ASEAN Dinilai Jadi Lebih Prosedural
Para pengamat berpendapat, ASEAN belum banyak melibatkan kelompok-kelompok sipil untuk menjawab tantangan yang dihadapi perhimpunan itu. Mereka mendorong agar ASEAN menjadi lebih terbuka.
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Ke-43 ASEAN, sejumlah ahli berpendapat, perhimpunan itu tengah menghadapi tantangan berat, termasuk dalam sejumlah isu substantif. Ada krisis Myanmar, ada pula isu Thailand dan Kamboja yang kini kembali ada dalam bayang-bayang hegemoni militer. Sayangnya, dalam situasi geopolitik yang dinamis itu, ASEAN dinilai belum membuka ruang lebih luas bagi partisipasi masyarakat sipil.
Pandangan ini mengemuka dalam diskusi ”Going into the 43rd ASEAN Summit 2023: A Reality Check on ASEAN Centrality” yang diselenggarakan oleh lembaga kajian independen Synergy Policies, Kamis (31/8/2023), di Jakarta. Direktur Eksekutif Synergy Policies Dinna Prapto Raharja mengatakan, meski ASEAN mengklaim menerapkan semangat Piagam ASEAN yang berfokus pada rakyat, pada praktiknya ASEAN hanya berpusat pada negara. ASEAN menjadi lebih prosedural dan semangatnya tidak tergambar seperti dalam Piagam ASEAN yang diawali dengan kalimat ”Kami, Rakyat ASEAN”.
Baca juga: ASEAN Wajib Mengelola Pertarungan Geopolitik
ASEAN, menurut dia, kurang mampu menanggapi isu-isu krusial dan tantangan yang dihadapi masyarakat Asia Tenggara. Para pemimpin ASEAN dinilai memusatkan ASEAN hanya untuk mencari konsensus di antara para pemimpin tanpa memenuhi indikator sentralitas ASEAN. Para pemimpin ASEAN harus ingat bahwa ASEAN tidak dibentuk demi dialog antarpejabat pemerintah dan perwakilan masyarakat sipil tertentu.
”ASEAN fokusnya ada pada rakyatnya. ASEAN pastinya bukan perkumpulan para pemimpin. Semangat Piagam ASEAN ada pada rakyat. Jadi, telah terjadi transformasi di ASEAN dan apakah para pemimpinnya menyadari hal ini? Jika ASEAN betul-betul bekerja bersama rakyat, akan ada komunikasi yang efektif dan ekstensif antara para pemimpin negara dan orang yang mewakili kelompok yang lebih besar. Keterlibatan masyarakat sipil di ASEAN sangat dibatasi. Mestinya, semua pihak yang mengerjakan isu-isu terkait ASEAN juga diajak bicara,” tutur Dinna.
Baca juga: ASEAN Terengah-engah Wujudkan Pusat Pertumbuhan
Senada dengan Dinna, Associate Professor Hubungan Internasional dan Studi Strategis di Universiti Malaya, Malaysia, Khoo Ying Hooi, mengatakan, sejatinya ASEAN telah banyak mendapat desakan untuk merevisi atau mengamendemen Piagam ASEAN. Tekanan itu muncul karena ASEAN dilihat tidak mengarah pada ”fokus pada rakyat”. Sayangnya, tekanan itu seperti bertepuk sebelah tangan.
Indikasi
ASEAN dinilai Khoo Ying Hooi gagal menjadi organisasi yang berfokus pada rakyat seperti yang dijanjikan Piagam ASEAN. Salah satu indikasinya adalah hingga saat ini ASEAN masih menghadapi persoalan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN. Perkembangan yang lamban pada isu hak asasi manusia (HAM) ini membuat respons ASEAN terhadap krisis Myanmar menjadi tidak efektif. Belum lagi isu-isu krusial lainnya, seperti migrasi, pengungsi, dan perdagangan orang.
