Erdogan dan Netanyahu Bertemu di Tengah Desakan Perubahan Radikal Sikap Israel
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di New York. Pertemuan itu terjadi di tengah banyak tekanan agar Israel mengubah sikapnya terhadap Palestina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Untuk pertama kalinya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu secara langsung disela-sela menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Selasa (19/9/2023). Selain membahas isu regional dan global, keduanya membahas soal peluang kerja sama ekonomi, energi baru terbarukan, teknologi digital hingga keamanan siber.
Direktorat Komunikasi Kepresidenan Turki, dikutip dari laman kantor berita Anadolu, menyebut, Erdogan dan Netanyahu juga membahas soal perkembangan terkini mengenai konflik Israel-Palestina. Tidak dijelaskan secara detail isi pembicaraan keduanya mengenai hal ini.
Akan tetapi, Erdogan, mencuit di platform X, menyatakan berharap pembicaraan dengan Netanyahu akan bermanfaat bagi negara dan kawasan tempat kedua negara berada.
Sementara itu, Netanyahu, dikutip dari laman media Israel,The Jerusalem Post, mengatakan, hubungan kedua negara semakin erat. Untuk mempererat hubungan, Netanyahu dan Erdogan sepakat untuk melakukan kunjungan timbal balik di antara mereka dalam beberapa waktu mendatang.
Pertemuan ini dinilai bersejarah setelah hubungan diplomatik kedua negara mengalami pasang surut. Hubungan kedua negara yang telah terjalin secara resmi sejak 1949. Namun hubungan kedua negara mengalami pasang surut selama satu dekade terakhir, ketika Ankara mengusir dubes Israel setelah tentara Israel menyerbu sebuah kapal “Gaza flotilla” yang menewaskan 10 warga negara Turki pada tahun 2010.
Hubungan diplomatik kedua negara sempat pulih tahun 2016. Akan tetapi, isu Palestina membuat hubungan kedua negara kembali tegang setelah militer Israel membunuh sejumlah warga Palestina yang ikut serta dalam protes di Jalur Gaza tahun 2018. Ankara mengusir utusan diplomatik Israel dan menarik diplomatnya dari negara itu.
Kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog ke Turki pada Maret 2022, diikuti dengan kunjungan kedua menteri luar negeri, membantu menghangatkan kembali hubungan kedua negara setelah ketegangan selama lebih dari satu dekade.
Pidato Erdogan
Tidak ada penjelasan apakah pertemuannya dengan Netanyahu dilakukan setelah Erdogan berpidato di depan Sidang Majelis Umum atau tidak. Dalam pidatonya di hadapan anggota PBB, Erdogan menyatakan, perdamaian dan stabilitas kawasan tidak akan bisa terwujud bila konflik Palestina-Israel terus berlanjut.
Erdogan menyatakan di depan anggota PBB bahwa Turki mendukung rakyat Palestina untuk memperjuangkan seluruh hak sahnya berdasarkan hukum internasional.
Dikutip dari laman Arab News, Erdogan menyatakan, akan sulit bagi Israel untuk menemukan perdamaian dan keamanan yang diinginkannya selama negara Palestina dan berdaulat tidak terwujud. Erdogan juga menekankan bahwa negara Palestina yang dimaksudnya adalah negara Palestina yang terintegrasi secara geografis berdasarkan perbatasan tahun 1967.
Tekanan pada Israel
Upaya normalisasi hubungan Arab Saudi Israel yang tengah dimotori oleh Pemerintah AS ternodai setelah ratusan warga Yahudi menyerbu kompleks Mesjid Al Aqsa, Minggu (18/9/2023). Di bawah pengamanan aparat keamanan Israel, ratusan warga Yahudi memasuki kompleks Mesjid Al Aqsa, tempat suci ke tiga umat Islam.
Tindakan itu dikecam oleh Pemerintah Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Mesir. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri UEA mengatakan harus ada penghormatan terhadap peran kustodian Yordania atas tempat-tempat suci dan wakaf sesuai dengan hukum internasional. “Tidak seorang pun boleh mengompromikan otoritas Administrasi Wakaf Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa,” kata Kemenlu UEA dalam pernyataannya.
