G20 Capai Konsensus, Indonesia Turut Berperan
Isu Ukraina sempat kembali jadi ganjalan di G20. Proses diplomasi berjalan alot dan memakan banyak waktu serta energi. RI menjembatani perbedaan dan menyuarakan kepentingan negara berkembang.
NEW DELHI, MINGGU - Dengan tetap dibayang-bayangi perseteruan kekuatan-kekuatan utama dunia, para pemimpin negara anggota G20 akhirnya berhasil mencapai konsensus. Mereka menyepakati deklarasi bersama yang disebut dengan Deklarasi New Delhi. Deklarasi tersebut menekankan bahwa negara-negara harus ”menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan untuk mengupayakan akuisisi wilayah” dan ”penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima”.
Perdana Menteri India Narendra Modi hari Minggu (10/9/2023) mengaku lega. Sebagaimana KTT G20 di Bali pada November 2022, tarik- menarik antara kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya di satu sisi dengan Rusia di sisi lain terkait isu Ukraina banyak mewarnai perdebatan. Meskipun dibentuk dalam perspektif ekonomi, isu Ukraina telah menyeret G20 dalam ”pertarungan” geopolitik. Isu invasi Rusia ke Ukraina membuat G20 terbelah.
Baca juga: G20 Gagal Sepakati Skema Restrukturisasi Utang untuk Negara Miskin
Situasi itu menyita energi Indonesia sebagai presiden G20 2022. Namun, melalui proses diplomasi yang alot dan panjang, yang lebih mengedepankan ”pembicaraan informal dan terbuka”, konsensus pun dicapai. Hal yang nyaris serupa dialami dalam presidensi India di G20 tahun ini. Namun, dalam konsensus yang disepakati ada ”pelunakan” mengenai isu invasi Rusia. Semua referensi tentang Rusia, agresi Rusia, yang tercantum dalam pernyataan bersama pada KTT G20 di Bali dihapus.
Meski tak menyebutkan ”Rusia”, tetap saja ada penekanan pada kalimat ”negara-negara harus menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan untuk mengupayakan akuisisi wilayah”. Selain itu, juga pada pernyataan terakhir dokumen Deklarasi New Delhi disebutkan ”penderitaan manusia dan dampak negatif tambahan perang di Ukraina”, tetapi tidak disebutkan invasi Rusia.
Pernyataan itu mengutip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatakan semua negara harus menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan untuk mengupayakan akuisisi wilayah yang melanggar integritas dan kedaulatan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun. Penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima. Sementara Deklarasi Bali mengutip resolusi PBB yang mengecam ”agresi Federasi Rusia terhadap Ukraina” dan mengatakan ”sebagian besar anggota mengecam keras perang di Ukraina”.
Alotnya negosiasi
Beberapa bulan menjelang pertemuan tingkat tinggi G20 di New Delhi, India belum mencapai kesepakatan mengenai kata-kata tentang Ukraina. Rusia dan China bahkan menolak pernyataan yang telah disepakati tahun lalu pada KTT G20 di Bali. ”Kita tidak bisa membiarkan isu-isu geopolitik menghalangi agenda diskusi G20. Kami tidak tertarik pada G20 yang terpecah. Kami membutuhkan perdamaian dan kerja sama, bukan konflik,” kata Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.
Harian The Guardian, Sabtu, mengutip Amitabh Kant, perwakilan G20 India, yang mengatakan, untuk mencapai konsensus itu, yang terdiri dari 83 paragraf, membutuhkan proses negosiasi sangat alot. Kant mengatakan, Brasil dan Afrika Selatan, dua presiden G20 berikutnya, telah berperan penting dalam membuat Rusia menyetujui bahasa yang digunakan dalam deklarasi. Begitu pula peran Indonesia, Turki, dan Meksiko yang juga sangat penting.
”Teks kompromi mengenai Ukraina telah melibatkan lebih dari 200 jam negosiasi tanpa henti, 300 pertemuan bilateral, dan 15 rancangan,” tulis Kant di platform media sosial X.
Sampai Jumat (8/9/2023) malam disebutkan belum ada kesepakatan tentang bagaimana merujuk pada perang Ukraina. Bagian dalam rancangan dokumen yang berkaitan dengan ”situasi geopolitik” juga masih kosong. Negara-negara Eropa ingin menggunakan bahasa yang keras untuk mengecam invasi Rusia. Namun, Rusia dan China menentang segala referensi tentang perang itu. Menurut laporan, pada Sabtu pagi, para pejabat India mengirimkan paragraf yang disusun ulang terkait konflik Ukraina kepada para pemimpin G20 yang akhirnya diterima semua anggota.
