Indonesia sebagai salah satu kekuatan menengah di kawasan ingin kerja sama yang dibangun memperkuat stabilitas dan pertumbuhan regional. Penguatan kerja sama itu mengacu pada prinsip inklusif dan transparan.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Dunia belum berhenti bergolak dan awan ketidakpastian masih terus membayangi. Saat dunia berbenah seiring meredanya pandemi Covid-19, dunia dikejutkan dengan invasi Rusia atas Ukraina. Terlepas dari posisi umum negara-negara di dunia yang mengecam keras invasi tersebut, komunitas global seolah ditarik-paksa untuk mengambil posisi mendukung Barat yang menjadi penyokong Ukraina atau Rusia.
Situasi serupa juga mewarnai kawasan Asia dimana rivalitas Barat versus China menguat. Bahkan, sebelum Rusia menginvasi Ukraina, Barat telah berupaya “menekan laju” pengaruh China dengan memperkuat minilateralisme di kawasan Asia, diantaranya via AUKUS (Australia, Amerika Serikat, Inggris). Sejatinya, pada dirinya sendiri minilateralisme adalah netral. Sebagai model kerja sama antarbangsa, minilateralisme dapat memperkuat bentuk-bentuk kerja sama lain, apalagi bila itu diarahkan untuk mempromosikan perdamaian dan kemakmuran dunia.
Indonesia sebagai salah satu kekuatan menengah di kawasan (antara lain ditandai dengan kekuatan ekonomi, modal sosial-politik, serta demografi) tentu ingin kerja sama yang dibangun memperkuat stabilitas dan pertumbuhan regional. Proyeksi terbaru Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memang memprakirakan laju pertumbuhan produk domestik bruto ASEAN akan melambat menjadi 4,2 persen tahun ini (lebih rendah dari proyeksi OECD Maret lalu, yaitu 4,6 persen). Akan tetapi, ASEAN tetap memiliki peluang besar.
Peluang besar itu antara lain dapat diraih melalui penguatan dan reformasi kebijakan serta Pembangunan infrastruktur di negara-negara ASEAN. Langkah itu oleh Director of OECD Development Centre Ragnheiður Elín Árnadóttir diyakini dapat menarik arus penanaman modal asing yang akan mengintegraikan ASEAN ke rantai pasok global, diantaranya pada sektor elektronik, tekstil, serta otomotif khususnya kendaraan listrik (Cegah Perlambatan Ekonomi Kawasan, ASEAN Perkuat Rantai Pasok Regional, Kompas.id, Senin 4 September 2023).
Merujuk catatan positif itu, serta tantangan terkini dunia, sekaligus tarik-menarik kepentingan adidaya di kawasan, Indonesia tidak ingin terjebak. Melalui keketuaan di G20 pada 2022 dan ASEAN pada 2023, Indonesia mengupayakan membangun ekosistem inklusif untuk memberi alternatif pembangunan sekaligus meredakan ketegangan.
Di tengah tarikan geopolitik global - dipicu invasi Rusia atas Ukraina - dalam G20 Indonesia berhasil mengantar negara-negara anggota G20 mencapai konsensus. Capaian serupa juga diraih Indonesia dalam KTT Asia Timur ke-18 di Jakarta pada 7 September lalu. Melalui proses diplomasi panjang dan berliku, pada pihak sepakat pada sentralitas ASEAN. Sentralitas itu penting karena menegaskan “mekanisme yang dipimpin ASEAN” sebagai cara terlibat antara ASEAN dengan mitra eksternal.
Merujuk pada sejumlah pernyataan Presiden Joko Widodo, mekanisme itu selalu mengacu pada prinsip-prinsip yang selama ini selalu diserukan Indonesia, yaitu inklusif, terbuka, dan transparan sebagaimana prinsip-prinsip dalam ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Dengan pendekatan itu, rasa saling percaya dapat dibangun demi terjaminnya perdamaian, stabilitas, keamanan, dan kemakmuran kawasan.
Visi yang oleh Indonesia diimplementasikan dalam ASEAN Matters, Epicentrum of Growth itu secara tidak langsung adalah cara ASEAN (Indonesia) turut membangun ekosistem perdamaian. Tentu saja di tengah dunia yang dipenuhi ketidakpastian dan aneka tarikan kepentingan aktor-aktor besar dunia, tidak mudah mewujudkan visi tersebut. Untuk itu, tantangan yang perlu dijawab selanjutnya adalah bagaimana mendorong keterbukaan para pihak pada kerja sama dan kolaborasi dengan para mitra, dan upaya memperkuat konektivitas dalam beragam bidang kerja sama, terutama pada isu-isu strategis, ekonomi, dan politik yang menjadi kepentingan bersama.