Kemenlu Arab Saudi dalam pernyataannya mengatakan, tindakan Israel sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap semua norma dan konvensi internasional, dan sebuah provokasi terhadap perasaan umat Islam di seluruh dunia. Arab Saudi menyatakan agar Tel Aviv bertanggung jawab atas dampak tindakan tersebut, dan mendesak masyarakat internasional untuk memikul tanggung jawabnya dalam melindungi warga sipil, dan mencari cara untuk mengakhiri konflik.
Tidak seorang pun boleh mengompromikan otoritas Administrasi Wakaf Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa.
Tindakan Israel, tidak hanya yang dilakukan oleh aparat keamanannya akan tetapi juga oleh warga sipilnya, khususnya kelompok konservatif, terhadap warga Palestina dicap sebagai sebuah tindakan yang sama dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Afrika Selatan terhadap warga kulit hitamnya beberapa dekade lalu. Emir Qatar menggaungkan hal ini saat berbicara di Sidang MU PBB, Selasa.
“Perlakuan Israel terhadap warga Palestina sama saja dengan sistem apartheid abad ke-21 di siang bolong,” kata Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad Al-Thani, dikutip dari laman Arab News. Dia menyatakan, tindakan Israel itu tidak dapat diterima.
Emir Qatar juga mengritik dunia internasional yang dinilainya telah gagal bertindak terhadap Israel dan bahkan terus membuka peluang bagi Israel untuk melemahkan solusi dua negara serta memberikan hak-hak yang sah bagi rakyat dan bangsa Palestina. Tapi, pada saat yang sama, dia menyambut baik beberapa kemajuan yang dicapai untuk mendinginkan tensi di kawasan, mulai dari normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran hingga pemulihan hubungan Mesir dan Turki.
Dorongan agar dunia internasional tetap memperhatikan masalah Palestina disuarakan Raja Yordania Abdullah II di New York.
“Kita harus melindungi dari ekstremisme yang memangsa karena frustrasi dan keputusasaan mereka dengan cara memberi kepastian pada generasi muda Palestina agar bisa terus belajar di sekolah-sekolah di bawah bendera biru PBB. Alternatifnya adalah bendera hitam teror, kebencian, dan ekstremisme,” kata Abdullah, dikutip dari laman Arab News.
Dia juga menyoroti penderitaan jutaan warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan tanpa hak-hak sipil, tanpa kebebasan bergerak, dan tanpa kebebasan bersuara meskipun “setiap resolusi PBB sejak awal konflik ini mengakui persamaan hak rakyat Palestina untuk mendapatkan hak-hak mereka, termasuk hak untuk masa depan yang damai, bermartabat, dan penuh harapan.
“Kita bisa melihat orang-orang Israel secara aktif membela dan terlibat dalam ekspresi identitas nasional mereka. Akan tetapi, rakyat Palestina dirampas hak yang sama untuk mengekspresikan dan memenuhi identitas nasional mereka,” katanya.
Abdullah menyebut, satu-satuya jalan untuk menciptakan perdamaian yang komprehensif dan berkelanjutan adalah solusi dua negara. Untuk mewujudkan hal itu, Abdullah menyebut bahwa persyaratan dasarnya adalah negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Dia juga menekankan bahwa menunda keadilan dan perdamaian telah menghasilkan siklus kekerasan yang tiada akhir, dan tahun 2023 adalah tahun paling mematikan bagi rakyat Palestina dalam 15 tahun terakhir.
“Bagaimana masyarakat bisa percaya pada keadilan global sementara pembangunan pemukiman, penyitaan tanah, dan pembongkaran rumah terus berlanjut? Di manakah solidaritas global untuk membuat resolusi PBB dapat dipercaya oleh orang-orang yang membutuhkan bantuan kita?” katanya. (Reuters)