Mantan Pemimpin Mossad Sebut Israel Terapkan Apartheid Terhadap Palestina
Tamir Pardo, mantan pemimpin Mossad, menyebut pemerintahan PM Benjamin Netanyahu melakukan kebijakan apartheid terhadap rakyat Palestina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
TEL AVIV, Jumat — Mantan Kepala Badan Intelejen Israel Mossad, Tamir Pardo, menyebut Israel tengah menerapkan sistem apartheid di wilayah pedudukan Tepi Barat. Pandangan Pardo serupa dengan sejumlah pandangan beberapa mantan pejabat pemerintah dan keamanan serta politisi Israel.
“Ada negara apartheid di sini. Di wilayah di mana dua orang diadili berdasarkan dua sistem hukum, itu adalah negara apartheid,” kata Pardo dalam laporan kantor berita Asociated Press, Kamis (7/9/2023). Mengingat latar belakang Pardo, komentar tersebut mempunyai pengaruh khusus bagi Israel yang terobsesi dengan keamanan.
Pardo adalah mantan pejabat tinggi di pemerintahan Israel yang menyatakan bahwa negara itu melakukan tindakan apartheid terhadap bangsa Palestina. Apartheid adalah politik diskriminasi di Afrika Selatan beberapa dekade lalu. Kebijakan yang diambil pemerintahan sayap kanan Israel saat ini, seperti perlakuan terhadap warga Palestina di Tepi Barat, digambarkan seperti itu.
Sebelumnya, mantan Komandan Pasukan IDF untuk wilayah Utara Israel, Amiram Levin, dan mantan tiga anggota Partai Shin Bet yaitu Ami Ayalon, Gilead Sher dan Orni Petruscha, menyatakan hal yang sama.
Sistem apartheid yang diterapkan oleh pemerintah Israel dijelaskan dengan sederhana oleh Pardo. Dia menyatakan, warga Israel bisa naik mobil dan mengemudi ke mana pun mereka mau. Sebaliknya, warga Palestina tidak bisa mengemudi ke mana-mana.
Warga Palestina memerlukan izin dari Israel untuk memasuki negaranya. Mereka bahkan seringkali harus melewati pos pemeriksaan militer untuk dapat berpindah ke wilayah Tepi Barat.
Beberapa kelompok hak asasi manusia melaporkan kebijakan diskriminatif Israel di berbagai wilayah yang didiami rakyat Palestina, mulai dari aneksasi Yerusalem timur, blokade terhadap Jalur Gaza, dan pendudukan di Tepi Barat.
Pemerintah dan aparat keamanan Israel yang memegang kendali menyeluruh atas wilayah tersebut, menerapkan sistem hukum dua tingkat. Mereka juga berupaya membangun dan memperluas pemukiman Yahudi yang oleh sebagian besar masyarakat internasional dianggap ilegal.
Kekerasan terhadap warga Israel seringkali dibalas dengan pengusiran dan pengambilalihan lahan dan rumah milik warga Palestina, baik hanya dengan kekerasan atau di bawah todongan senjata.
Pardo, yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan menjabat sebagai kepala agen mata-mata rahasia Israel selama 2011-2016, tidak mau mengatakan apakah ia memiliki keyakinan yang sama saat memimpin Mossad.
Namun dia yakin bahwa salah satu masalah yang paling mendesak di negaranya adalah masalah Palestina. Saat memimpin Mossad dia mengaku berulang kali memperingatkan Netanyahu soal keberadaan perbatasan Israel.
Kritik yang sama disampaikan Levin, mantan Komandan Pasukan IDF untuk wilayah Utara. Levin menyatakan perlakuan Israel pada rakyat Palestina, khususnya yang tinggal di Tepi Barat, adalah tindakan apartheid total.
Dia juga menyebut tindakan itu serupa dengan yang dilakukan kelompok NAZI pimpinan Adolf Hitler. Bila dulu warga Yahudi menjadi korban kejahatan Hitler dan NAZI, kini, dalam pandangan Levin, dikutip dari laman Times of Israel, para korban menjadi pelaku.
“Belum ada demokrasi di sana dalam 57 tahun. Ada apartheid total. Mereka berdiam diri, memperhatikan para perusuh pemukim dan mulai menjadi mitra kejahatan perang,” kata Levin.
