Korban tewas akibat banjir bandang di Libya sudah lebih dari 5.100 orang. Bencana alam, berkelindan dengan konflik politik, menyebabkan kerusakan masif dan penderitaan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Derna, Rabu — Tim pencari dan penyelamat menyisir jalanan, reruntuhan bangunan, bahkan lautan untuk menemukan korban banjir bandang di Libya bagian timur, Rabu (13/9/2023). Otoritas menyatakan, banjir telah menewaskan sedikitnya 5.100 orang dan diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah.
Pihak berwenang masih berupaya menyalurkan bantuan ke Derna, kota di pesisir Laut Mediterania, setelah dua bendungan jebol akibat hujan deras yang dipicu topan Daniel pada Minggu (10/9/2023). Setidaknya 10.000 orang dilaporkan hilang dan puluhan ribu orang lainnya kehilangan tempat tinggal.
Pemerintahan Libya terbelah, satu di wilayah timur dan lainnya di wilayah barat. Menteri Kesehatan Libya Timur Othman Abduljaleel mengatakan, sekitar 2.000 jenazah yang ditemukan telah dimakamkan di kuburan massal di bagian kota yang tidak terkena banjir bandang. Meski begitu, tim pencari dan penyelamat masih berupaya untuk menemukan, mengumpulkan dan memakamkan korban yang berada di jalan-jalan, di bawah reruntuhan bangunan, dan bahkan yang mengapung di laut untuk dimakamkan dengan layak.
Derna, yang terletak sekitar 300 kilometer sebelah timur Benghazi, luluh lantak. Akses jalan menuju ke kota tersebut hancur, tertutup genangan lumpur yang terbawa banjir. Jembatan yang menghubungkan sisi timur dan barat kota runtuh. Sementara dari tujuh jalan akses menuju pusat kota, hanya dua yang bisa dilalui, yaitu dari sebelah selatan.
Yann Fridez, Kepala Delegasi Komite Internasional Palang Merah di Libya, kepada stasiun televisi France24 menyebut, ketinggian air yang menyapu hampir seperempat kota Derna mencapai 7 meter. “Gelombang ini menghancurkan segala sesuatu yang dilewatinya. Korban manusia sangat besar,” katanya.
Data sementara dari otoritas setempat dan Badan Migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (IOM) menyebutkan, sekitar 30.000 warga mengungsi setelah rumah dan bangunan tempat tinggalnya rusak akibat banjir.
Ahmed Abdalla, korban selamat yang membantu proses pencarian korban, menyebut bahwa situasi di kota tersebut tidak bisa digambarkan. Kerusakan sangat masif dan jumlah korban tewas masih terus bertambah karena banyak keluarga masih mencari sanak saudara mereka diduga menjadi korban. Buldoser bekerja selama dua hari terakhir untuk memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan untuk akses pengiriman bantuan kemanusiaan dan peralatan berat yang dibutuhkan untuk operasi pencarian dan penyelamatan.
Negara tetangga seperti Aljazair, Tunisia, Turki, dan Uni Emirat Arab telah mengirimkan tim penyelamat dan bantuan kemanusiaan. Tim penyelamat dari Turki dilaporkan telah tiba di Libya timur. Beberapa negara Eropa juga menyatakan akan mengirimkan bantuan kemanusiaan.
Perancis akan mengirimkan rumah sakit lapangan dan 50 personel militer dan sipil yang akan mengoperasikan fasilitas kesehatan tersebut. Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan akan mengirimkan dana darurat untuk Libya melalui organisasi bantuan serta berkoordinasi dengan otoritas berwenang di wilayah bencana dan PBB.
Konflik dan bencana alam
Badai Daniel terbentuk dan dimulai dari Yunani pada 4 September. Badai ini menyebabkan angin kencang, hujan lebat, dan banjir di Turki serta Bulgaria sebelum melintasi Mediterania dan tiba di Libya beberapa hari kemudian.
Banyaknya jumlah korban jiwa dan kerusakan yang masif tak dipengaruhi semata oleh intensitas badai Daniel. Wakil Wali Kota Derna Ahmed Madroud, dikutip dari laman stasiun televisi Al Jazeera mengatakan, dua bendungan yang jebol sudah hampir dua dekade tak dirawat karena negara diamuk oleh konflik berkepanjangan. Insfrastruktur yang dibangun di sekitar bendungan dan kota yang ada di bawahnya berada di jalur air langsung, tak bisa menahan jutaan kubik air yang tumpah.
Madroud memperkirakan, lebih dari 30 juta meter kubik air tumpah dari dua bendungan yang jebol itu dan menghancurkan Derna, kota berpenduduk sekitar 100.000 jiwa.
konflik selama lebih dari satu dekade dan terpecah secara politik. Pemerintahan yang diakui secara internasional berada di Tripoli di barat, namun Derna berada di wilayah yang dikuasai oleh pemerintahan saingannya yang berbasis di Benghazi. Baik pemerintah maupun komandan wilayah timur secara terpisah berjanji untuk membantu upaya penyelamatan di daerah yang terkena dampak banjir. Namun, mereka tidak memiliki catatan keberhasilan kerja sama.
Tanpa layanan telepon atau internet, kota ini terputus dari wilayah lain, dan bantuan mulai berdatangan 36 jam setelah kehancuran. Peristiwa ini menjadi bencana yang paling merusak dalam sejarah modern Libya. Bertahun-tahun berada dalam situasi konflik, pemerintahan yang terpecah di barat dan timur, telah menyebkan infrastruktur negara tersebut merana, rentan, dan hancur. Dalam catatan PBB, Libya menjadi satu-satunya negara yang belum mengembangkan strategi iklim.
Sebagian besar Derna dibangun ketika Libya berada di bawah pendudukan Italia pada paruh pertama abad ke-20. Kota ini dikenal sebagai salah satu tujuan wisata terkenal karena rumah-rumah tepi pantai berwarna putih yang indah dan taman palemnya.
Akan tetapi, setelah penggulingan Moammar Khadafi pada 2011, kota ini menjadi benteng bagi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Kota ini sempat dibombardir oleh jet tempur Mesir dan kemudian diserang pasukan pendukung Jenderal Khalifah Haftar. Derna akhirnya dikuasai pasukan Haftar tahun 2019.
Seperti kota-kota lain di bagian timur Libya, Derna belum banyak mengalami pembangunan kembali atau investasi sejak revolusi. Sebagian besar infrastruktur modernnya dibangun pada masa pemerintahan Khadaffi, termasuk dua bendungan yang jebol. Kedua bendungan itu dibangun perusahaan Yugoslavia pada pertengahan tahun 1970-an.
Claudia Gazzini, analis senior Libya di International Crisis Group, mengatakan, masalahnya sebagian adalah masalah logistik karena banyak jalan menuju kota pelabuhan tersebut rusak akibat badai. Namun, perselisihan politik juga berperan. “Upaya internasional untuk mengirimkan tim penyelamat harus melalui pemerintah yang berbasis di Tripoli,” kata Gazzini.
Artinya, izin untuk mengizinkan bantuan di wilayah yang paling terkena dampak harus disetujui oleh pihak berwenang yang bersaing. Gazzini meragukan pemerintahan Libya di Benghazi bisa mengatasi masalah ini sendirian. (AP/AFP/Reuters)