Makar di Gabon, Krisis Politik di Sejumlah Negara Afrika
Demokrasi yang tercemar korupsi membuat militer memutuskan merebut pemerintahan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
LIBREVILLE, RABU — Pemerintahan demokrasi Gabon digulingkan dalam makar yang didalangi oleh kepolisian dan militer. Para pemakar mengatakan hendak menghapus semua institusi republik di negara tersebut. Ini adalah kudeta ketiga di Afrika dalam enam bulan terakhir.
Kudeta terjadi pada Rabu (30/8/2023) di ibu kota negara Libreville hanya beberapa menit setelah pengumuman hasil pemilihan umum presiden. Presiden Petahana Ali Bongo Ondimba (64) dinyatakan menang dengan perolehan suara 64,27 persen atau telak atas pesaingnya, akademisi Albert Ondo Ossa.
Setelah itu, terdengar bunyi letusan senjata api dan pasukan yang terdiri dari gendarme (polisi) dan tentara menduduki kantor komisi pemilu. Ondimba sendiri tidak diketahui keberadaannya dan belum mengeluarkan pernyataan atas kejadian ini.
”Pemilu ini tidak transparan, tidak bisa diandalkan, dan tidak inklusif. Padahal, negara sedang dilanda krisis sosial, ekonomi, politik, dan kelembagaan,” kata pejabat juru bicara junta Gabon.
Pemilu Gabon menuai kritik internasional karena setiap kali diadakan selalu mengakibatkan kerusuhan dan kekerasan yang merenggut korban jiwa.
Ondimba telah menjadi presiden sejak tahun 2009. Pemilu kali ini ia memasuki masa jabatan ketiga. Sebelum tahun 2009, Gabon selama 41 tahun diperintah oleh Omar Bongo Ondimba, mendiang ayah Ali. Artinya, keluarga Ondimba telah menguasai Gabon selama 55 tahun.
Pada tahun 2019, ketika Ondimba menjalani perawatan pascastroke di Maroko, militer juga melancarkan kudeta. Akan tetapi, pasukan pendukung Ondimba berhasil memadamkannya dan ia kembali berkuasa.
”Saya senang sekali. Sudah lama berharap hari ini akan datang dan akhirnya terjadi,” kata Yollande Okomo, salah seorang warga Libreville yang turun ke jalan demi bersuka cita atas makar tersebut. Menurut warga, mereka sudah muak dengan kekuasaan klan Ondimba yang korup dan memiskinkan rakyat.
Gabon adalah negara berpenduduk 2 juta jiwa yang juga anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Kapasitas produksinya 181.000 barel per hari atau nomor delapan di organisasi itu. Akan tetapi, 40 persen penduduk generasi mudanya penganggur.
Makar di Gabon ini adalah yang ketiga di benua Afrika dalam enam bulan terakhir. Sebelumnya, makar terjadi di Sudan dan Niger. Sejak tahun 2020, dari total 55 negara dan wilayah kedaulatan di Afrika, yang dikuasai oleh junta militer adalah Mali, Chad, Burkina Faso, Guinea, Sudan, Niger, dan kini Gabon.
Uni Afrika pada Mei 2019 mengeluarkan pernyataan bahwa risiko kudeta sangat tinggi ketika suatu negara tidak memiliki tata kelola dan tata pemerintahan yang baik. Ini sejalan dengan penemuan dua akademisi Amerika Serikat (AS), yakni Jonathan Powell dari Universitas Florida Tengah (UCF) dan Clayton Thyne dari Universitas Kentucky. Penelitian mereka diterbitkan pada tahun 2011 dengan judul Arrested Dictatorship dan terus memantau perkembangan kudeta global hingga kini.
Menurut Powell dan Thyne yang dikutip oleh VOA News, tercatat dari tahun 1950 ada 486 makar di dunia, baik sukses maupun gagal. Di Afrika, dari 214 upaya makar, 106 di antaranya berhasil. Pola kudeta umumnya adalah negara-negara yang miskin dan dilanda krisis keamanan. Menurut Bank Dunia tahun 2020, pendapatan domestik bruto (PDB) di Chad, Mali, Guinea, dan Burkina Faso kurang dari 20 juta dollar AS. Adapun PDB Sudan hanya 21 juta dollar AS.
Negara-negara ini umumnya juga menghadapi krisis keamanan berupa kelompok ekstrem dan teroris. Mali, misalnya, menghadapi kelompok teroris Boko Haram. Niger menghadapi kelompok ekstrem. Bahkan, pasukan dari Perancis dan AS telah lama ditaruh di negara itu guna membantu militer lokal melawan ekstremis.
Kepada BBC, pakar untuk firma Africa Risk Consulting, Leonard Mbulle-Nziege, menjelaskan, bagi rakyat, kudeta militer tampak sebagai ratu adil yang menggulingkan pemerintahan korup. Sejatinya, kekuasaan junta justru semakin menjerumuskan negara ke dalam kemiskinan. Hal ini karena ekonomi terhambat akibat junta berusaha melanggengkan kekuasaan dengan menekan hak asasi manusia.
”Pemerintahan demokrasi yang korup memang cacat, tetapi data selama ini menunjukkan negara-negara ini memiliki PDB lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikuasai junta,” tuturnya.
Tekanan ini yang membuat rakyat memutuskan meninggalkan negara dan bermigrasi. Ini mengakibatkan krisis migran dan pengungsi di negara-negara maju. (AP/AFP)