Semua persoalan ini mengingatkan perlunya ASEAN mempertimbangkan atau menjadi lebih fleksibel dalam penerapan prinsip non-intervensi. ”Prinsip non-intervensi ini mestinya tidak digunakan lagi sebagai alasan untuk tidak mengatasi masalah pelanggaran HAM. ASEAN harus menunjukkan integritas institusi dengan menegakkan komitmen melindungi HAM,” ujarnya.
Baca juga: ASEAN Tolak Standar Ganda dan Politisasi Isu HAM
ASEAN harus inovatif dan sentralitas ASEAN harus dimulai dari dalam. Karena sedang berada di persimpangan jalan, dibutuhkan kepemimpinan politik yang kuat dan berani mengambil sikap tegas meskipun nantinya akan ada kemungkinan berbeda pendapat dengan negara-negara anggota ASEAN yang lain. Mau tidak mau ini harus dilakukan jika ASEAN mau menjadi organisasi yang berfokus pada kepentingan rakyat.
”Karena situasi yang tidak jelas seperti sekarang, masyarakat sipil harus kembali ikut mengambil peran dan menjadi bagian dari solusi,” kata mantan Jaksa Agung RI dan mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Marzuki Darusman.
Bahkan, menurut mantan duta besar dan mantan anggota parlemen Thailand, Kobsak Chutikul, ASEAN sedang mengalami krisis identitas dan seakan hanya menjadi klub birokrat atau klub pemimpin negara belaka. Dia khawatir ASEAN tidak akan menjadi menarik lagi bagi negara-negara lain, seperti Amerika Serikat. Ketidakhadiran Presiden AS Joe Biden di KTT Ke-43 ASEAN, menurut dia, menjadi bukti bahwa AS tidak lagi memprioritaskan ASEAN.
Ketidaktegasan ASEAN terhadap krisis Myanmar juga dikhawatirkan bisa membuat orang semakin berpaling dari ASEAN. ASEAN diharapkan menjadi organisasi yang liberal, berpikiran terbuka, dan mendengarkan aspirasi rakyatnya. ”Masalahnya, apa iya ASEAN mendengarkan aspirasi rakyat mengingat ada negara-negara anggota ASEAN yang justru tidak mendengarkan suara rakyatnya sendiri,” kata Chutikul.
ASEAN terbuka
Namun, pandangan para pengamat tersebut tampaknya berbeda dari perspektif Kementerian Luar Negeri RI. Dalam wawancara pada Senin (28/8/2023), Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dialog inklusif adalah kunci dalam relasi ASEAN. Terkait dengan isu Myanmar, hal itu diimplementasikan oleh ASEAN.
Retno menjelaskan, dialog amat penting bagi ASEAN. Oleh karena itu, ASEAN menyediakan platform dan menjadi kekuatan yang bisa membuat berbagai pihak berdialog. Meskipun berbeda pendapat, setidaknya berbagai pihak itu tetap mau terus saling berbicara. Menurut Retno, dampaknya amat buruk jika para pihak tidak mau lagi saling berbicara.
Baca juga: Wawancara Khusus dengan Menlu Retno: ”Fokus ASEAN Bukan Hanya Myanmar”
Bagi ASEAN, kesediaan untuk terus berdialog menjadi salah satu modal dalam menjaga keamanan dan kestabilan kawasan. Tanpa keamanan dan kestabilan, kesejahteraan sulit terwujud. Keamanan dan kestabilan memungkinkan pembangunan ekonomi dilakukan. Ujung pembangunan tersebut adalah kesejahteraan.
”ASEAN itu warganya. Para pemimpin bertanggung jawab kepada warganya,” kata Retno. Ia menyebut wujud tanggung jawab tersebut adalah peningkatan kesejahteraan. Oleh karena itu, para pemimpin ASEAN terus mengupayakan agar warga ASEAN bisa sejahtera.
Lantas, Retno mengutip sejumlah data ekonomi yang memperlihatkan minat Uni Eropa meningkatkan investasi di ASEAN. Mereka memandang Asia Tenggara sebagai kawasan yang menjanjikan. Mereka yakin, bisnis di ASEAN akan menguntungkan.