen di Negara Bagian New South Wales, mengatakan, yang paling diingatnya saat bertemu dengan sesama peserta AIMEP asal Indonesia adalah ramah, fokus pada pengembangan komunitas, dan sangat kekeluargaan. “Itu masih pertemuan daring. Saat pertama kali mendarat di Jakarta, kami mendapat sambutan yang sangat hangat dari teman-teman kami di Indonesia. Subhanallah,” katanya sambil tersenyum.
Belajar pada Islam di Indonesia
Menurut laman Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, program AIMEP difokuskan pada membangun pemahaman yang lebih baik bagi masyarakat Australia mengenai sifat arus utama Islam di Indonesia dan, bagi masyarakat Indonesia, kesadaran yang lebih besar mengenai masyarakat multikultural di Australia.
Najjarin mengatakan, mereka ingin memperdalam berbagai hal mengenai Islam dan komunitas di Indonesia untuk bisa diterapkan di komunitas mereka di Australia. Dia menilai, ada beberapa konsep yang bisa diterapkan, seperti kebersamaan dan empati, yang sehari-hari bisa dilihat di Indonesia, untuk bisa dipraktikkan di Australia.
Jamhari Makruf, Wakil Rektor Bidang Riset, Kerja Sama dan Pengabdian Masyarakat UIII, mengatakan, dialog-dialog seperti ini adalah penting untuk menyebarkan Islam Wasathiyah. Ini corak pemahaman Islam jalan tengah atau moderat yang lekat dengan ciri khas Muslim di Indonesia.
Islam di Indonesia tidaklah berbeda dengan Islam di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya di dunia. Akan tetapi, corak pemahaman Islam yang dianut mayoritas Muslim di Indonesia adalah Islam moderat atau juga sering diistilahkan dengan Islam wasathiyah.
Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pada laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), wasathiyah yang berakar dari kata dalam bahasa Arab, wasatha (sesuatu yang berada di antara dua sisi atau di tengah) tetap bertumpu pada ajaran tauhid sekaligus menegakkan keseimbangan dalam penciptaan dan kesatuan lingkaran kesadaran manusia.
Islam di Indonesia tidak datang ke sebuah ruangan kosong, sudah ada kepercayaan yang jauh lebih tua di sini. Itu membuat Islam di Indonesia sangat akomodatif.
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (almarhum) Hasyim Muzadi secara singkat mengartikan wasathiyah sebagai keseimbangan antara keyakinan (yang kokoh) dan toleransi.
Akulturasi ala Indonesia
Menurut Jamhari, berbeda dengan Islam di negara lain, Islam datang ke Indonesia dengan cara damai melalui perdagangan. Saat Islam datang ke Indonesia, masyarakat telah memiliki beragam kepercayaan, mulai dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan lama lainnya, seperti animisme dan dinamisme. Akulturasi budaya lokal dan Islam menjadi cara yang dipilih dalam penyebarluasan ajaran agama Islam.
“Islam di Indonesia tidak datang ke sebuah ruangan kosong. sudah ada kepercayaan yang jauh lebih tua di sini. Itu membuat Islam di Indonesia sangat akomodatif,” katanya.
Lucas Hainsworth, Ketua Dewan Sekolah Dasar Orchard Park di Melbourne yang turut serta dalam program AIMEP, mengatakan, di tengah dinamika global, terutama di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, Indonesia harus memainkan perannya lebih baik. Dia menilai, dibanding negara-negara Muslim di Timur Tengah yang seringkali bergejolak, Indonesia—dengan nilai toleransi yang berakar dari budaya yang sangat kuat—sudah seharusnya menempatkan diri sejajar dengan negara-negara besar lainnya.
Hainsworth menyebut beberapa perkembangan signifikan, mulai dari pembangunan infrastruktur jalan di berbagai wilayah di Indonesia, sistem pendidikan yang baik, mulai taman kanak-kanak hingga universitas, dan juga posisi Indonesia dalam berbagai kerja sama multilateral regional dan global.
“Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kestabilan politik yang baik, dan masyarakat yang toleran, Indonesia bisa berdiri sejajar dengan negara-negara ekonomi maju lainnya,” kata Hainsworth.
Dengan kata lain, Islam wasathiyah, yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, bisa jadi modal bagi negara ini untuk sejajar dengan negara-negara besar lainnya.