Sebagai orang yang terlahir sebagai sorang Yahudi, Levin mengaku, sulit melihat tindakan mereka kini serupa dengan tindakan yang diterima bangsa Yahudi ketika berada di bawah cengkeraman NAZI dan Hitler. Tapi, seperti halnya Pardo, Levin menyebut hal itu sebagai sebuah fakta.
“Sulit bagi kami untuk mengatakannya, tapi itulah kenyataannya. Berjalanlah di sekitar Hebron, lihatlah ke jalan, jalan-jalan di mana orang Arab tidak lagi diperbolehkan untuk lewat, hanya orang Yahudi. Itulah yang sebenarnya terjadi,” katanya
Pernyataan sejumlah mantan pejabat tinggi pemerintah dan keamanan Israel soal dugaan kebijakan apartheid oleh pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Netanyahu mengemuka di tengah upaya Amerika Serikat menjembatani proses normalisasi hubungan dengan Arab Saudi.
Pernyataan yang menyoal tindakan apartheid oleh Israel menguatkan kembali laporan empat organisasi non-pemerintah, yaitu Amnesty International, Human Rights Watch, B’Tselem dan Yesh Din , pada Februari 2022. Keempat organisasi itu menyebut bahwa Israel telah melakukan kebijakan apartheid terhadap rakyat Palestina.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa untuk mempertahankan hegemoninya di tanah Palestina, Pemerintah Israel memaksimalkan kendalinya atas lahan-lahan milik warga Palestina serta membatasi dan meminimalisasi jumlah warga Palestina di lokasi-lokasi tersebut. Pemerintah Israel juga menghalangi upaya warga Palestina memiliki kemampuan untuk melawan perampasan hak-hak mereka.
Lembaga-lembaga itu tidak membandingkan Israel dengan Afrika Selatan di masa lampau saat masih menerapkan kebijakan apartheid berdasarkan supremasi kulit putih dan segregasi rasial pada 1948-1990-an. Sebaliknya kedua lembaga itu mengevaluasi kebijakan pemerintah Israel berdasarkan konvensi internasional.
Israel memandang hal itu sebagai sebuah hak dasar, hak hidup warga Yahudi.
Di antaranya adalah Statuta Roma. Dokumen itu mendefinisikan apartheid sebagai rezim yang terlembagakan yang ditandai dengan penindasan dan dominasi sistematis oleh satu kelompok ras atas kelompok ras lainnya.
Laporan tersebut menyatakan, berbagai kebijakan Israel di wilayah kendalinya bertujuan untuk melanggengkan keberadaan mayoritas (warga Yahudi) di sebanyak mungkin lokasi (atau tanah yang dimiliki warga Palestina) dan secara sistematis juga menyangkal hak dasar warga Palestina.
Israel memandang hal itu sebagai sebuah hak dasar, hak hidup warga Yahudi. Tujuannya untuk memastikan kelangsungan hidup dan keamanan satu-satunya negara Yahudi di dunia.
Penyebutan adanya kebijakan yang diskriminatif dan penindasan sistematis berdasarkan identitas nasional, etnis, ras atau agama bukan pertama kalinya ditujukan pada Pemerintah Israel. Dewan Hak Asasi Manusia PBB, setelah konflik Gaza tahun lalu, membentuk komisi penyelidikan permanen untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan Israel di Tepi Barat dan Gaza. (Kompas.id, 1 Februari 2022)
Sejak 2018, pemerintahan Netanyahu meneguhkan tindakan apartheidnya dengan mengesahkan undang-undang yang mengistimewakan warga Yahudi dan mendiskriminasikan keturunan Arab. Sejumlah pihak, termasuk Presiden Israel Reuven Rivlin, menolak aturan tersebut.
Israel menolak tuduhan apartheid dan mengatakan warga negara Arab di wilayahnya mempunyai hak yang sama. Israel memberikan otonomi terbatas kepada Otoritas Palestina yang diakui secara internasional, yang berbasis di Tepi Barat.
Langkah itu terjadi pada puncak proses perdamaian pada 1990-an. Israel juga menarik tentara dan pemukimnya dari Gaza pada 2005. Israel mengatakan bahwa Tepi Barat adalah wilayah yang disengketakan dan bahwa nasibnya harus ditentukan dalam negosiasi.
Partai Likud pimpinan Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang mengecam komentar Pardo. “Bukannya membela Israel dan militer Israel, Pardo malah memfitnah Israel,” katanya. “Maaf. Kamu seharusnya malu.” (AP)