Sikap Indonesia
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, ketika dihubungi terpisah, mengatakan, Indonesia berperan penting dalam penyusunan kesepakatan. Indonesia selalu konsisten untuk berkontribusi menjadi bagian dari solusi, menjembatani segala perbedaan, dan terus menyuarakan kepentingan negara berkembang, termasuk hak pembangunan.
Baca juga: Negara Berkembang Bantu G20 Menembus ”Kebuntuan Ukraina”
Hal itu sejalan dengan penegasan Presiden Joko Widodo. Saat mengikuti sesi kedua KTT G20 pada Sabtu (9/9), Presiden Jokowi menyampaikan harapan Indonesia agar dunia menjadi satu keluarga besar yang saling membangun dan memiliki tujuan bersama untuk menciptakan kehidupan damai. Ada sejumlah hal yang mesti ditempuh untuk mewujudkan tujuan itu, di antaranya dengan menciptakan stabilitas global dengan mengakhiri perang.
”Saya setuju jika dunia ini layaknya satu keluarga besar. Namun, keluarga yang Indonesia harapkan adalah keluarga yang saling membangun, saling peduli, dan memiliki satu tujuan bersama, yaitu menciptakan kehidupan yang damai dan makmur,” kata Presiden.
Baca juga: Muncul Keraguan pada Deklarasi G20
Menurut Presiden Jokowi, salah satu langkah untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah melalui penciptaan stabilitas global, salah satunya dengan menghentikan perang. ”Kita harus hentikan perang, berpegang teguh pada hukum internasional, dan bahu-membahu mewujudkan inklusivitas,” ujarnya.
Saat memegang keketuaan ASEAN pun RI terus mendorong Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara tersebut untuk menjadi jangkar stabilitas kawasan di Indo-Pasifik. Selain itu, Presiden juga menegaskan pentingnya kesetaraan karena itu membantu penciptaan dunia damai dan makmur.
Suara Selatan
Masalah-masalah lain yang dibahas dalam pernyataan bersama ini antara lain adalah perjanjian seputar pendanaan iklim, utang global, reformasi lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan pakta pembangunan hijau baru di antara negara-negara anggota. Deklarasi itu juga meratifikasi Uni Afrika secara resmi bergabung dengan G20. Ini menambah momentum bagi upaya Modi untuk memberikan suara yang lebih besar kepada negara-negara Selatan.
Negara-negara berkembang seharusnya memiliki lebih banyak suara mengingat merekalah yang terkena dampak dari banyak krisis dunia termasuk perubahan iklim, kekurangan pangan, dan kenaikan harga energi. Modi mengatakan G20 harus menemukan solusi konkret terhadap tantangan-tantangan luas yang berasal dari naik-turunnya perekonomian global, perpecahan utara dan selatan, jurang antara timur dan barat, dan isu-isu lain seperti terorisme, keamanan siber, kesehatan, dan jaminan ketersediaan air bersih.
Baca juga: Globalisasi yang Berpusat pada Kemanusiaan
Amitabh Kant menilai deklarasi ini adalah dokumen paling ambisius mengenai aksi iklim sejauh ini. Dengan komitmen untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan secara global pada 2030 dan pernyataan bahwa negara -negara berkembang akan membutuhkan pendanaan sebesar 5,9 triliun dolar AS untuk mencapai target iklim mereka.
Namun, belum ada pernyataan baru mengenai upaya G20 untuk beralih dari bahan bakar fosil, karena negara-negara anggota – yang merupakan rumah bagi 93 persen pembangkit listrik tenaga batubara yang beroperasi di dunia – hanya berkomitmen untuk “mengurangi penggunaan” batubara sesuai dengan kondisi nasional.
Baca juga: Emisi Batubara G20 Terus Meningkat, Indonesia Tertinggi Lonjakannya
Para pemimpin G20 gagal menyetujui penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap meski laporan PBB menilai penarikan itu sangat diperlukan untuk mencapai tujuan emisi nol bersih. Sebaliknya, mereka mendukung target peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan global pada 2030. Negara anggota G20, Rusia dan Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar, sementara konsumsi batu bara meningkat di China dan India, yang menjadi konsumen bahan bakar kotor terbesar di dunia.
Direktur Institut Asia Selatan di Wilson Center, Michael Kugelman, menilai G20 akhirnya menjadi entitas yang benar-benar global dan tidak berada dalam bayang-bayang G7. Sudah saatnya kerja sama negara-negara Barat dan non-Barat serta negara-negara Selatan diperkuat untuk mencapai tujuan bersama. “Dengan dunia yang menghadapi begitu banyak tantangan tanpa batas dan kurangnya multilateralisme, kerja sama global yang sesungguhnya menjadi kebutuhan utama,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)